Novel Karya : Bayu W
"Mengajar Mengaji" (bagian 1 episode 3)
Sabtu sore itu Sabiq mengayuh sepedanya agak berat, kebetulan angin berhembus agak kencang. Seperti biasa menjelang magrib, sepeda itu satu-satunya alat transportasi yang praktis. Karena terkadang Sabiq pulang dari masjid bisa tengah malam, sehabis isyak, pukul 23 an.
Juga karena pada akhir pekan, jadwal bis kota tidak sebanyak ketika hari aktif, bahkan 3 kali lebih jarang, bis akan lewat 1 jam sekali untuk ke arah masjid, itupun juga hanya sampai pukul 22 an.
Di Herouville itu, banyak penjual daging halal, juga banyak penduduk muslimah yang berjilbab, bahkan pelayan supermarket besar Carrefour pun ada yang berhijab untuk bagian kasirnya. Di supermarket itu pula ada bagian khusus yang menjual daging halal.
“Assalaamu’alaikum Abu Bakar, comment ça va ? (Assalaamu’alaikum Abu Bakar, bgmn kabarnya ?)", sapa Sabiq ketika tiba di masjid dan melihat Abu Bakar, marbot penjaga masjid yang sedang membersihkan karpet dengan aspirator.
"Oui, alhamdulillaah ça va bien, et toi ? (iya, alhamdulillaah kabar baik, dan kamu ?" jawab Abu bakar.
"Alhamdulillaah, je suis bien. Comme dab, je viens de finir une manip au labo, alhamdulillaah tout va bien. (alhamdulillaah, saya baik. Seperti biasa, baru saja selesai ambil data di labo. Alhamdulillaah semua berjalan baik)", sahut Sabiq sambil menuju pintu kamar untuk wudhu di pojok kanan belakang dari ruang utama masjid.
Sore itu, sebenarnya pikiran Sabiq benar-benar dihantui perasaan terbayang surat dari kepolisian yang kemarin siang diterimanya. Tetapi ketika tiba di masjid, pikiran dan perasaan Sabiq menjadi tenang, seperti merasa terlindungi.
Sabiq dan Abu bakar sudah benar-benar seperti sahabat yang akrab sekali. Abu bakar adalah orang Senegal, berkulit hitam kurus tinggi rambut keriting, namun hati nya putih bersih seputih salju Normandie, baik dan ramah.
Tapi sayang, Sabiq pernah dengar dari salah satu pengurus masjid bahwa Abu Bakar tidak memiliki identitas tinggal secara resmi sehingga tinggalnya ya di masjid itu.
“Alors, qu’est-ce qu’on va faire en attendant le magrib? (jadi, apa yg akan kita lakukan sambil menunggu magrib ?”, tanya Abu bakar sambil menggulung kabel aspirator karena sudah selesai membersihkan mesjid. Ketika itu Sabiq juga baru saja keluar dari tempat wudhu.
"Okay, après la prière, on va faire le thé à la menthe. (okay, setelah sholat, kita buat teh rasa min)", jawab Sabiq sambil jalan dan meluruskan lengan bajunya karena habis ambil wudhu.
Abu Bakar kemudian menuju dapur masjid setelah menempatkan aspirator ke gudang masjid, mencari panci kecil untuk memanaskan air. Seperti biasa, meskipun dia yang bertanya akan buat apa, tetapi sebenarnya ya tetap Abu bakar sendiri yang menyiapkan teh nya.
Seperti banyak masjid di Prancis, meskipun masjid An nour ini merupakan masjid sementara, bekas pabrik, berukuran sekitar 15 x 15 meter dengan halaman yang bisa menampung sekitar 10 mobil. Terletak di daerah sepi, zone industri, sehingga ketika sudah di luar jam kerja sangat sepi, di pojok.
Kebetulan memang kanan kiri mesjid itu, gedung-gedung kantor yang kosong, sepertinya tidak digunakan.
Kebanyakan masjid di Prancis, terletak di daerah pinggir, sepi, zone industri, atau bahkan dekat dengan pemakaman. Itu tidak menjadi penghambat banyak orang islam untuk datang sholat meskipun berjalan jauh dari halte bis.
Sambil minum teh di dapur, Sabiq berbincang-bincang dengan Abu Bakar tentang umat islam di Indonesia. Yang pada masa-masa itu ada krisis ekonomi dan juga perselisihan antar umat bahkan pertikaian. Berita-berita itu semua juga diketahui oleh masyarakat muslim jamaah An Nour. Maka tidak heran banyak yang bertanya bagaimana kabar keluarga Sabiq.
Apakah juga terlibat pertikaian atau bagaimana. Suatu ketika pernah bahkan pengurus masjid akan berinisiasi mencarikan tiket pulang Sabiq jika ingin menjenguk keluarga di Indonesia.
Sabiq sama sekali tidak membuka pembicaraan dengan Abu Bakar terkait dengan surat panggilan dari kepolisian kemarin siang habis jum’atan.
Jika diketahui oleh teman-teman masjid tentu Sabiq tidak siap bagaimana menghadapi komentar dan pertanyaan kecurigaan teman-teman masjid kepadanya. Maka Sabiq memilih diam dan seakan tidak ada apa-apa, kegundahan hatinya pelan-pelan sirna sementara seiring rasa teh min yang disruputnya.
Tidak banyak teman Indonesia yang tinggal di Caen atau Herouville saat itu. Sekitar 3 orang mahasiswa, 1 non muslim dan 1 nya seorang ibu. Sehingga praktis yang rutin ke masjid adalah Sabiq. Maka orang-orang muslim Herouville semunya hafal dan kenal dengan Sabiq, barangkali karena wajahnya uniq di masjid itu. Kelihatan satu-satunya yang berwajah asia. Bahkan bagi mereka, sulit membedakan Sabiq dengan orang asia lainnya, Cina, Jepang, Malaysia atau negara lainnya. (Bersambung)Bayu W, Penulis "Kapten Laurent dan Sabiq" adalah Prof. Doktor Bayu W., Novel ini ditulis saat sedang merampungkan program Doktor nya di Universite de Caen - Perancis.
Novel terdiri dari 4 Bagian dan puluhan seri dengan berbagai setting dan kisah yang berbeda saat berada di negeri La France itu, dan juga di tanah air. Terinspirasi dari kisah nyata yang penuh dengan inspirasi, motivasi, pengalaman unik, semangat etos tinggi meraih cita.
Dikemas dengan bahasa yang mudah dicerna dan enak dibaca - meski kadang ada kata atau kalimat berbahasa Perancis, tapi ada penjelasan sehingga pembaca tetap nyaman dan tidak merasa kesulitan. Lahir di Nganjuk Jawa Timur, Prof. Dr. Bayu W kini menetap dan bertugas sebagai salah satu pimpinan tinggi di kementerian - Jakarta.