
Novel Qosdus Sabil
FB. Qosdus Sabil
Ig. qosdus.s
Penulis dapat dihubungi melalui email: qosdussabil@gmail.com
Biasa dipanggil Gus Bill
Santri Pinggiran Muhammadiyah
"Khawatirkan Dirimu Sendiri"
Seperti takdir yang terajut dalam satu kain, setiap langkah keluarga ini dipenuhi makna dan kebetulan yang menakjubkan. Archie, Ara, dan Aro—tiga anak dengan perjalanan masing-masing, namun tetap bernaung di bawah cinta kasih ayah dan bundanya.
Hari itu, sesuatu yang kecil namun menyentuh hati terjadi. Saat mengenakan kaos yang ternyata persis sama dengan milik ayahnya, Archie tanpa sadar menghidupkan sebuah simbol: betapa eratnya hubungan antara anak dan orang tua, bahkan hingga ke detail kecil seperti pakaian. Archie, kini sudah duduk di kelas delapan di Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta, menapaki babak baru dalam hidupnya.
Awal perjalanan di sekolah ini adalah momen yang penuh emosi. Pada tanggal 14 Juli, bertepatan dengan hari ulang tahunnya, Archie memulai kehidupan di asrama Wirobrajan. Saat itu, keluarga besar—ayah, bunda, dan kakak-kakaknya—turut hadir memberikan dukungan lahir batin. Tak lama setelahnya, ia pindah ke Kampus Terpadu Sedayu Bantul, tempat yang menjadi awal dari petualangan besarnya.
Nama Archie sendiri penuh makna. "Archie" berasal dari kata “pemberani,” terinspirasi dari sifat Umar bin Khattab, seorang tokoh yang keberaniannya tak tertandingi. Tak heran, Archie tumbuh menjadi anak yang tegas dan kuat. Di lapangan futsal, posturnya mungkin lebih kecil dibandingkan teman-temannya yang lebih tinggi dan tambun, tetapi ketika amarahnya terpancing, suasana mendadak sunyi. Semua tahu, Archie bukan anak yang bisa diremehkan.
Sementara Ara, sebagai alumni Mu’allimat Yogyakarta, Ara membawa kebanggaan tersendiri bagi keluarga. Ia tak hanya gigih dalam belajar, tetapi juga memiliki jiwa petualang yang mengagumkan. Lain lagi dengan Aro, yang baru saja menjalani seminar proposal. Aro, meskipun resmi tinggal di rumah, hampir tak pernah beristirahat di sana. Sebagai alumni Padepokan MBS Ki Bagus Hadikusumo Bogor, ia memiliki kedisiplinan dan semangat yang tak tertandingi. Nama Aro sendiri memiliki kisah unik. Saat sang ayah malam itu diantarkan oleh Syekh Munawir untuk melihat bulan purnama dari lantai dua Masjid Nabawi.
Saat istirahat tidur malam nama itu terlintas dengan makna mendalam. Namun, saat terbangun ayahnya hanya tertegun. Kok anakku dipanggil "Aro" ya? Ahh sudahlah....
Sang ayah kemudian mencari-cari makna Aro ini. Bahkan kemudian lupa sama sekali tentang nama Aro tadi. Hingga Aro dilahirkan.
Saat mengotak-atik mencari nama panggilan yang khas, muncullah kembali mimpi ayahnya sedang memanggul Aro. Bukan Ari atau Alex.
Aro dalam bahasa wolak walik Malang bermakna Ora. Alias "Kadit". Aro adalah simbol keteguhan untuk berkata “tidak” terhadap segala hal yang mungkar dan menyesatkan, sebuah karakter insan kamil yang sejati.
Kisah ini juga tidak lepas dari peran orang tua mereka. Dua pekan sebelum keberangkatan ke Madinah, Irma, istri tercinta, membawa kabar bahagia: ia positif hamil. Bahkan saat itu, mereka diberi kamar khusus untuk pengantin baru, seolah segala kebahagiaan sudah diatur sedemikian rupa oleh-Nya. Dalam doa dan harapan, mereka berdua menyiapkan diri untuk menjadi orang tua yang akan membimbing anak-anak mereka ke jalan yang benar.
