Babak Keenam- "RSPAD"
"Yah, Alhamdulillah kita sudah sampai di rumah sakit. Bunda mau turun dulu ya. Mau ambil bed".
"Wahhh tidak terasa sama sekali. Sepertinya saya pules banget saat tertidur ya. Pak Budi nyetirnya halus sekali. Sampai-sampai sedikitpun saya tidak merasakan adanya goncangan atau bantingan stir yang membuat seisi mobil mobat-mabit karena saking kencangnya ambulans melaju".
"Iya Pak Alhamdulillah. Tadi sebenarnya saat kita lewat jalan Thamrin lagi macet parah. Sudah begitu ada iring-iringan beberapa motor PJR yang sedang mengawal rombongan menteri. Nggak tahu menteri siapa tadi. Yang jelas nomor plat mobilnya RI berapa ya tadi.... lupa saya...", cerita Pak Budi sembari mulai menarik tandu hidrolik pasien dan mengantarku masuk ke dalam IGD Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto Jakarta.
Seperti biasa. Itulah rutinitas kami setiap kali datang ke rumah sakit. Ambulans yang membawaku akan berhenti di lobby IGD. Selanjutnya, awak ambulans akan menurunkanku dari brankar ambulans lalu memindahkanku ke bed hospital yang banyak disediakan untuk pasien dengan keterbatasan seperti diriku.
"Rul... ayo kita pindah bapak ke ranjang. Satu... dua.... tiga.... Bismillah..."
Akupun kembali rebahan saja di atas ranjang pasien. Menikmati hari-hari yang penuh dengan perjuangan hidup atau mati akibat diagnosis adanya cancer prostat stadium akhir metastase ke tulang belakang.
Dokter urologi yang sangat senior memimpin langsung setiap tindakan medis yang diberikan untukku.
Pada tahap awal, aku harus menjalani radiasi sebanyak lima belas kali. Tidak terputus kecuali karena libur sabtu ahad saja. Selebihnya aku harus wirawiri ke RSPAD hanya untuk diradiasi.
Proses radiasi begitu singkat, tidak lebih dari tujuh menit. Macam kalau kita diminta mengisi kultum di mimbar masjid. Atau kuliah tujuh menit setiap memulai acara rapat Pimpinan Muhammadiyah. Dari tingkat Ranting sampai Pusat sama saja. Kultum yang dimaksudkan sebagai media pengingat moral untuk kerja-kerja keummatan yang tidak boleh dilupakan dalam mengawali setiap kegiatan persyarikatan Muhammadiyah.
Hari-hariku ke RSPAD selalu melewati rute yang menjadi kenanganku dulu. Saat awal mula aku datang ke Jakarta seringkali aku naik kereta api, dari stasiun Malang kota berakhir di stasiun Pasar Senen.
Tiba di stasiun Pasar Senen biasanya saat menjelang subuh. Aku kemudian bergegas mencari bajaj untuk mengantarku ke Gedung Dakwah Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang terletak di jalan Menteng Raya no. 62.
Rute yang berulang nyaris setiap hari aku lewati saat aku menjalani radiasi.
Waktu untuk radiasi begitu singkat. Tidak lebih dari tujuh menit. Lebih lama waktu yang kuhabiskan di jalan. Untuk jarak sekitar 22 kilometer, dari Ciputat ke RSPAD, rata-rata kami menghabiskan waktu lebih dari satu jam perjalanan. Itu sudah jauh lebih cepat karena aku memakai ambulans. Dibandingkan dengan naik mobil pribadi yang bisa menghabiskan waktu kurang lebih dua jam perjalanan.
Saat itu, sebelum dan seusai masa reformasi, aku hampir selalu naik kereta api kelas ekonomi atau bisnis. Jarang sekali aku naik kereta eksekutif. Rasanya masih teramat mahal tarifnya buat aktivis mahasiswa seperti kami.
Entah mengapa setiap hal yang nampak mewah di mata kami saat itu, seperti sebuah aib bagi kami. Kami lebih memilih kesederhanaan kaum proletar. Dan selalu mengecam kerakusan para kaum borjuis.
Sangat bertolak belakang dengan kehidupan aktivis hari ini yang tanpa merasa berdosa kerap menampilkan citra diri yang glamour, bahkan penuh dengan narsisme.
Saat itu, aku jarang sekali membeli tiket resmi di stasiun. Aku lebih memilih untuk membayar di atas saat kereta sudah berjalan. Karena itu bisa lebih murah bagiku.
Aku tidak pernah gagal saat naik kereta hanya karena tidak memiliki tiket. Lazimnya penumpang yang tidak memiliki tiket, pasti akan dimarahi, diinterogasi, bahkan ditangkap lalu diturunkan secara paksa di stasiun terdekat.
Namun, aku sudah mengerti bagaimana triknya supaya aman dan aku bisa cincai dengan kondektur kereta api yang sedang bertugas.
Aku selalu menyiapkan uang lembaran lima ribuan dikali tiga kali jadwal pemeriksaan oleh kondektur kereta. Pertama, saat berangkat, kemudian setelah melewati stasiun Semarang, dan terakhir setelah stasiun Cirebon.
Jadi total aku hanya menghabiskan uang lima belas ribu saja. Sementara untuk kelas bisnis bisa mencapai lima puluh ribu rupiah di waktu itu. Uang yang teramat cukup untuk nonton midnigth berempat bersama para aktivis di bioskop Taman Ismail Marzuki Cikini.
Tapi kini jangan coba-coba lagi. Jangankan naik ke dalam kereta, untuk sekedar masuk ke area ruang tunggu saja ketatnya bukan main.
Sekarang, ketika kita akan naik kereta api, kita bahkan tidak perlu mencetak tiket lagi. Cukup dengan memindai mata kita, petugas akan segera tahu kita mau naik kereta ke tujuan mana. Sungguh pesat perkembangan teknologi saat ini.
Hari ini, Alhamdulillah aku tidak perlu terlalu antri. Mungkin karena hari ini adalah hari jumat, maka pasien tidak seramai hari-hari biasanya.
Sekitar tiga bulanan ini aku selalu diarahkan oleh suster jaga poli urologi, agar aku segera menuju manhood center. Poli perawatan khusus yang sebenarnya hanya diperuntukkan bagi para perwira tinggi TNI.
Aku sangat menikmati proses rawat jalan yang harus kulalui ini. Terlebih di ruang manhood center ini ruangannya luas dan sangat nyaman. Jauh dari kesan umum sebuah rumah sakit. Tampilan ruang tunggunya lebih seperti di sebuah bank atau lobby sebuah hotel.
"Wahh saya terima kasih sekali ini sama Panjenengan. Atas arahan Panjenengan, saya sejak awal langsung ditangani oleh dokter senior terbaik, di tempat yang sangat nyaman yang diperuntukkan khusus untuk perwira tinggi TNI".
"Sami-sami Ustadz. Panjenengan memang berhak dan sangat layak untuk dapat menikmati fasilitas bagi perwira tinggi tersebut ", ucap seorang Jundullah TNI Angkatan Darat bintang empat yang enggan disebutkan kebaikannya.
Hari-hari yang kulalui dengan penuh kesyukuran. Betapa tidak, bisa jadi kalau diriku sehat, mungkin aku akan lebih sering pergi klayapan. Meeting di mana-mana yang tidak jelas ujung kesimpulannya bagaimana.
Apalagi tahun ini adalah tahun politik. Tahun dimana diriku selalu terlibat aktif masuk menjadi anggota tim sukses seorang Calon Presiden.
"Gusti Allah melindungi dirimu dari hal-hal yang mungkin banyak syubhatnyà broo".
"Gusti Allah sedang menunjukkan jalanmu dengan cara-Nya sendiri".
"Dia Maha Tahu untuk membolak-balikkan hati setiap anak manusia"
"Dia juga yang berkehendak mempergilirkan kekuasaan bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya. Sekaligus mencabut kekuasaan dari siapa saja yang dikehendaki-Nya".
Kali ini apa yang dikatakan Tomin kepadaku sangatlah benar. Tapi, tumben saja akalnya lagi waras. Biasanya dia selalu urakan dan kurang ajar kalau bicara. Apalagi terhadapku. Kawan bermain sejak kami masih sama-sama bocah. Dia akan selalu bicara seenak udelnya sendiri.
"Sekarang yang penting awakmu sehat. Tidak usah ikut-ikutan mikir negara. Negara sudah banyak yang mikir".
"Tapi aku akui. Kamu ini memang memiliki endurance yang nggak ada matinya. Apalagi kalau sudah diajak mikir negara. Langsung melek kan dirimu. Padahal nanti kalau Capres yang kita dukung itu sudah menang, belum tentu dia ingat sama kita".
Wkkkwkkkwkkkkkkk...
"Sudah, yang penting sehatkan dulu badanmu. Nanti kalau sudah kembali sehat, kamu segera berangkat umrah. Tiketmu nanti aku yang bayar"....
Tak terasa air mataku meleleh membasahi jenggotku yang semakin memutih.
Aku bersyukur mendapatkan kejutan hadiah dari Tomin. Hadiah yang mungkin dimaksudkannya untuk menghiburku. Namun, lebih dari itu. Aku yakin dia juga sedang ingin mengamalkan ajaran kedermawanan seperti yang dicontohkan oleh Sayyidina Ustman bin Affan. Kedermawanan yang luarbiasa. Kedermawanan tanpa batas.
