Wisanggeni (5)

 .              Oleh : W. Masykar

"Semar Mbangun Khayangan",
Teori Deontologis Immanuel Kant dan Kegelisahan - Semar

Sebelum Petruk ketemu Pandawa, Prabu Yudistira sedang melakukan rapat membahas perihal kegagalan Pandawa dalam membangun negaranya. Bencana datang silih berganti. Tanah longsor, gunung meletus. Banjir terus melanda bukan hanya didaerah pinggiran sungai namun terjadi juga di tengah kota karena got, selokan tidak berfungsi. 

Banyak gorong-gorong yang tersumbat karena lama tidak dilakukan perbaikan dan pembersihan. Selalu alasan anggaran tidak ada. Dinas terkait dinilai lamban dan minim perhatian. Meski dinas juga berkilah menunggu anggaran disepakati dewan atau anggaran habis.
Belum lagi infrastruktur jalan masih banyak yang rusak. Meski program Jamula tetap berjalan, belum seratus persen mampu diselesaikan, last but not least masih banyak program tertunda.Dibidang Pendidikan pun nyaris sama, amburadul. Rakyat banyak sambat karena biaya pendidikan mahal. Sekolah gratis hanya impian.

Pandawa pusing mencari solusi. Rapat maraton terus dilakukan hingga mengabaikan peran Semar.

Sementara Petruk yang berada diluar masih sedang adu mulut dengan Raja Dworowati, Prabu Kresna. Kresna menolak kedatangan Petruk yang akan mengundang para Pandawa ke desa Karangdempel atau Karangkabuyutan atas perintah Semar.

Kresna berargumentasi bahwa Semar tidak memiliki hak untuk mengundang para penguasa. Semar adalah representasi rakyat jelata yang dinilai kedudukannya lebih rendah sehingga tidak punya wewenang untuk mengundang pemimpin.

Ditengah sengitnya diskusi Yudhistira dengan para Pandawa yang membahas soal amburadulnya pembangunan dan kesejahteraan di negerinya, mendadak Kresna datang mengusulkan agar Semar dipanggil ke kerajaan Amerta. 

Kata Kresna,  Semar harus dipanggil  menghadap dan bukan Semar yang memanggil Pandawa ke Karangkabuyutan.
Kresna lantas mengusulkan agar Arjuna diberi mandat untuk memanggil Semar dari Karang Kabuyutan menghadap ke Amarta. Arjuno belum sempat menyatakan kesediaannya, Petruk datang di arena rapat Pandawa.

"Nyuwun Sewu, kehadiran saya atas perintah Semar untuk mengundang lima Pandawa agar segera datang ke Karangkabuyutan guna melakukan  Rapat Terbatas (Ratas)!," kata Petruk.
Tidak cukup datang berlima, lanjut Petruk sekaligus dengan membawah tiga pusaka kerajaan karena Semar berkeinginan membangun khayangan.Tiga pusaka tersebut adalah Jamus Kalimasada; Tunggulnaga dan Kalawelang. Tiap pusaka memiliki makna dan simbolisasi dari pola perilaku dan tata etika kehidupan.

Petruk berceloteh apa yang akan dilakukan Semar sesungguhnya tidak lepas dari teori deontologis filsuf Immanuel Kant dalam buku Groundwork of the Metaphysics of Morals. Immanuel Kant (1724-1804) filsuf Jerman yang mengembangkan teori etika deontologis berfokus pada tata aturan dan tugas profesional. 
Kant berpendapat bahwa nilai moral seseorang didasarkan atas  perbuatan itu sendiri, dan tidak dari hal-hal di luar perbuatannya. Kant juga meyakini bahwa semua manusia harus dilihat sebagai makhluk yang layak dihormati dan bermartabat. Karena itu, teori etika Kant juga ada dalam buku Critique of Practical Reason dan Metaphysics of Morals. 

Dari teori ini Kant membedakan imperatif hipotetis dan imperatif kategoris. Yang pertama,  perintah yang bersifat kontingen, yang bergantung pada keinginan, kebutuhan seseorang.Semar menginginkan Amerta gemah ripah loh jinawi sementara. Dan karena itu, Semar menginginkan agar Pandawa sebagai pemimpin harus berpijak pada pakem sebagai pemimpin yang mengayomi dan berpihak pada rakyat. 

Masyarakat harus sejahtera, semua akses kebutuhan harus terpenuhi, sementara Pandawa sedang asyik dengan model kepemimpinan yang mementingkan kolega dekat dan dinastinya.

Semar harus memanggil Pandawa untuk datang di Karangkabuyutan adalah imperatif hipotesisnya Immanuel Kant.
Sementara, imperatif kategoris adalah prinsip untuk memandu tindakan manusia, yang menyatakan bahwa tindakan harus sesuai dengan hukum universal. (Bersambung)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama