Tanpa judul


JAKARTA (wartamerdeka.info) - Wakil Ketua MPR RI dari unsur DPD RI periode 2019-2024, Prof. Dr. Ir. H. Fadel Muhammad tetap dengan mekanisme yang berlaku dalam menghadapi  Mosi Tidak Percaya yang diusung Ketua DPD La Nyalla Mattalitti. Fadel mengaku tak gentar menghadapi AA Lanyalla Mattalitti.

Menurut Fadel, La Nyalla lupa, atau sengaja menabrak konstitusi bahwa seorang pimpinan lembaga tinggi, seperti pimpinan MPR RI, tidak bisa diberhentikan atau dicopot saat masih bertugas dengan mekanisme “Mosi Tidak Percaya”. Karena dalam UU MD3 tidak dikenal mekanisme “Mosi Tidak Percaya”.


MD3 merupakan Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 


Alih-alih ingin menggantikan pimpinan MPR unsur DPD, La Nyalla kini malah terancam diberhentikan sebagai Ketua DPD RI dengan tudingan telah melanggar kode etik dan tata tertib DPD RI serta melanggar UU MD3. 


Fadel menyatakan pencopotan dirinya dari jabatan Wakil Ketua MPR inkonstitusional. Ia pun menyatakan akan melakukan sejumlah upaya hukum untuk melawan putusan tersebut. Dia mengajukan pengaduan kepada Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (BK DPD RI), atas pelanggaran terhadap UU MD3, Tata Tertib DPD RI dan Kode Etik DPD RI.


Lalu Pelajaran apa yang bisa diambil dari persoalan ini ? Dikutip Youtube Ngaco Indoposco, Wakil Ketua MPR RI dari unsur DPD RI periode 2019-2024, Prof. Dr. Ir. H. Fadel Muhammad menjelaskan hingga tuntas bagaimana kedewasaan seorang guru besar menghadapi arogansi juniornya.


Fadel menuturkan, awalnya dia ditelepon Wakil Ketua DPD Mahyudin memberitahukan bahwa dia untuk berhati-hati. Pasalnya ada gerakan untuk menggoyangnya, mereka ingin berbuat sesuatu yang menggantinya dari Wakil Ketua MPR pada akhir Juni 2022.

“Saya terus mengecek dan akhirnya berbicara sama ketua kelompok kerja di DPD yang dibawah wakil ketua MPR yang diketuai Tamsil Linrung. Kita ngobrol lama 2 jam menceritakan hal ini. Tamsil mengatakan Ketua DPD (LaNyalla.red) menyiapkan dokumen mendatangani dsb. Kepada Ketua DPD dia (Tamsil Linrung. Red) menganjurkan untuk tidak dilanjutkan, karena akan repot dan permasalahannya panjang,” ujar Fadel dalam perbincangan yang dipandu oleh Host Ngaco, Nelly Marinda S, dikutip Senin (5/9/2022).

Tapi Ketua DPD, kata Tamsil, tetap memaksakan kehendaknya. Tamsil menanyakan sebaiknya bagaimana, sudah kita damai saja. Tamsil mengajak untuk berdiskusi. Lalu Fadel berusaha bikin appointment dengan La Nyalla namun alasannya tidak ada waktu. Begitu Tamsil juga bikin appointment tidak dapat.

Maka tanggal 11 Agustus 2022, Fadel mengecek ke ruang La Nyalla  mengantar undangan buat acara sidang MPR tanggal 16 Agustus.  Fadel mengaku antar ke ruangannya tapi La Nyalla sepertinya kurang senang dengannya dan mengatakan mengatakan bahwa dia juga mau keluar. 

Fadel mengikuti La Nyalla mempertanyakan hal ini sampai lift. Dia jawab memang yang ingin menggeser dirinya adalah Bustami Zainudin. “Dapat dibayangkan saya pimpinan lembaga tinggi Negara, dia juga pimpinan lembaga tinggi Negara. Masa mengatakan sesuatu seperti itu.Saya kaget kok tidak etis, dia diam saja langsung pergi. Lalu saya balik ke ruang saya. Terus kemudian tanggal 15 Agustus, jam 14.30 dia sudah datang ketemu Pak Bambang Soesatyo (Ketua MPR) ketika lagi persiapan tanggal 16 Agustus, dia mengatakan ke Pak Bambang minta ganti saya. Pak Bambang kaget, menurutnya itu ada prosedur, ada Undang-Undang dan ada aturannya. Namun, La Nyalla mengatakan bahwa dia sudah pertimbangan mau tarik,” katanya.

Menurut Ketua MPR  tidak mudah prosesnya, lalu bertanya siapa yang mau digantikan Fadel, dia menyebutkan Bustami. Menurut Fadel ini kan tidak etis, seorang pimpinan lembaga tinggi Negara kok tidak mengetahui prosedur. Belum tahu bagaimana pemilihannya, dia sudah menyebutkan nama itu ke publik.

Ini yang membuat kemudian terjadilah sidang tanggal 15 Agustus 2022 pergantian posisi itu digelar dalam sidang paripurna ke-2 DPD RI Masa Sidang I Tahun Sidang 2022-2023 di gedung Nusantara V, kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (18/8/2022). 

Sidang itu dipimpin La Nyalla Mahmud Mattalitti, didampingi Wakil Ketua DPD RI Nono Sampono, Mahyudin, dan Sultan B Najamudin.

“Dalam agendanya saya menyampaikan laporan kinerja saya selama setahun. Dalam laporan itu saya menjelaskan semuanya, dan pada akhir saya menjelaskan dengan ketua ada sudut pandang yang tidak cocok, berbeda dsb. Dia dengan nada yang keras kita keluar, membuat semua yang hadir kaget. Dia lompat dari atas panggung ke kanan saya maju kedepan. Saya kan malu sebagai seorang senior,  notulen rapat dan foto semua ada,” ungkapnya.

Kemudian pada tanggal 15 Agustus itu diputuskan oleh La Nyalla bahwa Mosi Tidak Percaya itu diterima oleh pimpinan dan akan diserahkan kepada Badan Kehormatan, selanjutnya Badan Kehormatan mengkaji hal ini, kemudian mengambil langkah-langkahnya.

“Benar juga perkiraan Pak Mahyudin, nah ujug-ujug pada tanggal 18 Agustus 2022 ada rapat paripurna lagi. Semestinya kalau ada rapat paripurna yang membuat panitia musyawarah, mengagendakan dua acara. Satu mengagendakan tata tertib yang baru, dan kedua menempatkan semua anggota di badan-badan kelengkapan. Tapi dia (La Nyalla) kemudian menyusupkan agenda baru, agenda siluman, agenda pembohongan menambahkan agenda pemberhentian,” tuturnya.

Menurut Fadel hal ini tidak sah, karena yang membuat agenda harus panitia musyawarah (Panmus). Ketua DPD diprotes oleh anggota DPD karena itu tidak ada di dalam agenda, dan tidak pantas dibicarakan. 

La Nyalla mengatakan ini telah diputuskan dalam rapat pimpinan pengganti Panmus. 

Semua yang hadir dalam rapat kaget, Karena dalam tata tertib tidak ada rapat pimpinan tapi Panmus. 

“Jadi, saya mengatakan ini adalah suatu manipulasi dan penyalahgunaan dari pada kesewenang-wenangan. Dia paksakan hingga semua setuju, akhirnya terjadi. Beberapa teman protes, dan saya  walkout. Banyak yang walkout karena tidak puas dengan cara-cara begini,” terangnya.

Yang menarik, lanjut Fadel, bahwa proses ini kan tidak ada dalam tata tertib kita. Proses pemberhentian seperti ini. Belum pernah dalam sejarah, kalau dalam aturan pemberhentian pimpinan MPR harus bersurat dulu kepada badan kehormatan, menetapkan bersurat kepada pimpinan MPR oleh kelompok kerja. Baru kemudian dijawab oleh MPR untuk mempersilahkan dan menunjuk penggantinya.

“Seperti kemarin Pak Zul (Zulkifli Hasan.red), jadi menteri perdagangan maka dia bikin surat pengunduran diri. Setelah bikin surat maka MPR bikin surat ke Fraksi, lalu Fraksi bikin surat mencari pengganti. Jadi ada prosedur yang dilewati itu di MPR bukan di DPD,” terangnya.

Fadel menyatakan kedudukan dirinya sebagai Wakil Ketua MPR periode 2019-2024 sah menurut hukum dan aturan perundang-undangan yang berlaku. 

Ia mengaku sudah bekerja dan menjalankan tugas sesuai amanat peraturan perundang-undangan, termasuk menjalankan Pasal 138 ayat (1) Peraturan DPD tentang Tata Tertib yang mengamanatkan dirinya untuk menyampaikan laporan kinerja di hadapan Sidang Paripurna DPD. 

Sementara itu, LaNyalla mengungkapkan keputusan pencopotan Fadel dari Wakil Ketua MPR perwakilan unsur DPD dilakukan setelah mosi tidak percaya terhadap Fadel diteken oleh 97 anggota dari 136 anggota DPD. 

Namun Fadel menegaskan persoalannya dalam undang-undang dan tatanegara kita Mosi Tidak Percaya itu tidak ada. 

Mosi Tidak Percaya itu ada di Negara-negara penganut parlementer, seperti Malaysia dsb. Mosi Tidak Percaya itu tidak sah dan tidak bisa dijadikan landasan hukum untuk mengambil keputusan. 

"Saya juga heran ada apa ini. Begitu ceritanya,” tandasnya.

Bukan saja feelingnya, Fadel melihat ini fakta bahwa ini dilakukan oleh La Nyalla pun diceritakan oleh Tamsil dan teman-teman bahwa La Nyalla yang pegang sendiri, panggil anggota DPD didampingi oleh Bustomi. “Mereka ingin merebut pimpinan MPR untuk satu maksud tertentu, untuk calon presiden barangkali,” kata Fadel menduga.

“Karena dia ada keinginan untuk itu. Kalau saya masih tahu diri, karena undang-undang mengatakan harus ada partai. DPD bukan partai tapi suatu lembaga tinggi Negara yang independen. Tidak bisa digunakan untuk menjadikan calon presiden,” ucap Fadel.

Maka Fadel mengungkapkan sebelum masuk ke DPD, dulu  dia menjabat Sekretaris Dewan Pimpinan Golkar. Ketika masuk ke DPD, dirinya mundur dari pengurus Golkar. 

Terkait 4 hal yang dituntut, Fadel menjelaskan dengar sepintas dan itu disampaikan oleh Fahrur Rozi dan Ketua DPD mengatakan bahwa Fadel selama 3 tahun tidak pernah menyampaikan pertanggung jawaban laporan kinerja wakil Ketua MPR di rapat paripurna.

Menurutnya ini aneh, Ketua DPD dan Fahrur Rozi (Wakil Ketua DPD) apa tidak membaca tata tertib. Dalam tata tertib pasal 8 tahun 2021 itu mengatakan bahwa laporan pimpinan MPR dari DPD setahun sekali, baru pada tahun 2022. Tahun sebelumnya tidak ada di dalam tata tertib. Pimpinan-pimpinan MPR sebelumnya tidak pernah melaporkan hal ini. 

“Baru tahun ini pada sidang paripurna saya laporkan, saya bikin buku yang bagus. Sudah pantas bulan Agustus melaporkan.  Saya tidak mengerti apa dasarnya  berbicara begitu,” katanya.

Pada poin ke dua, terang Fadel, alasannya dia tidak merangkul mereka, kurang pendekatan. Padahal Fadel mengaku selalu bikin acara-acara dengan mereka, namun dirinya melihat pada acara-acara tidak ada yang signifikan. “Tapi yang menarik adalah disampaikan oleh anggota DPD dari Jawa Tengah, saudara Kholid. Dia mengatakan ikut tanda tangan bersama dari Sulawesi Tengah, saya ikut tanda tangan karena katanya untuk memperbaiki hubungan antara DPD dengan MPR.  Informasi kepada mereka bukan pencopotan, saya heran dan tidak setuju cara-cara begitu. Karena judulnya berbeda tapi yang dilakukan lain,” ujarnya.

Menurut Fadel itu menyalahi tata tertib dan bisa pidana, bisa perdata, bisa juga kode etiknya. Fadel mengaku sudah bikin laporan panjang lebar, dan uraikan semuanya satu persatu. Dulu, kata Fadel, tidak punya masalah dengan La Nyalla.

“Saya pernah bilang kalau anda ingin menjadi presiden bagus, saya dukung. Kata dia di depannya saya mendukung  menunjukan kode L tapi di belakang nyeleneh. Bukan menyeleneh, beberapa kali saya ingatkan kepada dia bahwa ada aturannya, harus dari partai untuk bisa menjadi  calon presiden. Dalam undang-undang ada. Mereka juga bilang saya tidak memperjuangkan DPD mengenai ambang batas,” paparnya.

Lalu Fadel menceritakan ketemu dengan ketua Mahkamah Konstitusi (MK), untuk mengecek. Ketua MK mengatakan bahwa tidak ada guna karena ini bukan haknya, menurut Ketua MK ini adalah tempatnya di Senayan. “Saya sudah sampaikan kepada teman-teman. Kalau terkait penguatan DPD saya sudah tuliskan berkali-kali dengan Jimly Asshiddique. Malah sekarang saya sudah punya ide baru di rapat MPR, saya malah berpikir untuk membuat undang-undang sendiri, mengenai DPD seperti undang-undang DPR,” tuturnya.

Fadel menjelaskan, nanti juga MPR kita bikin undang-undang karena kita ada three house, pertama DPR, kedua DPD, ketiga MPR. Masing-masing punya tata tertib sendiri, aturan sendiri. Undang-undang adalah undang-undang MD3, undang-undang buat DPR, DPD dan MPR. Sudah ada undang-undang untuk itu. Tapi undang-undang untuk DPD sendiri belum ada. 

“Saya baru terpikir sekarang penguatan uang transfer ke daerah itu kan besar, harusnya DPD ikut mengontrol kegiatan Presiden bersama Menteri Kuangan. Dalam hal itu DPD mengambil peran lebih besar. Saya sebenarnya kesal, mungkin saya sakit hati seperti merasa ditikam dari belakang. Kalau betul ada kesalahan saya semestinya dibicarakan. Saya merasa tidak ada masalah, tapi saya merasa sikap dia ke saya mungkin ada,” tandasnya.

Untuk memberikan pelajaran, Fadel mengatakan intinya membuat laporan kepada badan kehormatan, bahwa Ketua DPD tidak etis, dia tidak mengikuti tata tertib dan berlainan dari segala aturan-aturan yang ada, berlawanan. 

“Saya bikin laporan panjang lebar kepada badan kehormatan. Kemudian saya lapor ke polisi. Pertama pencemaran nama baiknya sebagai mantan gubernur dua periode, pernah menjadi menteri, pernah jadi anggota MPR, dan saya memegang penghargaan-penghargaan Negara yang banyak,” jelasnya

“Nama saya tercemar, seakan-akan orang tidak percaya  dengan perbuatannya saudara La Nyalla. Kemudian saya juga membuat laporan perdata ke pengadilan negeri , perbuatan melawan hukum. Apa yang dia buat itu melawan hukum,” sambungnya.

Cuma yang menarik, Fadel mesti lapor juga ke PTUN. Kenapa sampai saat ini belum membuat laporan. Menurutnya ini lucu, sidang paripurna tanggal 18 Agustus 2022, tapi SK nya belum keluar. Artinya wakil-wakil ketua yang lain tidak ikut tanda tangan. Sehingga terjadi pembicaan internal yang intens.  Fadel dengan teman-teman di MPR, bertanya ada apa? Menurutnya ini aneh. Sehingga Fadel belum bisa lapor ke PTUN, karena harus ada  SK. “Kalau ada ada SK baru saya lapor ke PTUN, tapi ini tidak ada. Akhirnya saya bawa ini ke perbuatan melawan hukum ke pengadilan perdata,” katanya.

Supaya tidak terjadi kekonyolan ini di kemudian hari, Fadel menjelaskan, pertama kita jangan menggunakan lembaga tinggi Negara untuk kepentingan pribadi. “Itu yang paling penting di jaga. Kita mendudukan lembaga terhormat ini harus gunakan lembaga tinggi Negara untuk kepentingan rakyat,” jelas Fadel.

