Lakon Santri Mbeling (4)

 

Novel Karya : Qosdus Sabil
"Lakon Santri Mbeling" adalah Novel Perdana karya : Qosdus Sabil
Aktivis Pinggiran Muhammadiyah 

"Cinta itu burung yang indah, yang mengemis untuk ditangkap tapi menolak tuk dilukai." (Khalil Gibran)

Editor: W. Masykar
Babak Keempat- "Lantai Lima"
Di lantai lima Gedung PP Muhammadiyah, kenangan hari itu terlukis seperti sketsa yang hidup. Hari itu, saya ditemani anak sulung dan bapak mertua menghadiri sebuah pertemuan. Namun, lebih dari sekadar momen formal, hari itu menjadi panggung bagi sesuatu yang tak terduga: kisah luar biasa seorang pria berusia 72 tahun, yang kebetulan adalah bapak mertua saya.

Kami menghabiskan waktu dengan bermain bulu tangkis. Meski usianya sudah senja, bapak mertua saya menunjukkan kegesitan yang seolah menentang waktu. Dalam setiap set, saya dibuat tertegun oleh kelincahannya. Bermain dengan siapa pun, beliau selalu tampil unggul. Lawan-lawannya tampak kewalahan menghadapi refleks cepat dan lemparan koknya yang penuh presisi. Rasanya, tak ada yang mampu menandingi keahlian beliau di lapangan.  

Namun, ada satu momen yang benar-benar membekas. Sebuah adegan di mana kok melayang lembut di atas net, hampir menyentuh jaring, dan bapak mertua saya sudah mati langkah. Semua penonton menduga itu akhir dari rally, tetapi ternyata tidak. Dengan refleks luar biasa, beliau menjatuhkan diri ke lantai dalam posisi push-up, mencungkil kok dengan sempurna, dan mengembalikannya ke bidang lawan.  

Sekejap, lantai lima meledak oleh sorak sorai dan tepuk tangan penonton. Suara kekaguman dan keterkejutan memenuhi ruangan. Ada yang berteriak, "Gile! Ini mah bukan umur 72, tapi 27!" Bahkan Mas Mu’ti, yang menjadi saksi kejadian itu, hanya bisa terkagum-kagum. "Dahsyatullah sekali, Pak. Ayo, ajak Bapak main lagi," katanya. Namun, saya hanya bisa menggeleng. "Wah, saya tidak berani. Bisa-bisa kualat kalau memaksa beliau terus bermain."  

Momen itu mengingatkan saya pada kebiasaan beliau ketika berada di Bondowoso. Jika cucu-cucunya datang berkunjung, raket kesayangan beliau sering disembunyikan oleh Mama, khawatir beliau terlalu sering pergi dari satu gedung ke gedung lain bersama komunitas pecinta olahraga atau jamaah pensiunan.  

Bapak mertua saya bukan sekadar sosok yang gemar berolahraga. Ketika saya sakit, beliau langsung turun tangan, memastikan segala kebutuhan medis saya terpenuhi. Namun, beliau tetaplah orang yang sederhana. Di tengah kepeduliannya, beliau tetap sempat khawatir tentang hal-hal kecil, seperti talang yang penuh daun di rumah, terutama saat musim hujan.  

Kenangan lain yang mengalir adalah cerita cinta kami, saya dan istri saya, yang bermula di tengah kehangatan keluarga besar ini. Dan kini, ketika ambulance tiba untuk membawa saya ke tempat perawatan, saya kembali mengenang semuanya, dari awal hingga kini. Sang Surya di langit Ciputat tampak malu-malu, menyembunyikan senyumnya di balik awan, tetapi sinarnya tetap terasa, memberi harapan.  

"Sang Surya tetap bersinar," pikir saya, seraya terlelap dalam buaian ambulance. Dalam perjalanan itu, saya membayangkan Rasulullah Muhammad SAW tersenyum dari balik Raudhah, taman surga. Saya teringat akan para sahabat seperti Utsman bin Affan, yang aset dan amalnya abadi sepanjang zaman.  

Kelak, saya ingin mengajak anak-anak saya, Aro dan Archie, untuk melihat tempat-tempat yang menjadi saksi perjalanan hidup ini. Saya ingin mereka tahu betapa dalam cinta yang kami bangun sebagai keluarga. Dan entah mengapa, dalam mimpi itu, saya mendengar suara-suara memanggil nama Aro.  

Bukan Ari, bukan Alex, tetapi Aro.  

Dan dalam nama itu, tersimpan doa dan harapan, sebuah nama yang akan saya jaga bersama cinta dan cerita.

Catatan: saya kemarin pas Pak Eni datang. Nama yang aku lupa ternyata adalah Pak Alex 🤩

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama