Oleh: Prof Dr R. Siti Zuhro
(Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional: BRIN)
“Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. (Lord Acton)
Reformasi telah mengubah sistem ketatanegaraan Indonesia. Perubahan sistem tata negara tersebut salah satunya berasal dari amandemen UUD 1945. Salah satu perubahan UUD 1945 yang paling mendasar adalah perubahan masa jabatan presiden: dari yang tak terukur menjadi terukur (hanya 2 periode). Kepastian dan keterukuran dalam sistem demokrasi sangat diperlukan.
Sistem Demokrasi
Apakah ide masa jabatan presiden 3 periode atau usulan tunda pemilu itu relevan signifikan dan urgen dibahas di MPR? Ide masa jabatan presiden 3 periode jelas bertentangan dengan spirit gerakan reformasi 1998. Salah satu tujuan gerakan reformasi adalah menciptakan sirkulasi kepemimpinan yang terukur dan pasti. Sistem demokrasi yang disepakati dan dijalankan sejak 1998 memerlukan konsistensi dan komitmen semua komponen bangsa. Tidak hanya pemilu tapi aturan hukum juga harus diikuti dan ditaati agar jabatan publik (tertentu) tidak diisi orang yang sama dalam waktu yang terlalu lama.
Hukum harus memastikan bahwa setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Pembatasan masa jabatan presiden 2 periode (sebagaimana diatur dalam konstitusi) adalah bagian dari menjaga negara Indonesia sebagai negara demokrasi dimana pembatasan yang demikian tersebut diterima dalam praktik HAM secara universal dan bukan dianggap sebagai pembatasan HAM.
Ciri sistem pemerintahan presidensial secara umum adalah jabatan kepala negara dan kepala pemerintahan dipegang oleh Presiden. Presiden dipilih langsung oleh rakyat untuk masa jabatan tertentu yang bersifat tetap. Selain itu, Presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen dan sebaliknya Presiden tidak dapat membubarkan parlemen, dan presiden memimpin secara langsung pemerintahan yang dibentuknya.
Mengenai berapa periode masa jabatan presiden, praktik negara yang menganut sistem presidensial adalah mayoritas mengatur paling banyak 2 periode. Dalam konteks Indonesia, usulan masa jabatan presiden 3 periode sangat tidak relevan dan tidak signifikan karena sebenarnya bisa dicarikan solusi lain dengan cara melakukan reformulasi perencanaan pembangunan nasional yang ada saat ini. Refomulasi ini dilakukan dengan membuat haluan pembangunan nasional yang berlaku untuk jangka panjang yang dikemas dengan produk hukum kuat sehingga setiap ganti presiden harus dipastikan bahwa penyusunan program pembangunan berdasarkan janji kampanyenya tidak menyimpang dari haluan pembangunan nasional yang telah disepakati bersama oleh segenap komponen bangsa.
Permasalahan Sistem Pemilihan
Kalau ditarik ke tataran makro, Konstitusi Indonesia tidak cukup melembagakan proses seleksi pemimpin secara demokratis, tapi hanya mengatur prinsip-prinsip ketatanegaraan dan pemerintahan quasi presidensial yang bersifat umum. Konstitusi masih dipengaruhi oleh sistem kabinet parlementer pasca-Proklamasi. Perjalanan demokrasi terputus sejak 1958-1959 sehingga tradisi seleksi kepemimpinan belum melembaga. Dalam hal ini, para pemimpin Republik terpanggil dan terpilih melalui seleksi sejarah. Praktik sistem Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru menutup peluang lahirnya pemimpin secara “normal” karena menempatkan birokrasi, sipil dan militer sebagai satu-satunya sumber rekrutmen pemimpin (bureaucratic polity).
Perdebatan Periodesasi Kepemimpinan
Ada tiga wacana yang mengemuka, yaitu masa jabatan presiden cukup satu kali dengan durasi kepemimpinan delapan tahun, masa jabatan dua periode dengan cara sela, dan masa jabatan presiden tiga periode dengan durasi kepemimpinan total selama 15 tahun. Opsi-opsi tersebut harus diikuti oleh kajian serius dan membuat naskah akademiknya dengan mengacu pada filosofi, teks, dan konteks serta pengalaman empirik.
Masalahnya bagaimana menghentikan wacana perpanjangan masa jabatan presiden setiap menjelang pergantian kepemimpinan (suksesi). Usulan presiden 3 periode ini tidak hanya muncul saat ini saja, tapi juga ramai diperdebatkan era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Waktu itu salah satu kader partai Demokrat mengusulkan kemungkinan SBY bisa memimpin sampai 3 periode. Namun, usulan tersebut menimbulkan polemik dan resisten publik. Perdebatan mereda dan akhirnya berhenti setelah SBY merespon dan menjelaskan posisinya untuk tidak menyetujui usulan tersebut.
Semua pihak mestinya memahami bahwa amandemen pembatasan masa jabatan presiden tersebut sebagai respon agar pengalaman Orla dan Orba tak kembali terulang dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Keduanya terjebak pada jebakan kekuasaan yang ingin terus menerus berkuasa seumur hidup.
Partai politik, DPR, DPD, MPR dan pemerintah harus bekerja serius untuk memajukan Indonesia dan menyejahterakan rakyat. Mereka semestinya berhenti mewacanakan topik-topik yang ujung-ujungnya menimbulkan polemik dan kontroversi serta upaya untuk melanggengkan kekuasaan semata. Sejarah politik Indonesia menunjukkan bahwa pengalaman terkait hal itu berujung pada chaos.
Permasalahn Krusial yang Dihadapi Indonesia
Masalah riil yang dihadapi pemerintah sampai 2024 adalah menanggulangi dampak-dampak pandemi covid dengan varian-varian barunya. Dampak-dampak negatif bidang sosial-ekonomi, sosial-budaya dan sosial politik serta hukum dan ideologi/kebangsaan sangat berat. Dan ini yang secara terukur harus diberikan bukti solusinya. Bukan sebaliknya, elit politik mengajak rakyat menyoal kemungkinan jabatan presiden 3 periode/tunda pemilu yang membuat gaduh dan menimbulkan ketidakpastian baru dan ketidakpercayaan rakyat.
Dengan berbagai permasalahan yang dihadapi tersebut, kondisi NKRI sedang tidak baik-baik saja. Permasalahan yang dihadapi negeri ini sangat kompleks. Dampak-dampak covid-19 belum tertangani dengan memadai. Indonesia harus menjalani kehidupan new normal yang sarat dengan budaya digital (digital culture). Hal ini tentunya tidak mudah bagi negara berkembang seperti Indonesia. Pemerintah harus memberikan solusi terhadap permasalahan tersebut dengan memadai. Fokus dan energi partai politik dan lembaga eksektif, legislatif, dan yudikatif harus tertuju ke penyelesaian masalah yang menjadi tugas fungsinya. Indonesia ke depan memerlukan terobosan program pengentasan kemiskinan dan inovasi khususnya untuk mengakselerasi implementasi SDM unggul dan menyejahterakan rakyat.
Penataan Politik Hukum
Pertama, penataan menyeluruh atas format pemilu khususnya dan sistem demokrasi pada umumnya membutuhkan dukungan politik penegakan hukum secara konsisten, sehingga terbentuk sistem demokrasi konstitusional yang berdasarkan hukum.
Kedua, politik penegakan hukum semestinya dilakukan secara simultan dan sinergis dengan penataan format pemilu dan skema demokrasi agar terbangun koherensi antara “pembangunan politik” dan “pembangunan hukum”, sehingga politik yang bersifat anarkis terhindarkan.
Ketiga, politik penegakan hukum seyogyanya lebih berorientasi keadilan yang berporos pada kepentingan bangsa ketimbang sekadar pelembagaan hukum yang berorientasi juridis-formal belaka, sehingga cita-cita sistem demokrasi berdasarkan hukum dapat diwujudkan.
Penataan politik secara menyeluruh atas format pemilu khususnya serta skema demokrasi dan atau sistem politik berikut unsur-unsur yang melekat padanya merupakan suatu keniscayaan.
Pemilu-pemilu yang dilaksanakan sejak 1999, pemilu presiden secara langsung sejak 2004, serta pilkada langsung sejak 2005 dan pemilu serentak sejak 2019 belum menghasilkan pemerintahan yang efektif yang mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Sistem demokrasi belum meniscayakan hadirnya pemerintah dan para wakil rakyat yang bertanggung jawab dalam mengemban mandat politik yang diberikan rakyat.
Karena itu, tolok ukur keberhasilan sistem demokrasi tidak sekadar terletak pada terpenuhinya segenap prosedural elektoral, melainkan lebih pada kualitas akuntabilitas pemerintah dan wakil rakyat terpilih yang tercermin dalam kemampuan mereka mewujudkan cita-cita keadilan, keberadaban, dan kesejahteraan bagi segenap unsur bangsa kita.
Cita-cita luhur dan mulia tersebut tidak mungkin terwujud karena demokrasi dan skema pemilu telanjur dilembagakan terperangkap berbagai distorsi.
Karena itu suatu penataan sistem politik secara menyeluruh diperlukan agar bangsa kita tidak mengulang kembali “salah urus” negara dan pemerintahan yang hampir tidak berujung.
Demokrasi Indonesia dan Pentingnya Kepemimpinan Transformatif
Dalam kehidupan demokrasi yang sudah mapan, sistem lebih berpengaruh daripada pemimpin. Ini karena demokrasi mengajarkan pemimpin bekerja dalam sistem. Dalam konteks Indonesia, membangun sistem sangatlah penting. Namun, realitasnya peran pemimpin relatif lebih dominan/menentukan.
Indonesia membutuhkan kepemimpinan transformatif, bukan transaksional. Pemimpin tansaksional cenderung mengambil keputusan dengan pertimbangan untung-rugi. Pemimpin transformatif cenderung berorientasi pada perubahan demi tercapainya tujuan, dengan sejauh mungkin melibatkan pengikutnya. Mereka memanfaatkan soft power dengan memberi contoh, memotivasi pengikut agar memiliki idealisme dalam upaya mencapai tujuan.