![]() |
Foto: Pemberitaan masif kunjungan Dewan Pers ke Polda Lampung dan ke Polres Lampung Timur, dan MOU dengan Kapolri |
JAKARTA, wartamerdeka.info
Terkait
adanya ungkapan Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc., MA, Ketua Umum Dewan Pengurus
Nasional Persatuan Pewarta Warga Indonesia (Ketum DPN PPWI) yang mengatakan adanya
dugaan keras PWI dan Dewan Pers (DP) dibalik kriminalisasi dirinya, yang
diberitakan beberapa media, Jurnalis Senior, Aris Kuncoro, SE mengaku sangat
prihatin.
Aris
Kuncoro, SE, yang sejak muda mengawali karirnya di Harian Merdeka tahun ’86-an ini
mengatakan, bisa rusak negara kalau begini.
“Wah
wah..Prihatin! Bisa rusak Negara jika benar Dewan Pers memperalat kepolisian
R.I untuk urusan balas dendam terhadap seseorang. Saya kira nggak bisa gitulah,”
ungkapnya menjawab pertanyaan wartawan di Bekasi, Selasa malam (07/06/2022).
Dikatakan
Aris Kuncoro yang juga Plt. Ketua Umum Perkumpulan Wartawan Online Independen
Nusantara (PWOIN) ini, kendati ada MOU antara Dewan Pers tidak digunakan
sembarangan.
“Yang
saya tahu, MOU antara Dewan Pers dengan Kapolri itu kan untuk mendukung
kemerdekaan pers. Jadi, mestinya itu dimanfaatkan untuk mendukung kemerdekaan Pers,
sesuai Undang-undang Pers No. 40 Tahun 1999. Bukan malah dijadikan senjata
untuk menghantam pihak yang tidak disukai. Nggak bisa sembarangan gitu dong,”
tandasnya.
Sebab
itu, Aris Kuncoro yang dulu sempat memimpin Tabloid Guntur, dan beberapa media ini
mengingatkan, agar Dewan Pers menjalankan programnya sesuai tupoksinya.
“Kita tentu berharap, Dewan Pers menjalankan programnya sesuai tugas pokok dan fungsinya, dalam mendorong kemerdekaan Pers itu sendiri. Sekarang era informasi teknologi sudah sangat maju. Media digital tidak bisa terbendung lagi, dalam berbagai bentuk penyiarannya. Jangan apriori terhadap suburnya media-media yang sangat pesat tumbuh beberapa tahun belakangan ini. Semua itu jadi tanggungjawab Dewan Pers untuk merangkul, menata dan mengembangkannya. Bukan malah mendiskriminasi media-media yang tidak termasuk konstituen Dewan Pers,” bebernya.
![]() |
Foto: Wartawan Senior Aris Kuncoro, SE (Plt. Ketum PWOIN) |
Termasuk, lanjut Aris, agar Dewan Pers sebaiknya mencabut Surat Edaran ke instansi-instansi di daerah, yang melarang media yang tidak terverifikasi melakukan kerjasama pemberitaan.
“Itu
juga Surat Edaran Dewan Pers ke instansi-instansi daerah yang melarang
kerjasama dengan media-media yang tidak terverifikasi, agar dicabut saja. Itu
justru kontraproduktif dengan prinsip kemerdekaan Pers. Karena, untuk mendirikan
media online, itu sudah jelas ada aturannya dalam Undang-undang, yaitu harus
berbadan hukum, yang dikeluarkan KemenkumHAM. Jadi, jangan dihambat sendiri
oleh Dewan Pers. Biarlah para instansi-instansi tersebut dan masyarakat yang
menilai, apakah kualitas media tersebut layak atau tidak bagi mereka yang menggunakan,”
pungkasnya.
Sebagaimana
diberitakan sebelumnya, kasus Wilson Lalengke dan kawan-kawannya (Edy S dan
Sunarso) sarat politisasi, padahal persoalannya adalah hanya merobohkan papan
bunga di halaman luar Polres Lampung Timur, 11 Maret 2022 lalu. Ternyata, Dewan
Pers dan PWI beserta rombongannya secara khusus mendatangi Kapolda Lampung,
Irjen Pol. Hendro Sugiatno dan Kapolres Lampung Timur, AKBP Zaky Alkazar
Nasution, untuk menyatakan dukungannya atas penangkapan Ketum PPWI, Wilson
Lalengke.
Bahkan
terhadap kasus Wilson Lalengke ini dikenakan pasal berlapis, yakni 170, 406 dan
335 KUHP. Dan para saksi memberatkan dari pihak pelapor (dari Humas Polres
Lampung Timur, Tokoh Adat dan Penjual Papan Bunga-Red), membuat keterangan yang
penuh kedustaan, karena banyak berbeda dengan BAP, dan tidak konsisten pada
sidang-sidang sebelumnya.
Sementara
pada sidang ke-7 Senin, 6 Juni 2022, JPU menghadirkan saksi ahli pidana di PN
Sukadana, Lampung Timur. Dari persidangan tersebut terungkap fakta bahwa diduga
kuat PWI dan Dewan Pers berada di balik kriminalisasi terhadap Wilson Lalengke
dan kawan-kawan.
Indikasi
itu terlihat dari keterangan saksi ahli pidana dari JPU, Eddy Rifai, yang
membawa-bawa nama PWI dan Dewan Pers dalam keterangannya soal UU Nomor 40 tahun
1999 tentang Pers. Eddy Rifai sendiri adalah dosen di Universitas Negeri
Lampung mengatakan, bahwa semua orang yang bukan anggota PWI dan tidak
terverifikasi menjadi konstituen Dewan Pers dianggap bukan wartawan dan tidak
boleh menggunakan UU Pers.
"Saksi
ahli Eddy Rifai itu juga sempat mengeluarkan pernyataan bahwa karena saya dan
PPWI selalu menggaungkan pembubaran Dewan Pers dan menolak UKW Dewan Pers, maka
saya tidak dilindungi Undang-Undang Pers," ungkap Wilson kepada media usai
persidangan.
Sontak
saja Wilson yang alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 itu menegaskan kepada
saksi ahli Eddy Rifai, agar tidak membawa-bawa kepentingan pribadi atau
kelompoknya dalam persidangan yang sedang digelar saat itu.
0 Reviews:
Posting Komentar