Ketika menjelang perang Tabuk, Nabi SAW mengumpulkan para sahabat. Beliau mengumumkan kapan akan berangkat perang ke Tabuk.
Beliau menyerukan kepada semua sahabat untuk mempersiapkan pasukan. Beliau juga memerintahkan pengumpulan logistik untuk perbekalan menuju perang.
Mendengar seruan Nabi tersebut, sahabat Abu Bakar Radhiyallahu anhu mengatakan: "aku serahkan seluruh hartaku untuk keperluan jihad fii sabiilillah",
Mendengar hal tersebut, Nabi kemudian bersabda: "Jangan kau serahkan semua hartamu wahai sahabatku Abu Bakar. Sisihkan sebagian untuk keluargamu".
"Tidak Yaa Nabi. Aku tetap akan menyerahkan seluruh hartaku sebagai bekal pasukan menuju perang Tabuk. Untuk keluargaku telah kutinggalkan: cukuplah Allah dan Rasul-Nya buat mereka",
"Allahu Akbar....:. Seru para sahabat saat mendengarkan Abu Bakar menyerahkan seluruh hartanya di jalan Allah.
"Aku tidak mampu seperti Abu Bakar. Aku serahkan setengah hartaku untuk kebutuhan logistik perang", ujar Umar bin Khattab melanjutkan.
Tiba giliran sahabat Usman bin Affan. Usman memberikan seribu ekor unta dan ratusan kuda perang terbaik. Karena medan perang Tabuk ini sangatlah jauh dari Madinah. Sehingga memerlukan perbekalan yang mencukupi. Apalagi perang ini akan berlangsung pada saat musim panas yang sangat menyengat.
Para sahabat bergantian menyatakan komitmennya untuk terlibat aktif di medan jihad. Tidak hanya jihad dengan badan dan jiwanya, tetapi sekaligus juga kesediaan jihad dengan hartanya.
Mbah Kyai Ahmad Dahlan sendiri pernah menyatakan: "jiwamu tidak usah kau tawar-tawarkan. Karena cepat atau lambat kalian akan mati juga Apakah mati karena perang di medan tempur, atau mati saat tidur di atas kasur. Tetapi, beranikah kalian mengorbankan harta benda yang kalian cintai, untuk tegaknya perjuangan di jalan Allah?".
Mengetahui hal tersebut, kaum munafik mulai menghindar dari seruan Nabi untuk ikut berjihad, perang di jalan Allah.
Kaum munafik memiliki sangat banyak alasan agar terhindar dari kewajiban mengikuti perang Tabuk ini. Mereka menyampaikan berbagai macam alasan, agar mereka diperbolehkan untuk tidak mengikuti perang Tabuk.
Singkat cerita rupanya ada diantara para sahabat yang dengan sengaja tidak mengikuti perang Tabuk dengan alasan yang tidak dapat dibenarkan oleh syariat.
Terdapat tiga sahabat yang kemudian sangat menyesal mengapa mereka sampai tidak ikut perang Tabuk.
Sepulang dari perang Tabuk, tiga sahabat ini segera menghadap kepada Nabi. Namun, Nabi mengacuhkan mereka. Mereka menghiba memohon ampun atas keteledoran mereka yang tidak memenuhi seruan Nabi SAW untuk bersama-sama berjihad ke medan perang Tabuk.
Tetapi Nabi tetap tidak bergeming. Bahkan Nabi menggelengkan kepala, seraya memerintahkan kepada semua sahabat untuk tidak bicara dan bermuamalah selama empat puluh hari dengan ketiga orang sahabat itu. Hingga datang ketentuan dari Allah atas dosa mereka bertiga.
Ketiga sahabat itupun lantas pulang dengan tangan hampa, sedih yang menyayat hati karena dihukum oleh Nabi. Mereka kemudian bertaubat dengan sebenar-benarnya taubat. Taubatan nasuha. Bukan tobat lombok. Macam taubatnya para koruptor di negeri ini.
Tobat lombok adalah taubat yang hanya sekedarnya saja. Dan akan diulanginya lagi dosa-dosa pencurian serta perampokan uang rakyat untuk dinikmatinya sendiri.
Sungguh malang nasibnya para pencopet kere. Dia bakal digebuk habis jika sampai tertangkap oleh massa.
Begitu juga nasib para maling ayam yang harus mempetaruhkan nyawanya demi agar keluarganya tetap bisa makan.
Ingatlah kawan.... kita masih hidup di negara yang aparat polisinya masih doyan disuap. Yang petugas penjaranya masih sangat butuh tambahan uang untuk bisa bersenang-senang.
Ingat.... kita masih hidup di negara yang hakim dan jaksanya masih suka main mata.
Maka dari itu... hindarilah... jangan pernah kalian berurusan dengan mereka.
Hujan Angin menerpa
Menjelang senja
di tanah warisan Lurah Disah
Siip👍
BalasHapus