Babak Ketujuh "Duka di Kampus Sedayu"
Jumat pekan yang lalu, suasana di Kampus Terpadu Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta di Sedayu mendadak muram. Kabar duka menghampiri ketika seorang siswa dinyatakan syahid karena tenggelam di embung kampus. Peristiwa itu menyisakan luka bagi banyak orang, termasuk bagi Archie.
Teman bermain Archie, meskipun berasal dari kelas berbeda, adalah anak asal Lampung—serupa dengan garis darah Archie yang memiliki akar dari Lampung: Lamongan Kampung.
Di tengah suasana duka itu, Archie menunjukkan sikap yang mengundang senyum sekaligus heran. Bukannya larut dalam kesedihan, ia malah meminta dikirimkan pancing joran kepada ayah dan bundanya.
Permintaan itu disampaikan dengan nada penuh semangat, seolah-olah pancing itu adalah penawar dari segala kesedihan. Archie bahkan tak segan merayu bundanya agar segera mengirimkan joran tersebut.
Namun, rayuan kepada bunda tampaknya tak cukup berhasil. Archie dengan taktik khasnya berpindah "medan perang." Ia mendekati buleknya, yang baginya sudah seperti ibu kedua. Dengan gaya manjanya, Archie mulai merengek.
Sang bulek, melihat tingkah Archie, hanya bisa menggaruk kepala yang sejatinya tak gatal, lalu menyerah. Permintaan Archie akhirnya dilaporkan kepada suaminya.
“Archie ini ada-ada saja,” gumam omnya sambil tertawa kecil. Namun, tampaknya kali ini Archie berhasil memenangkan hati sang om. Dengan senyum tipis, sang om menyanggupi permintaan itu. Ia membawa pancing joran sembari berangkat mengajar, meskipun harus menyelinap dari pengawasan satpam kampus.
Dalam operasi kecil itu, sang om bergerak seperti seorang agen rahasia. Dengan penuh kehati-hatian, ia melewati cctv dan satpam hingga akhirnya berhasil bertemu dengan Archie. Barang pun "diselundupkan" dengan selamat. Wajah Archie berseri-seri, sementara sang om hanya bisa menggeleng pelan, tersenyum melihat kepuasan di wajah keponakannya.
Di tengah semua itu, sang ayah memandang permintaan Archie dengan pandangan bijak. “Kepada kalian, ayah selalu dapat mempertimbangkan permintaan kalian, asalkan kalian bisa membagi waktu untuk belajar dengan baik,”
"Kalian jangan hanya belajar SKS saat mau ujian. Belajar dengan sistem kejar semalam hanya akan membuat kalian tegang".
Ayahnya sengaja menyebutkannya "kidel" bukan "kidul", sebuah maksud untuk mengajarkan pentingnya sebuah konsistensi. Satu sikap yang istiqamah, bersatunya kata dan perbuatan.
Dalam terminologi kromo inggil, tidak akan bisa ditemukan bahasa kromonya kidul. Jika, kromonya adalah kilen, bahasa ngokonya adalah kulon. Jika kromonya utara adalah eler, maka bahasa ngokonya adalah elor.
Maka, senasib dengan kidel, tidak ada witen atau wetin untuk menghaluskan wetan. Karena, baik secara kromo maupun ngoko, keduanya sama.
Sang Ayah rupanya ingin menunjukkan betapa banyak ketidakkonsistenan itu diajarkan. Bahkan, oleh seorang resi dari dalam istana Sang Raja.
Ayahnya mengingatkan dengan tegas namun penuh kasih. Baginya, waktu belajar harus tetap menjadi prioritas, terlepas dari godaan seperti pancing joran atau hiburan lainnya.
"Biasakan kalian segera merapikan catatan pelajaranmu, sembari mengeringkan badanmu yang penuh peluh usai bermain sepulang dari sekolah".
"Nanti, kalian bakal mendapatkan rutinitas belajar kawan-kawanmu yang pasti lebih banyak melakukan belajar dalam sistem kejar semalam.
Kalian lihat betapa panik dan stresnya teman-temanmu itu saat belajar hanya ketika menjelang ujian".
Cerita kecil ini mungkin terlihat sederhana, tapi di baliknya tersimpan gambaran tentang Archie yang penuh taktik dan kehangatan keluarga yang mendukung.
Perjalanan hidup seorang Archie yang dipenuhi warna. Dari kesedihan yang mendalam karena kehilangan teman, hingga tawa kecil saat mendapatkan apa yang diinginkannya.
Senin, Ciputat diguyur hujan kepagian