Kedua, lanjutnya, kita harus taat kepada undang-undang, namanya UU MD3, tata tertib yang kita punyai kita mesti tunduk dengan tata terib yang ada. Ketiga, kode etik yang ada di DPD. 

Menurutnya, ini sangat penting dari semua dasar jangan kita melangkah. Kalau kita melangkah tidak mengikuti patokan ini kasihan lembaga tinggi Negara.

“Sekarang saya malu karena berada di dalam lembaga tinggi Negara tapi ada orang-orang berbuat konyol. Nafsu saya di lembaga tinggi negara ada kejadian seperti ini. Anggota DPD merasa tidak menyangka sampai kesana untuk memberhentikannya. Banyak sekali yang lapor minta maaf kepada saya, karena ikut tanda tangan dipaksa. Alasan-alasan itu menurutnya tidak perlu diulangi lagi,” ungkapnya.

Fadel kemudian akan membuat laporan perbuatan melawan hukum, dan akan menuntut mereka-mereka yang ikut tanda tangan itu ganti rugi yaitu tanggung renten. Tapi kalau mereka ingin membatalkan mosi tidak percaya menurutnya tidak kena itu. Namun, katanya, bisa tapi tunggu dulu proses perbuatan melawan hukum ke pengadilan lalu proses ke arah sana, biar tertib. Karena menurutnya belum pernah terjadi selama negeri ini ada. 

Fadel mengaku menghadapi kasus ini tidak mengganggu kesehatan, hanya sedikit  kesal, sayang lembaga tinggi Negara yang seharus bekerja untuk rakyat tapi ada orang-orang seperti begitu. “Itu membuat saya menyayangkan. Seharusnya orang yang memahami. Tapi saya tahu dibalik ini adalah perbuatan LaNyalla, semua mencerikan hal itu ke saya terbuka mereka mengatakan,” ungkapnya.

Dalam tata tertib, maka Fadel mengikuti tata tertib yang ada di MPR dan kegiatan utama di dalam MPR. Kalau ada acara tidak bertabrakan dengan kegiatan MPR dia hadir pada rapat-rapat pleno. Menurutnya disini banyak sekali kegiatan protokoler. Apalgi dia diangkat menjadi Wakil Ketua Forum MPR se dunia. Rencananya tanggal 24-26 September di Bandung. Bersama ketua Hidayat Nur Wahid berkeliling ke beberapa Negara.

“Saya sibuk menyiapkan hal itu karena nanti ini menjadi embrio, sebelum itu ada kegiatan-kegiatan yang lain, dan kita sosialisasi 4 pilar yang kita berikan kepada MPR dan DPD. Belum lagi bertemu tokoh-tokoh masyarakat. Banyak sekali kegiatan-kegiatan yang harus dilaksanakan. Tapi saya mengikuti, kalau paripurna saya utamakan, di dalam sidang MPR saya selau menghadiri sidang paripurna,” jelasnya.

Fadel melihat dalam hal itu sudah pasti politik, ada kemauan orang ingin menjadi presiden untuk maksud tertentu. Fadel santai dan semua orang mengatakan bahwa La Nyalla melakukan ini itu. Meski  kaget tapi dia melayani karena tidak masuk pada ranah yang lain, Fadel tetap focus menghadapi kasusnya dengan La Nyalla.

Meski banyak yang mendukung langkah yang dilakukan, tapi Fadel anggap ini pelajaran untuk melangkah ke depan lebih baik. “Dan saya guru besar, dosen di Universitas Brawijaya mengenal local government, saya S3 di Gajah Mada. Suport dari mereka membuat dirinya berbesar hati,” katanya.

Dalam hal ini, Fadel  menyampaikan tiga hal. Pertama kita di dalam berpolitik harus menjaga etika sehingga tidak merusak demokrasi. Kedua, kita harus mentaati semua tata tertib sehingga tidak keluar dari tata tertib yang ada. Ketiga, hal utama jangan memanfaatkan lembaga tinggi Negara ini buat kepentingan pribadi kita. “Sumpah jabatan itu jangan sampai dilanggar. Dan saya juga menjaga tidak melakukan hal-hal seperti itu di Gorontalo maupun tempat lain,” pungkasnya.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama