Kapten Laurent dan Sabiq (bagian 3 episode 4)


Karya : Bayu W.
"Jadi Salesman"
Bagian 3 (episode 4)
Editor : W. Masykar
"Kapten Laurent dan Sabiq"
“Ibu-ibu, alat masak ini multi fungsi… bisa untuk menggoreng ataupun memasak sayur. Tutupnya dari kaca, jadi kita bisa melihat masakan kita, sudah siap atau belum”, kata Sabiq berapi-api.
“Tutup ini juga anti pecah, lihat ini…. tidak pecah", kata Sabiq sambil menjatuhkan tutup panci itu.
" … dan yang penting lagi, bagian dalam bawah panci ini anti gores meskipun kena sendok saat memasak atau menggoreng, tahan goresan,  tidak lengket, dan mudah dibersihkan”, tambah Sabiq.

Siang itu seperti biasa, Sabiq selesai kuliah, menjajakan panci alat masak khusus. Sabiq bekerja part time sebagai salesman alat masak dari suatu distributor di kota Malang. Siang itu ada janjian dengan ibu-ibu kelompok pengajian. Sabiq semester II akhir di jurusan Fisika. Sebelumnya Sabiq mengikuti diklat dua hari cara penjualan oleh perusahaan distributor tersebut.

Selain sebagai salesman, Sabiq juga mengajar di bimbel. Waktu Sabiq sangat padat, masih sempat juga aktif di kegiatan pencak silat di kampus.

Kesibukan itu masih ditambah lagi setiap pulang ke kampung, di Nganjuk, saat kembali ke Malang, Sabiq sambil membawa satu kotak bekas indomie berisi telur ayam kampung. Berisi sekitar 250 butir telur. Sabiq bisa mengambil keuntungan sekitar 50 rupiah per telur. Sepulang dari kampung, Senin setelah subuh Sabiq selalu ke pasar Dinoyo, menjual telur ayam kampung. Tidak mudah, karena selalu ada saingan harga. Sepulang dari kampung, sering Sabiq hanya diberi uang naik bis saja, uang sakunya untuk biaya hidup satu bulan di Malang adalah dari hasil penjualan telur.

“Berapa butir dik?”, tanya Ibu langganannya.
Sabiq sudah memiliki kontak pedagang yang menampung telur yang dibawanya sebulan sekali itu. 
“Barusan ada yang sudah kirim stok telur, ini masih banyak. Saya ambil 100 butir saja”, lanjut Ibu pedagang tadi. 
"O baik Bu, harganya berapa Bu ?", tanya Sabiq. 
“Saya beraninya ambil per butir 100 rupiah ya”, kata Ibu.
“Biasanya 125 per butir?”, kata Sabiq. 
Sabiq berfikir kalau per butir 100 rupiah, jadi hanya untung 25 rupiah per butir.

Biasanya cukup satu toko itu, mengambil minimal 200 butir dari Sabiq. Kali ini Sabiq harus keliling menawarkan lagi telur nya. Pukul 7.30 Sabiq baru selesai menjual telurnya. Itupun dengan harga yang murah, ada untung tetapi kecil. Jadi Sabiq hanya untung sekitar 7.500 rupiah. Bulan itu Sabiq memegang uang sekitar 30 ribu rupiah untuk satu bulan. Saat berusaha mencari biaya hidup mandiri di Malang, terkadang Sabiq teringat bagaimana bingungnya waktu itu, saat memutuskan untuk memilih kuliah diploma di ITS atau sarjana di Brawijaya.

Keluarga Sabiq tidak ada yang pernah kuliah, jadi sepenuhnya menyerahkan ke Sabiq sendiri. Karena keinginan kuliah tinggi dan juga ingin lulus kuliah ada gelarnya, sederhana saja alasannya, maka Sabiq akhirnya memilih kuliah di Unibraw, meskipun saat itu belum tahu bisa bayar kuliah apa tidak.

Daftar ulang kuliah saat itu, Sabiq dibiayai salah satu kakaknya yang punya tabungan seekor sapi, dan dijual. Selanjutnya Sabiq harus berfikir sendiri biaya hidup di Malang.

Meskipun kurang suka Fisika, tetapi Sabiq tetap komitmen untuk menyelesaikan kuliahnya dengan baik. Awal-awal kuliah, Sabiq sempat stress karena teman-temannya ada yang aneh-aneh dan unik-unik, berasal dari berbagai propinsi yang berbeda. Suasana baru semua, tidak ada teman Sabiq satu SMA di jurusan itu, bahkan se fakultas. Teman-teman sekelasnya saat SMA banyak yang kuliah di Surabaya.

Belum lagi perpeloncoan oleh senior saat mahasiswa baru. Pernah, entah karena salah apa saat itu, tidak jelas…Sabiq dihukum senior untuk push-up... karena senior ini sepertinya juga hobby olah raga, maka akhirnya diajak adu kuat-kuatan push up. 

“He ….! Siapa itu, yang pojok, ke sini, ke depan …. Iya kamu”, bentak senior ke arah Sabiq.
Sabiq tidak merasa dipanggil, maka diam saja di tempat. Kemudian dibentak lagi. Iya, ternyata Sabiq yang dipanggil senior itu.
"Kenapa kamu tadi tolah-toleh…. Ayo kamu push up 15 kali”, kata senior ketika Sabiq sudah tiba di depannya.
"Push-up koq gitu… begini, ayo diulangi”, kata senior sambil turun ke bawah memberi contoh ke Sabiq. 
“Ayo, kalau gitu kuat-kuatan dengan Kak Endro saja, saya yang menghitung”, kata senior lainnya.
Sabiq baru tahu kalau senior yang tinggi gagah itu bernama Endro.
Lha.... Sabiq khan saat SMA aktif di pencak silat, sudah biasa yang namanya push up itu, tidak hanya puluhan tapi ratusan sudah biasa. Alhasil senior nya, Kak Endro malu sendiri karena sudah nggak kuat, sementara Sabiq masih enteng saja. Tetapi tetap saja, kembali ke pasal 1, bahwa senior selalu benar dan menang. 
Maka Sabiq ditendang kak Endro sambil membentak.
“Curang kamu, nggak nyampe bawah push up nya, sudah sana kembali ke barisan”.

Alhamdulillaah pada tahun kedua Sabiq memperoleh beasiswa karena prestasi akademik, akhirnya agak lebih ringan beban hidupnya. Meskipun lagi-lagi Sabiq kurang bisa Fisika dan juga kurang suka... lengkap sudah. Tetapi komitmen untuk ikhtiar belajar tetap dilakukannya, karena Sabiq faham betul bahwa kuliah nuntut ilmu tidak boleh main-main, juga hobinya puasa Senin-Kamis dijalaninya. 

Nilai hasil semester I, IPK Sabiq 2,77, dengan nilai IPK itu Sabiq berhak mendaftar beasiswa, karena syarat minimal nilai IPK sebesar 2,75. Meskipun pas-pasan, alhamdulillaah Sabiq terpilih sebagai salah satu mahasiswa yang memperoleh beasiswa. Sabiq ingat lagi nasehat Pak Pingi, guru SMP nya, tidak apa-apa yang penting katut.

Saat itu Sabiq juga tidak pernah berfikir besok setelah kuliah akan menjadi apa, kerja apa, yang ada dalam pikirannya bagaimana segera cepat lulus, itu saja.

Untuk memiliki pengalaman dan juga persahabatan, Sabiq mengikuti 3 organisasi kampus, di BPM perwakilan mahasiswa, di Ukm silat, dan di ekstra kampus. Sebagai aktivis kampus, Sabiq juga rajin ikut upacara 17 Agustus di kampus, karena selalu mendapat hikmah nasehat saat amanah oleh inspektur upacara. Apalagi bagi mahasiswa yang menerima beasiswa diwajibkan ikut upacara, Agustus 1993 Sabiq ikut upacara di kampus UB. 

Aktivitas yang banyak itulah yang menjadikan Sabiq harus benar-benar pandai membagi waktu, karena jika nilai IPK turun maka beasiswa akan dihentikan. Jika itu terjadi, gagal semuanya. Maka meskipun memperoleh beasiswa, namun Sabiq tetap mengajar di bimbel. Bisa dibayangkan betapa sibuk dan penuhnya waktu Sabiq: aktivitas kampus, belajar, dan mengajar di bimbel. 

Tidak terasa, Sabiq sudah di semester VII. Sabiq juga aktif di kegiatan mesjid kampus, kebetulan sekretariat ukm pencak silat berada di depan masjid kampus, masjid Raden Fattah. Sampai semester VII Sabiq belum pernah memperoleh IPK di atas 3,00 dan juga tidak pernah di bawah 2,5. 

Liburan semester VII ke VIII, Sabiq mengikuti program KKN, sehingga pada bulan Agustus 1994, Sabiq menjadi panitia 17an Agustus di tempat KKN, di kampung dekat danau Ranu Klakah, Lumajang. Selama KKN, Sabiq paling senang bergaul dan berkumpul dengan masyarakat, di masjid atau di kegiatan-kegiatan masyarakat lainnya. Sekembali ke kampus setelah selesai KKN, Sabiq berencana memulai penelitian skripsi.

Sejak sekolah Smp dan Sma, Sabiq suka dengan guru yang keras, disiplin, dan agak galak. Karena dengan itu jelas akan memotivasi Sabiq untuk rajin belajar. Maka, saat penelitian skripsi, Sabiq memilih dosen pembimbing yang killer, keras, mahal nilai, dan waktunya padat. Sabiq sadar akan resiko dari pilihannya itu semua. Dosen tersebut adalah satu-satunya dosen yang baru selesai studi lulusan Australia, sangat idealis. Pilihan yang nekat.... karena justru banyak mahasiswa akan memilih pembimbing skripsi yang mudah dan juga tidak nuntut banyak hal. 

Tetapi itulah yang dilakukan Sabiq, memilih pembimbing Pak Heru, dosen listrik magnet. Sabiq pernah dimarahi oleh Pak Heru karena menunggu untuk bimbingan.

“Sudah lama menunggu?”, tanya Pak Heru.
Ketika saat itu Pak Heru melihat Sabiq telah menunggu di depan ruang Pak Heru.
“Iya Pak, sudah sejak sekitar 30 menit yang lalu”, jawab Sabiq.
“Salah sendiri, khan sudah saya bilang pukul 10.15”, kata Pak Heru singkat dan tegas. 

Saat perkuliahan, Sabiq juga pernah ditanya, karena Pak Heru melihat Sabiq ada dikelasnya, mengambil ulang mata kuliah listrik magnet. Nilai listrik magnet Sabiq adalah C. Nah, Sabiq ingin semua mata kuliah wajib minimal nilainya B, maka mengambil kuliah ulang.

“Dapat nilai C koq diulang, apa kamu ingin dapat D", kata Pak Heru.
Sabiq hanya diam saja, akhirnya Sabiq tidak jadi mengulang mata kuliah tersebut.
Nasehat lain dari Pak Heru yang juga diingat Sabiq pada saat awal-awal konsultasi skripsi. Sabiq ditanya Pak Heru, terkait apakah masih ada mata kuliah lain yang diulang.

“Begini Sabiq, pertama, kamu pilih lulus agak lama dengan IPK lebih tinggi sedikit, tetapi jumlah saingan kerja akan lebih banyak, atau pilihan kedua, memilih cepat lulus kuliah dengan IPK cukup sebagai syarat melamar kerja, tetapi saingan kerja belum banyak", nasehat Pak Heru kepada Sabiq.

“Peluang itu sangat penting Sabiq, IPK kamu sudah cukup syarat minimal untuk melamar pekerjaan di mana saja, syarat IPK minimal di mana-mana saat ini hanya 2,5. Kamu sudah lebih, makanya yang penting sekarang kamu sungguhan menyelesaikan skripsi”, kata Pak Heru. Akhirnya Sabiq mengikuti nasehat Pak Heru, cepat menyelesaikan skripsi dan tidak perlu mengulang mata kuliah yang nilainya C. Alhamdulillaah, Sabiq menjadi lulusan tercepat di angkatannya, 4 tahun 5 bulan dengan IPK 2,84. Pada masa itu, IPK tersebut sudah tergolong baik, apalagi lulus cepat dan juga di Jurusan Fisika. Seangkatan hanya berdua yang lulus periode pertama di angkatannya, yaitu Sabiq dan Emy.

Setelah lulus ujian skripsi sekitar 1 bulan, sambil menunggu jadwal wisuda kurang 2 minggu, Sabiq dipanggil oleh staf administrasi fakultas.
“Sabiq, nanti kamu ke kantor saya ya", kata Pak Mul.
Pak Mul adalah staf administrasi fakultas. Sabiq sangat familiar dengan staf fakultas karena aktif di organisasi dan juga memperoleh beasiswa, jadi sering ke fakultas menghadap WD III ataupun Dekan.
“Iya, ada apa Pak? Nanti setelah dari perpustakaan saya ke ruang Pak Mul”, jawab Sabiq.
Agenda Sabiq saat itu adalah mengembalikan buku pinjaman ke perpustakaan sebagai syarat daftar wisuda.

Sambil jalan, Sabiq berfikir, mengapa di panggil Pak Mul, padahal syarat bayar SPP untuk daftar wisuda sudah dikumpulkannya minggu lalu. Ternyata Sabiq diberi tahu bahwa belum mengambil beasiswa semester terakhirnya. Dengan modal beasiswa terakhir itulah, Sabiq merantau ke luar kota dan dengan berbekal surat keterangan lulus kuliah. Alhamdulillaah.(*)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama