Pilkada Lamongan, "Kampanye Hitam" Siapa Menuai Simpati? (2)

W. Masykar
Ada adagium (ungkapan) bukan Indonesia kalau suhu politik tidak mendidih menjelang pemilu/pilkada. Meski terkesan berlebihan bahkan terasa sangat sarkastis, tapi fakta tersebut seakan telah menjadi kesepakatan umum setidaknya sejak model pemilihan kepala daerah secara langsung. Eskalasi mendidih suhu politik jelang pilkada (termasuk pilpres bahkan pilkades) menjadi label yang terus melekat setiap momentum politik seperti saat ini.

Apalagi pada momen kampanye - khususnya di Lamongan kian mendidih menyusul banyaknya model kampanye hitam dan kampanye negatif. Meski kampanye negatif masih dimungkinkan (tidak dilarang) tapi keduanya membuat suasana terus memanas.

Kampanye negatif masih dimungkinkan karena setiap paslon mesti saling mengungkap data dan adu kekuatan argumentasi, berbeda dengan kampanye hitam (black campaign).

Dalam suatu tulisannya Richard R Lau dan Ivy Brown Boner mengenai kampanye negatif (Negative Campaigning), kampanye negatif dilakukan dengan menunjukkan kelemahan dan kesalahan pihak lawan politik melalui data riil yang ditampilkan. 

Penggunaan kampanye negatif pun secara hukum dipandang sebagai suatu hal yang sah, bahkan berguna untuk membantu publik membuat keputusannya.

Debat, misalnya (seperti semalam) termasuk bagian dari - bukan sekadar adu konsep gagasan, tapi sekaligus bisa dilihat dan dianalisis seberapa dalam kekuatan argumentasi dan kematangan program yang disampaikan masing masing paslon.

Jadi bukan sekadar mencari kelemahan lawan, tapi juga mampu menawarkan gagasan yang lebih inovatif dan rinci dengan argumentasi jelas dan rasional. (bersambung) 


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama