Biasa dipanggil Gus Bill
Penulis dapat dihubungi melalui email: qosdussabil@gmail.com
FB. Qosdus Sabil
Ig. qosdus.s
Seperti biasanya, pagi hari ini seusai mandi aku membuka layar ponselku. Kulihat seraut wajah sekira 30 tahun yang lalu.
Wajah polos seorang mahasiswa yang tampil apa adanya. Tanpa riasan make up, atau gaya rambut kekinian sebagaimana umumnya anak muda.
Semestinya, hari itu aku harus tampil necis dan perlente. Apalagi saat itu aku sedang menghadiri acara resepsi pernikahan senior dosen UMM yang sekaligus juga sebagai pengusaha muda sukses di Kota Malang.
Semestinya aku bisa memanfaatkan kesempatan itu. Kesempatan untuk sesekali memakai beskap atau jas lengkap dengan dasi, selayaknya aku sebagai pendamping calon mempelai pria.
Tapi itu tak kulakukan. Aku sangat tidak terbiasa untuk berpenampilan seperti itu. Aku selalu lebih nyaman untuk tampil apa adanya saja. Bahkan, sekedar untuk cukur rambut di tukang cukur pinggir jalanpun tidak aku lakukan. Karena, bagiku saat itu uang jatah bulananku terlalu berharga untuk mempoles penampilan semu. Uang jatahku harus aku sisihkan, agar aku bisa membeli buku.
Terkadang, jika sudah mendesak untuk keperluan membeli buku, jatah uang makanpun akan kami korbankan. Masak sendiri di kosan, dengan menu yang paling sederhana. Tempe penyet menjadi pilihan.
Kalaupun menggoreng telur ayam, maka kami akan membuat dadar telur setipis mungkin. Agar kami semua tetap bisa makan bersama dengan sesama kawan-kawan seperjuangan.
Aku mungkin orang yang terlalu percaya diri. Untuk urusan menata potongan rambutku setiap bulan, aku selalu mempercayakannya kepada Udin, Tomin atau Hary. Aku tidak pernah ambil pusing dengan hasil akhir karya cukuran mereka.
Karena, menurut Ibuku kalau dasarnya kita ini ganteng, dicukur model apapun kita akan tetap ganteng. Tausiyah Ibuku ini begitu menghiburku, ketika suatu hari Ibuku melihat hasil cukuran Tomin terhadapku tipis sebelah. Kepalaku jadi terlihat lebih condong ke kanan. Padahal aku sedang tidak memakai peci hitam andalan.
Tokoh-tokoh pergerakan di era kemerdekaan republik ini selalu terlihat gagah dan rapi. Walaupun pecinya kerap nampak miring ke kiri.
Hasil cukuran Tomin hari itu tidak seperti biasanya. Sebagai mahasiswa teknik, Tomin terbiasa mengukur sesuatu secara cermat dan akurat. Mungkin hari itu, hati Tomin sedang gundah gulana, kepada perempuan mana ia akan melabuhkan cintanya. Maklum, dengan tampangnya yang cukup gagah dan tampan, tidak heran jika Tomin memiliki banyak perempuan yang dijadikannya pacar. Akibat galaunya hati Tomin, cukuran rambutku hari itu menjadi korban.
"Njih Mas Bagus. Sami-sami. Perjalanan ke Majenang yang luar biasa mengesankan. Penuh kenangan", balasku.
"Coba tebak, itu siapa yang lagi menunduk duduk di samping Jenengan?" tanya Mas Bagus menguji ingatanku.
"Oh itu... yang memakai batik biru itu Mas Taufiq ya Mas?" tanyaku balik.
"Lalu, yang batik coklat disebelahnya itu adalah Allahuyarham Prof. Toro... betul kan Mas?"
"Betul sekali Gus. Senang sekali mendengar kabar Jenengan makin sehat. Semoga makin membaik dan pulih total seperti sediakala ya Mas".
"Aamiin... Aamiin Yaa Mujiibassaailiin. Maturnuwun doanipun Panjenengan njih Mas. Teriring salam hangat dari Ciputat untuk Panjenengan sekeluarga", tutupku mengakhiri percakapan whatsapp pagi itu dengan Mas Bagus, seniorku.
Sebenarnya, Mas Bagus ini juga baru pemulihan dari sakit yang cukup serius pada tahun yang lalu. Mas Bagus bahkan sempat beberapa lama dirawat di ICU RS UMM. Alhamdulillah, kini kesehatannya semakin membaik. Beliau sudah kembali mengajar, dan bisa hadir dalam berbagai acara persyarikatan Muhammadiyah.
Seusai mendampingi Mas Bagus naik ke pelaminan, aku dan Mas Toro izin pamit pulang terlebih dahulu.
"Kok buru-buru tho Mas? Mbok ya nginap semalam lagi di Majenang. Pulangnya bisa tetap bersama rombongan keluarga dari Malang", rayu Zainuddin kepadaku.
"Raiso Din. Aku karo Mas Toro arep lanjut acara ke Jogja. Sebagai adik, kamu harus kawal kakakmu seminggu disini. Biar kamu juga bisa dapat ning geulis disini... hahahaaa".
"Wahhh... padahal maksudku sampean mau aku ajak klayapan disini. Siapa tahu sampean juga bisa kecanthol gadis sunda yang cantik jelita...". Si Udin masih mencoba menahanku.
Kehormatan keluarga kerajaan Pajajaran merasa dihinakan. Tersingkap dengan samar adanya skenario penaklukan. Gajah Mada ingin menjadikan Pajajaran sebagai daerah baru yang ditaklukkan oleh kerajaan Majapahit.Pajajaran menolak keras skenario Gajah Mada itu. Betapapun Pitaloka tahu bahwa Hayam Wuruk sangat mencintainya. Ketulusan cinta Hayam Wuruk terhadap gadis Sunda, mungkin sama seperti cinta Raden Wijaya, leluhurnya, yang juga memiliki istri dari tanah Sunda.
Raden Wijaya adalah menantu Kertanegara Raja terakhir kerajaan Singosari. Ia menjadi aktor intelektual keberhasilan sisa-sisa pasukan Singosari dalam menghancurkan armada pasukan Mongol yang saat itu nyaris tidak terkalahkan. Pasukan tempur dikirim oleh Kubilai Khan yang terkenal sangat kejam, untuk menghukum Kertanegara.
Kubilai Khan sangat marah ketika utusan khusus yang dikirimnya ke Singosari justru kehilangan telinganya. Kubilai Khan sangat terhina dengan perlakuan Kertanegara terhadap utusannya tersebut. Mungkin Kubilai Khan tidak membayangkan betapa marah dan terhinanya Kertanegara, saat utusannya meminta Singosari untuk menjadi bagian dari kekaisaran Mongol. Atau jika tidak, Singosari harus membayar upeti tahunan yang sangat besar kepada Mongol. Sebagai tanda Singosari tunduk kepada Mongol.
Saat armada kapal yang membawa ribuan pasukan Mongol berlabuh di pantai utara Gresik, kerajaan Singosari baru saja ditumbangkan. Raja Kertanegara terbunuh oleh tentara Jayakatwang dari Kediri.
Raden Wijaya lalu dengan cerdik memberi kabar kepada Panglima tentara Mongol. Bahwa Kertanegara telah mati dibunuh oleh Jayakatwang. Raden Wijaya lalu memprovokasi pasukan Mongol dengan begitu cerdasnya. Ia katakan bahwa pasukan Mongol telah sia-sia datang ke tanah Jawa, karena musuh yang akan ditumpasnya telah tiada. Supaya tidak pulang dengan tangan hampa, ia bujuk Panglima Mongol untuk menaklukkan Jayakatwang di Kediri. Sebagai ganti atas penaklukan Singosari. Dengan mengalahkan Jayakatwang, maka tentara Mongol berharap akan mendapatkan medali kehormatan tertinggi dari Kubilai Khan sebagai pasukan yang benar-benar tidak terkalahkan. Mereka lupa telah berhadapan dengan kelembutan orang Jawa. Kelembutan yang mematikan.
Usai menghancurkan Jayakatwang beserta kerajaannya, pasukan Mongol berpesta pora. Bersuka cita telah menang perang melawan tentara Jayakatwang. Harta rampasan perang memenuhi armada kapal pasukan Mongol.
Pulang dari Kediri, Raden Wijaya segera mengatur strategi. Ia kumpulkan sisa-sisa pasukan Singosari yang masih setia kepadanya. Di belantara hutan Mojokerto di sepanjang sungai Brantas, Raden Wijaya menyiapkan pasukan penyergap. Kavaleri tempur laut tentara Mongol tidak berdaya menghadapi serangan kilat pasukan yang dipimpin oleh Raden Wijaya. Tentara Mongol habis dilumat dalam semalam. Sangat sedikit dari tentara Mongol yang selamat dari serangan Raden Wijaya.
Itulah Raden Wijaya, raja pertama yang mendirikan kerajaan Majapahit. Sebuah kerajaan yang terbesar di nusantara. Kerajaan yang paling luas wilayahnya.
Namun, ironis sekali ketika Hayam Wuruk sebagai seorang raja terbesar kerajaan Majapahit, justru gagal dalam menaklukkan hati seorang gadis Sunda.
Kisah kelam ini mungkin masih saja menghantui. Setidaknya, kita akan sulit menjumpai nama jalan atau gedung di tataran tanah Sunda yang menggunakan nama Gajah Mada, Hayam Wuruk atau Majapahit.
"Jadi, Panjenengan ini hebat dan sangat perkasa Denmas Bagus. Panjenengan telah mampu menaklukkan hati ning geulis disini. Ngluruk tanpo bolo Panjenengan ini. Luar biasa..." canda Profesor Toro sembari pamit pulang duluan bersamaku.
Aku dan Mas Toro-pun lalu pamitan pulang. Zainuddin dan Taufiq menemani kami menunggu bus dari pinggir jalan didepan hotel dimana kami menginap.
Tidak lama kemudian bus umum dari Cilacap datang. Aku segera melambaikan tangan untuk menghentikannya. Bus terlihat mulai melambat. Secepat kilat Mas Toro sudah melompat masuk kedalam bus dengan tujuan akhir Purwokerto itu. Tak ingin ketinggalan, akupun sembari berlari melompat naik masuk dari pintu belakang, tanpa perlu menunggu bus berhenti terlebih dahulu.
Saat itu jangan lagi bertanya kepada kami. Betapa sombongnya kami sebagai aktivis mahasiswa yang masih berdarah muda. Jangankan cuma melompati bus antar kota antar Provinsi. Jika diperlukan, tidak hanya Istana kura-kura di Senayan, Gedung Istana Merdeka-pun kelak akan kami taklukkan.
Setelah tiba di terminal kota Purwokerto, aku dan Mas Toro pindah bus melanjutkan perjalanan menuju kota Jogja. Hanya semalam Mas Arif menemaniku menginap di Gedoeng Moehammadijah. Gedung yang dibangun sejak awal berkembangnya Muhammadiyah. Gedung ini terletak di Jalan KH. Ahmad Dahlan, tidak jauh dari Kauman. Kampung asal berdirinya persyarikatan Muhammadiyah.
Lain halnya dengan Mas Toro. Ini baru pertama kalinya ia menginap di gedung yang digunakan sebagai kantor resmi Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Sebelum kini kantor resmi PP Muhammadiyah dipindahkan ke Gedung baru yang lebih megah di Jalan Tengku Cik Tiro, di atas tanah bekas rumah kediaman Pak AR Fachruddin selama beliau menjabat sebagai Ketua.
Sedangkan aku sudah sangat terbiasa menginap di Gedoeng Moehammadijah itu. Ada beberapa kamar tamu di lantai tiga yang bisa aku pakai secara gratis setiap aktivitasku berkelana di kota Jogja. Kamarnya selalu wangi dan bersih. Sprei kasurnya juga selalu diganti. Berbeda dengan hotel melati ataupun losmen murah di Jogja, yang terkadang masih kurang menjaga kebersihan kamar yang disewakannya.
Baru setelah urusanku selesai, aku akan pindah menginap di rumah kakak sepupuku. Rumahnya terletak di kampung Rotowijayan. Gang masuknya persis terletak di selatan gapura Masjid Gedhe Kauman. Sekalipun perempuan, kakak sepupuku ini adalah perintis generasi keluarga besar kami dari Lamongan, yang melanjutkan sekolahnya di Kota Jogjakarta.
Masih lekat dalam ingatanku, malam itu Mas Toro sengaja ingin mentraktirku. Mas Toro sebagai mantan Ketua Umum IMM Cabang Malang mungkin tidak enak hati karena akan meninggalkanku sendiri. Esok harinya Mas Toro merasa sangat ingin pulang, sungkem ke rumah orang tuanya di Rembang.
Jadilah aku sendiri yang melanjutkan agenda untuk bertemu dengan Pak Yahya Muhaimin di kampus UGM. Saat itu, Pak Yahya sedang sendirian saja menunggu kedatanganku di ruang kerjanya sebagai Dekan Fisipol UGM yang legendaris itu.
Kewibawaan Pak Yahya terpancar dari raut wajahnya yang tegas. Namun, di mataku Pak Yahya adalah sosok senior yang sangat lembut, halus dan terstruktur tutur katanya, terlebih kepada kami para kader ideologisnya.
Kepada Pak Yahya aku laporkan tentang persiapan acara Silatnas Fokal IMM yang akan digelar di kota Malang. Beliau secara detail mengecek kesiapan kami sebagai panitia.
Sebagai Ketua Umum Fokal IMM Pusat, Pak Yahya ingin memastikan rundown acara bisa dilaksanakan dengan baik.
Sebagai pengamat militer yang sangat diperhitungkan di negeri ini, beliau menghubungi beberapa pejabat tinggi ABRI untuk ikut hadir ke Malang sebagai tamu undangan, sekaligus sebagai pembicara.
Beliau juga memastikan semua jejaring alumni IMM di seluruh Indonesia bisa hadir menyemarakkan Silaturahim Nasional Forum Komunikasi Alumni IMM ini.
Hingga tibalah hari H pelaksanaan acara. Mas Bagus, sang pengantin baru, tampil begitu prima sebagai ketua panitia pelaksana. Kebahagiaannya sebagai pengantin baru ikut menyebar ke seluruh sudut aula pertemuan Silatnas.
Aula bercat putih nampak semakin megah dengan kibaran bendera merah IMM.
Aula yang nyaris kami bakar, saat UMM mengundang dua orang Menteri kepercayaan Presiden Soeharto. Saat itu, kami para mahasiswa berdemo di tengah helypad menentang pelaksanaan acara di aula yang terletak diatas ruang Rektor itu.
Pak Malik nampak menggelengkan kepalanya sembari tetap tersenyum. Sementara, Pak Imam dan Pak Hadjir nampak kalang kabut meredakan demo spontan mahasiswa. Demo yang nampak spontan itu, sesungguhnya kami rancang dengan teliti. Kami perhitungkan semua sumberdaya yang bisa dilibatkan untuk mendukung demo kami tersebut.ABRI, termasuk tentu saja Polisi, tidak bakal berani melakukan anarki ke dalam kampus kami. Pernah terjadi pada tahun sebelumnya, empat motor Polisi Jalan Raya kami bakar dan kami tenggelamkan di kolam depan gedung kuliah bersama.
Jadi, kami sudah pernah menenggelamkan, sebelum beredar luas meme Menteri Susi gencar berkampanye "tenggelamkan!" sepuluh tahun belakangan ini.
Siang itu sudah menunjukkan jam 14.30, Kang Ikranagara, bintang film yang terkenal itu telepon ke Kantor IMM Cabang Malang.
Kang Ikra kembali menanyakan: "dimana anak-anak yang bisa menjemput saya Mas? Kok belum juga datang?"
Berbeda dengan Mas Bagus yang tampil menawan. Di puncak acara Silatnas itu aku justru tengah terkapar karena types. Aku mendadak menjadi "Simatupang". Bukan nama marga suku Batak. Tetapi simatupang, siang malam tunggu panggilan. Aku menjadi penjaga telepon sekretariat panitia di Kantor IMM Cabang Malang. Kantor dua lantai yang cukup ideal di Jalan Sumbersari Selatan, tidak jauh kampus IKIP Malang. Sementara seluruh personil panitia telah siaga penuh dalam perhelatan Silatnas Fokal IMM di auditorium Rektorat UMM.
Setelah menunggu setengah jam, Kang Ikranagara kembali meneleponku. Kali ini nadanya sudah mulai memelas. Nada suaranya terdengar sangat natural. Bukan nada bergaya aktor film kawakan. Aku sampai merasa sangat bersalah telah memintanya untuk bersabar menunggu.
"Iya Mas, akan saya tunggu".
Beberapa menit kemudian Kang Ikranagara sebagai sosok senior alumni IMM kembali meneleponku: "Mas ini taxi bandara sudah hampir habis. Jika memang teman-teman panitia tidak ada yang bisa menjemput saya tidak apa-apa, saya naik taxi saja".
Saya-pun segera mengiyakan... "mohon maaf sekali Kang Ikra, monggo Panjenengan bisa naik taxi langsung menuju kampus Terpadu UMM Tlogomas".
Ayahnya Kang Ikranagara ini tokoh Muhammadiyah di Kota Negara Bali. Lalu beliau pindah ke kota Jember. Rumahnya di belakang Yoshinoya di jalan Gajah Mada Jember.
Kebetulan, aku sempat menggembleng seorang kader saat aku masih kuliah di Jember. Yang tidak aku duga, ternyata kader militanku ini adalah keponakannya Kang Ikranagara. Jadi tidak salah jika aku susah payah telah mengkadernya. Menjadi aktivis IMM yang berkelas, seperti pamannya. Sekarang, ia tinggal dan berkarir di Jakarta. Bahkan ia lebih dahulu dariku. Ia telah eksis menaklukkan kejamnya ibukota.
"Broo, mana ini Pak Ikranagara kok tidak ada di bandara?"...
"Lha kamu jemput beliau dimana kok sampai tidak ketemu"...
"Juandalah"...
"Gundulmu amoh kuwi!!! Kang Ikranagara itu naik pesawat dari Jakarta turun di bandara Malang nu Ibnuuu... Sekarang beliau sudah naik taxi menuju kampus tiga UMM. Sudah, sekarang kalian segera balik ke lokasi acara ya!!!"
Jadi ingat komandan Banser, saat laporan kepada Inspektur Upacara: "Lapor, pasukan sudah siap menyambut kedatangan Presiden Abdurrahman Saleh di Bandara Abdurrahman Wahid, laporan selesai!!!"
Komandan Sugik-pun tersenyum sendirian dibawah pohon sembari melucuti seragam Kokamnya. Mendadak Sugik-pun ikut malu dengan kejadian itu. Tetapi, sebenarnya lebih karena ia sudah kegerahan dan takut kulitnya menghitam karena kepanasan....
Keesokan harinya, Ibnu dengan sigap mengantarkan Kang Ikra menuju bandara. Sikap sempurna untuk menebus dosanya akibat telah membuat Kang Ikra terlantar di Bandara Abdurrahman Saleh Malang.
Usai Kang Ikra boarding, rupanya jas Kang Ikra tertinggal di dalam sedan yang digunakan untuk mengantarkannya. Kami panitia beruntung bisa mendapatkan mobil sedan mewah, pinjaman dari pejabat kanwil BRI Jawa Timur. Untuk kami pergunakan selama acara Silatnas IMM berlangsung.
Jas itupun langsung dipakai Ibnu dengan gagahnya. Berpikir nanti sudah tidak perlu lagi menjahit setelan jas saat menikahi Maria, seorang gadis immawati. Maria juga menjadi sekretaris komisariat, saat periode Ibnu menjadi Ketuanya. Maria sendiri adalah putri seorang Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah di Kecamatan Benjeng Kabupaten Gresik.
Selang beberapa jam kemudian, Kang Ikranagara telepon ke sekretariat IMM menanyakan: "Apakah jas saya ketinggalan di mobil?"
Saya jawab: "injih Kang".
"Alhamdulillah baik mas. Biar nanti diambil adik saya ke sekretariat IMM Cabang Malang. Terimakasih ya," ujar Kang Ikranagara mengakhiri pembicaraan denganku.
Si Ibnu-pun tertawa kecut mendengarnya. Namun rupanya mungkin karena barakah memakai jas Kang Ikra, kini mengantarkan karir organisasi Ibnu semakin bersinar. Ibnu terpilih sebagai anggota Formatur tiga belas PDM Lamongan.
Lamongan hanyalah sebuah kota kecil. Tetapi hebatnya, Kabupaten Lamongan sering menjadi rujukan nasional dalam ber-Muhammadiyah.
Sebuah kota yang menggemparkan dunia persilatan mancanegara. Sehingga, seorang cendekiawan muda dari UMM yang bernama Pradana Boy-pun gagal melanjutkan studinya di Inggris, negeri yang diimpikannya.
Padahal beasiswa dan semua prasyarat sudah terpenuhi. Dari namanya juga tidak mencerminkan sebagai penganut Islam yang militan. Nama Pradana Boy lebih terlihat sebagai nama yang nasionalis, atau bahkan lebih mengarah ke sekuler.
Lamongan ancen megilan