Foto: Para Narasumber, Pembahas, Moderator dan peserta Webinar |
Live Webinar menghadirkan para narasumber, Dr.dr Bayu Prawira Hie, MBA, Praktisi Digitalisasi Perbankan; Yulius Purnama, Direktur Digital Banking PT Bank INA Perdana, Tbk (A member of Salim Group); dengan Pembahas, Dr. Diana Napitupulu, S.H., M.H., M.Kn., M.Sc, Dosen Prodi Magister Hukum UKI.
Sebanyak 92 partisipan mengikuti acara yang diketuai Thomas Dragono itu, dan acara sebelumnya dibuka oleh Alam P. Simamora, SH., MH, dari pengurus Peradi Jakarta Barat. Acara dipandu Moderator Besar Pujiharto.
Dr.dr Bayu Prawira Hie, MBA sebagai narasumber I mengawali prsentasinya dengan menjelaskan terjadinya disrupsi camera analog dengan camera digital, kemudian traveloka yang tanpa kantor cabang tapi tetap dipercaya masyarakat untuk pemesanan tiket maupun hotel.
Demikian juga hingga Bank yang makin mengurangi kantor cabangnya, dan memperkuat layanan digitalnya. Hal ini semakin terbuka dengan adanya Peraturan OJK No.12 Tahun 2021, yang memperbolehkan bank tanpa kantor cabang dan hanya kantor pusat.
Sementara di dalam digital bank hanya ada satu kantor fisik, yaitu kantor pusat. Bank digital murni, boleh tanpa kantor cabang, dan bisa dipercaya orang. Bank digital bisa melayani permasalahan perbankan di aplikasi.
Bayu Prawira juga menjelaskan Digital Divide yang memiliki keterkaitan dengan berbagai aspek seperti: Economy, Social, Culture, Approach dan Geographical. Dan yang paling gres, sedikit disinggung soal Banking in Metaverse, yang nantinya akan menjadi kenyataan.
Narasumber ke-II Yulius Purnama, Bankir Bank Ina (A member of Salim Group) menjelaskan ada dua hal yang perlu dipahami, yaitu: Marketing Opportunities, dan Highlight on Digital Bangking.
Menurut Yulius, dalam digital banking, kendati infrastruktur sementara dinilai sudah cukup mendukung, tapi dalam hal Opportunity perbankan dan rekening masih besar.
“Masih banyak penduduk Indonesia yang belum dapat akses keuangan yang memadai. Bahkan diperkirakan masih sekitar kurang lebih 40 persen. Yang paling besar di sektor usaha Mikro dan Kecil, dimana sebanyak 64,6 juta usaha mikro dengan 110 juta pekerjanya, dan usaha kecil 786,8 usaha dengan 5,9 juta pekerja,” katanya.
Dia menjelaskan definisi digital banking menurut OJK yaitu, Layanan Perbankan Digital adalah layanan perbankan elektronik yang dikembangkan dengan mengoptimalkan pemanfaatan data nasabah dalam rangka melayani nasabah secara lebih cepat, mudah, dan sesuai dengan kebutuhan, serta dapat dilakukan secara mandiri sepenuhnya oleh nasabah dengan memperhatikan aspek pengamanan.
Yulius juga menjelaskan, Key Component of Digital, dimana succesful Digital Banking dipengaruhi 5 (lima) faktor.
“Ada Transaction Ecosystem, Robust Technology Platform, User Experience, Digital Security, dan Data Analitycs,” tandasnya.
Hal tersebut dikatakan berkaitan dengan, siapa yang menjadi target market, lalu bisa membuat individual digital banking dan business digital banking. Selanjutnya, soal user experience, dengan pelayanan melalui teknologi digital, dan cyber security dan IT security untuk perlindungan data nasabah dan data transaksi.
Sementara itu, sebagai Pembahas, Dosen Prodi Magister Hukum UKI, Dr. Diana Napitupulu, S.H., M.H., MKn., M.Sc, menjelaskan bahwa banyak bank-bank besar belakangan ini yang mengakuisisi bank-bank kecil dalam rangka memperluas layanannya, tapi dengan cara digital satu pintu.
“Dan untuk bank baru digital sesuai POJK, harus memiliki modal inti Rp. 10 triliun. Sedangkan untuk bank-bank yang sudah ada, secara bertahap dapat menyesuaikan. Dan bank-bank dengan Rp 1 triliun sudah diambil alih,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Dosen yang kerap menjadi narasumber ini mengatakan pentingnya wawasan customer tentang Bank Digital. Budaya di dalam bank digital adalah menerapkan pola pikir digital.
Karena bank digital juga harus membantu Pemerintah dalam mengenali secara seksama profil dari para nasabahnya.
“Bank juga wajib men-trace kegiatan para nasabahnya, sesuai dengan UU TPU yang telah diratifikasi. Sebab bilamana ada nasabah yang memiliki transaksi dana yang tidak sesuai profil nasabah, maka bank juga berkewajiban melaporkannya kepada PPATK. Dan juga UU ITE yang pada dasarnya bicara soal transaksi keuangan secara digital,” bebernya.
Menyinggung soal resiko IT, Diana Napitupulu mengatakan, salah satu penyebabnya akibat masih adanya para hacker yang berhasil membobol sistem security perbankan. Selain itu, bank-bank masih melakukan sistem outsource dalam hal penyimpanan data nasabah.
“Sehingga masih ada resiko data diperjualbelikan oleh para oknum. Bank mestinya memiliki ahli IT untuk melakukan Data protection. Karena memang Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi belum disahkan dan belum masuk prolegnas. Banyak data pribadi yang bisa diperjualbelikan” tandasnya.
Sementara dalam kepemimpinan organisasi, mestinya dapat dikelola generasi muda mereka yang sudah berpola pikir digital yang memiliki talenta IT.
“Tapi
bank yang lama sebaiknya setelah masuk kedalam platform digital, tetap perlu
menggunakan sms banking. Human touch dari call centre 24 jam dapat melayani
nasabah yang mungkin kurang melek teknologi. Dan akhirnya bisa membuat nasabah
mencoba masuk ke dalam platform digital. Jadi, sekalipun bank digital, tapi
tetap ramah terhadap kebutuhan nasabah,” pungkasnya. (DANS)