Di tengah cerita ini, ada pesan mendalam yang terus terulang: keberanian untuk berkata "tidak" kepada hal-hal yang salah, seperti dalam sabda Nabi: *"Siapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin maka ia adalah orang yang beruntung."*
Melalui Archie, Ara, dan Aro, keluarga ini menunjukkan bahwa perjalanan hidup bukan hanya tentang pencapaian, tetapi juga tentang menanam nilai-nilai kebaikan, keberanian, dan keteguhan hati. Setiap langkah mereka adalah pengingat bahwa di balik takdir, ada rahmat dan petunjuk dari-Nya yang terus mengarahkan ke jalan yang benar.
Sejujurnya kedua orangtua anak-anak ini, wabil khusus ayahnya, begitu mengkhawatirkan kesehatan istrinya yang sedang hamil anak pertama.
Sang ayah segera mencari dokter pakar kandungan terbaik di kota Malang. Pilihannya jatuh kepada sosok Profesor Soetomo. Beliau Dokter kandungan yang paling terkenal, dan praktek resmi di Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Muhammadiyah Tongan, sekitar 100 meter ke selatan dari alun-alun kota Malang.
Di meja dan rak buku kerjanya berjejer rapi Tafsir Ibnu Katsir, Al-Maraghi, tafsir Al-Azhar Buya Hamka dan buku-buku populer lainnya.
"Bagus semua Mas Mbak. Janinnya sangat sehat InsyaAllah. Selamat ya. Alhamdulillah. Ini positif dua mingguan. Kapan terakhir mbaknya menstruasi?" Tanya Dokter Tomo kepada kami.
"Ohhh... berarti perkiraan lahir sesuai hitungan normal mengandung di tanggal 18 Agustus", lanjut dokter Tomo berkata dengan cepat, sembari menuliskan resep vitamin apa saja yang diperlukan sang ibu dan bayi yang dikandungnya.
"Kami akan berangkat haji tanggal 4 Desember dari kloter Surabaya. Mohon tausiyah dokter?" Pintaku kepada beliau.
"Bismillah Mas. Semangat. Tidak apa-apa. Itu rezeki kalian. Yang penting anda berdua tidak cerita dulu ke siapa-siapa. Nanti kalau sudah naik pesawat baru bilang petugas tidak apa-apa".
"Itu petugas tidak boleh seenaknya melarang-larang jamaah berangkat. Orang itu justru cita-citanya bisa mati di tanah suci. Nanti saya carikan pasal-pasalnya".
Hingga, kami berangkat haji alhamdulillah tidak ada sesuatu halangan yang terjadi. Kami tiba di Madinah menjelang subuh.
Seusai membersihkan badan kami pun menuju masjid Nabawi yang suci.
Hotel kami menginap terletak ditimur laut persis di seberang truk-truk pengangkut Zamzam.
Hari Jumat menjadi Hari pertama kami tiba di Madinah. Sungguh terasa sangat istimewa. Aku pesan kepada Irma agar tidak usah menungguku. Aku berniat iktikaf sampai tiba waktu dhuha.
Usai dhuha masih ngobrol dengan jamaah dari Pakistan. Keakraban langsung terasa walau kami baru kenalan. Aura ramah Madinah sungguh luar biasa.Setelah cukup berkenalan dengan mereka akupun kembali ke hotel maktab kami menginap. Pas baru selesai sarapan. Akupun diambilkan sarapan pagi dengan rendang daging dan kentang yang cukup menendang pedasnya.
Usai sarapan, aku ngobrol berdua dengan istri di dalam kamar. Hingga tiba pintu kamarku diketuk Mas Mifta untuk berangkat sholat jumat bersama. Saat aku bangkit berdiri dari lantai kamar darah segar mengalir dari sela-sela kakiku.
Bu Bidan dari Magetan langsung berujar: "ayo mbak dibuat tiduran saja. Semoga baik-baik saja".
"Yang pendarahan bukan saya, tapi Mas Suami saya".
"Lha kok malah sampean yang pendarahan tho Mas?"
"Teguran niki Bu. Kita tidak boleh mengkhawatirkan diri orang lain melebihi kekhawatiran terhadap diri kita sendiri yang dhaif dan banyak kelemahan ".
"Nek jamaahe koyok sampean enak tugasku mas". Gampang dinasehati dan cepat merefleksi diri".
"Doa kami untuk Aro, Ara dan Archie, semoga bisa berprestasi dalam studinya. Kelak kalian yang akan membersamai perjuangan ayah bundanya. Semoga Allah karuniakan kesembuhan untukku. sembuh tuntas dan tidak ada nyeri atau kekambuhan lagi". Aamiin Aamiin Yaa Mujiibassaailiin
Malam Jumat di Ciputat