Cilegon Menabrak Konstitusi, Merobek Pancasila

Oleh: Danny PH Siagian SE MM

(Pemerhati Sosial Masyarakat dan Politik)

Peristiwa penolakan rencana pendirian rumah ibadah di Cilegon yang belakangan ini viral, karena Walikota, Wakil Walikota, FKUB, MUI, Dinas Agama dan para Pemuka Agama secara beramai-ramai menandatangani kain kafan, untuk tidak menyetujui pendirian rumah ibadah di Lingkungan Sumur Wuluh, Cikuasa, Kelurahan Gerem, Kecamatan Grogol, Kota Cilegon, Banten (Rabu, 7/9/2022).

 

Ada apa sebenarnya dengan para pejabat Pemerintah setempat, hingga organisasi-organisasi keagamaan di Cilegon yang secara berjamaah melarang pendirian rumah ibadah? Apakah saudara-saudara umat muslim begitu bencinya terhadap umat Kristiani, sehingga harus mengharamkan pembangunan gereja?

 

Apakah Walikota dan Wakil Walikota serta para ASN Pemda setempat merasa bumi Cilegon itu milik mereka sendiri, sehingga dengan arogannya mengeluarkan larangan tersebut? Apa dasar pelarangan yang secara terang-terangan dilakukan oleh Pemerintah setempat bersama ASN dan Ormas Islam disana?

 

Apakah peraturan mengenai pendirian rumah ibadah itu lebih tinggi dari Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)? Kan sudah tahu bahwa Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945, pasal 29 ayat (2) mengatakan, "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu."


Sungguh luar biasa perilaku wakil Pemerintah Pusat di Cilegon tersebut. Cilegon telah terang-terangan menabrak Konstitusi. Ini artinya melawan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena NKRI itu berdasarkan Konstitusi. Sedangkan Cilegon, tidak berdasarkan Konstitusi.

Foto: Walikota, Wakil Walikota Cilegon bersama Ulama dan Organisasi-organisasi menandatangani kain kafan penolakan pembangunan gereja di kantor Walikota

Walikota Helldy Agustian bersama Wakil Walikota Cilegon Sanuji Pentamarta mestinya menjadi Pemimpin seluruh warga masyarakat yang ada di wilayahnya, baik dari berbagai latar belakang suku, agama, ras, dan golongan. Bukan malah secara picik berpikir mundur dan sempit, dan hanya mementingkan segolongan tertentu, tapi mau memungut pajak dan kewajiban dari warga negara yang non muslim untuk kepentingan daerah Cilegon.

 

Adanya ketidak adilan, terhadap umat Kristiani, sesungguhnya jug telah merobek Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia. Terutama Sila Pertama, Kedua, Ketiga dan Kelima. Herannya, di zaman moderen yang belakangan ini makin demokratis, masih ada manusia-manusia yang menyimpan dengki, hingga beramai-ramai menandatangani pelarangan berdirinya gereja, di kain kafan yang untuk orang mati itu. Segitu bencinya barangkali, hingga harus menggunakan kain kafan ya?

 

Dan yang lebih membuat hati miris, ternyata pengajuan pembangunan gereja HKBP Maranatha Cilegon itu sudah melalui masa penantian dan sudah berulangkali diajukan, hingga menelan waktu 15 tahun. Luar biasa kejamnya. Apakah ini yang namanya cermin perilaku antar umat beragama?

 

Dan yang lebih aneh lagi, ternyata rencana pendirian gereja itu justru sudah mendapatkan izin dari Pemerintah Desa dan masyarakat setempat. Nah, kenapa justru Walikota, Wakil Walikota dan seluruh aparat dan Organisasi kota Cilegon malah keberatan? Apakah ini yang namanya menjalankan konstitusi?

 

Yang kontradiktif lagi, jika ditelusuri lebih jauh, puluhan tempat hiburan atau entertain, tumbuh marak di berbagai pojok kota. Bahkan berbagai tempat hiburan remang-remang secara terselubung, awet dari tahun ke tahun. Dan sudah menjadi rahasia umum dari dulu. Sangat ironis, jika pembangunan satu unit rumah ibadah saja, sudah puluhan tahun tidak bisa-bisa. Aneh bin ajaib!

 

Cilegon Dipertanyakan

Mana sesungguhya cermin kota Cilegon? Sebagai kota industri dan wisata, apakah terbuka untuk berbagai warga negara dari berbagai latar belakang suku, agama, ras dan golongan, atau sebagai kota yang tertutup untuk itu?

 

Jika memang tertutup hanya untuk agama tertentu, maka sebaiknya, sejak awal dibuat peraturan yang selaras. Agar hanya yang beragama Islam yang bisa berdomisili di Cilegon. Supaya, warga negara yang diluar Islam, sudah mengetahui segala konsekwensinya, jika masuk ke Cilegon.

 

Tentu, menjadi pertanyaan berikutnya, apakah Cilegon berdasarkan Konstitusi NKRI atau tidak? Berdasarkan Pancasila atau tidak? Masih dalam naungan NKRI atau tidak?

 

Tak sedikit tokoh masyarakat, intelektual, ulama dan para pegiat sosial hingga para netizen yang mempertanyakan sikap Pemerintah kota Cilegon, bahkan prihatin atas perbuatan-perbuatan zolim seperti itu. Mereka antara lain: Ketua Umum DPP Partai Nasdem, Surya Paloh; Ust. Suparman Abdul Karim; Pegiat media sosial Denny Siregar; Peneliti dari Setara Institute Halili Hasan; dan masih banyak lagi. Bahkan Menteri Agamapun mengatakan, bahwa orang-orang seperti itu dikatakan, “Seperti tidak dekat sama Tuhan”. Lantas, dekat dengan siapa? Ibliskah?

 

Jika harus mengikuti aturan pendirian rumah ibadah, sebagaimana diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 tahun 2006, hingga berbagai persyaratan seperti: validasi dukungan masyarakat sekitar dari kelurahan, rekomendasi kantor Kemenag Kota Cilegon dan rekomendasi dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), sampai kapanpun, tidak akan pernah adil dan objektif. Karena logikanya, orang-orang yang berada di berbagai unsur tersebut, adalah orang-orang yang pada dasarnya sudah dengki dan sirik duluan.

 

Perlunya Sistem Tersentralisasi

Untuk mengatasi persoalan yang sudah puluhan tahun ini, maka yang paling benar adalah, Pemerintah seharusnya membuat sistem secara digital, yang memverifikasi persyaratan-persyaratan yang dibutuhkan untuk pembangunansebuah rumah ibadah. Sehingga tidak mudah dipermainkan oleh oknum-oknum maupun aparat Pemerintah yang mungkin berpola pikir primitif dan susah dijelaskan dengan logika berpikir. Sistem tersebut tentu dibuat secara progresif dan transparan. Sehingga masyarakatpun bisa memantau, sejauh mana persyaratan tersebut sudah terpenuhi.

 

Dalam Era Keterbukaan Informasi seperti sekarang ini, perlu didukung sistem digitalsiasi, yang tersentralisasi. Sentralnya dikendalikan oleh Kementerian Agama, Kemendagri, maupun kementerian terkait lainnya. Agar Pemerintah Daerah, berikut aparat maupun ulama hingga organisasi-organisasi terkait tidak lagi sembarangan secara suka-suka, menentukan hidup-matinya kemerdekaan beragama warga negara, yang dijamin Konstitusi.

 

Yang ada selama ini justru selalu terbalik. Para warga hingga Pemerintah setempat, jauh lebih berkuasa dari Pemerintah Pusat. Jauh lebih menentukan dibanding Undang-undang Dasar R.I 1945. Dan ini terus berulang, hingga puluhan tahun. Orang per orang yang menentukan.  

 

Ke depan, jika ada sebuah sistem yang terintegrasi dapat mendeteksi persyaratan-persyaratan yang sudah dipenuhi, maka harapan objektivitas dan keadilan, secara otomatis akan lebih mudah terdeteksi. Tentu, hal ini perlu kajian lebih jauh. Namun bukan tidak mungkin dilakukan.

 

Dalam sistem pemerintahan sekarang ini, semuanya tidak bisa lagi terlepas dari sistem digital yang semakin menjadi ‘minded’. Sisdukcapil pun sudah efektif secara digital, dan terkoneksi dengan NPWP seseorang, dan lain sebagainya.

 

Kenapa soal persyaratan pembangunan gereja, hingga 15 tahun tak kunjung tuntas? Separah apa ranjau yang ada dalam persyaratannya, sehingga 3 (tiga) periode Walikota pun tak beres-beres? Sebab itu, jika sistem yang tersentralisasi dapat diwujudkan, maka kebohongan, kedengkian dan segala macam intrik dari manusianya, akan terlibas. (Jkt, 15/09/2022)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama