
Novel Qosdus Sabil
Babak Keduapuluh enam
FB. Qosdus Sabil
Ig. qosdus.s
Penulis dapat dihubungi melalui email: qosdussabil@gmail.com
Biasa dipanggil Gus Bill
Santri Pinggiran Muhammadiyah
Editor: W. Masykar
Entah angin apa yang menggiringku menuju Ponpes Al-Munawarah siang itu. Siang itu matahari begitu teriknya menyinari bumi.
Hari itu aku bersama Agus tengah berkeliling melakukan survei pemetaan sekolah/Madrasah Islam di kota Malang. Sebuah program dari Departemen Agama Kanwil Jawa Timur.
Namun, Novi sang ketua Komisariat mendadak menghampiri diriku dan memintaku untuk menggantikan Bang Dicky mengisi materi Strategi dan Taktik usai istirahat sholat dan makan siang bersama.
Sejenak aku tertegun. Ini ishoma duhur. Berarti akan banyak yang tertidur jika materinya monoton. Terlebih ini jam kritis orang biasanya lebih mudah ngantuk usai makan siang.
"Saya tidak tahu apakah kawan-kawan disini sudah mendengar kabar wafatnya Pak Amien?"
"Barusan tadi sebelum duhur disiarkan sekilas info RCTI".
Hari itu kita masih biasa pakai telepon umum koin seratus dua ratus perak. Belum ada teknologi telepon genggam yang canggih seperti saat ini.
Spontan kehebohan melanda. Bahkan, tidak sedikit peserta yang histeris mendengar kabar wafatnya Pak Amien.
Untuk supaya lebih "dramatis", aku minta peserta secara bergantian mengemukakan pandangannya terkait figur Pak Amien.
"Saya Mas..."
"Silakan"
"Saya dan kita semua, hari ini sedang diuji dengan ujian yang sangat besar. Kita kehilangan tokoh besar Pak Amien Rais. Pemimpin masa depan negeri ini".
"Ada lagi?"
"Saya Mas".... "Silakan "
"Hari ini adalah hari-hari dibungkam nya pendapat dan nalar kritis rakyat. Kita harus usut apakah meninggalnya Pak Amien ini wajar ataukah merupakan tindakan yang disengaja dilakukan oleh pihak-pihak tertentu?".
"Saya Mas"... tunjuk jari beberapa peserta setiap aku buka kesempatan mereka bicara.
Iya Habibie. Ia sudah berpengalaman ikut berbagai macam pengkaderan. Dari masa IPM dulu kami sudah melalui pengkaderan bersama hingga provinsi.
Keberadaan Habibie sebagai peserta, cukup mengejutkanku. Maka, skenario brainstorming ini harus sukses.
Akupun lantas berdiri dari kursiku. Aku berjalan melalui kursi-kursi peserta. Bahkan, tetesan demi tetesan airmata semakin mengalir deras, wabil khusus dari deretan kursi Immawati.
"Alhamdulillah.. Allahu Akbar." Pekikku memecahkan keheningan siang di Kedung Kandang.
Semua termangu dan bertanya-tanya mengapa? Sebelum ada yang interupsi bicara, aku langsung melanjutkan: "Alhamdulillah. InsyaAllah Pak Amien Rais keadaannya sehat-sehat saja".
Sontak para peserta marah dan tidak terima dengan caraku berbohong mengabarkan kematian seseorang. Khawatir itu nanti jadi doa.
Segera aku katakan kepada semuanya di ruangan kelas pondok itu bahwa: "kita Ini harus mulai merekonstruksi makna innalillahi wainna ilaihi rajiun". Innalillah itu bukan seperti itu maknanya. Apalagi kemudian hanya dipakai sebagai ucapan duka cita. Tentu itu salah besar".
"Ketika Masyitah tidak sengaja menjatuhkan sisir putri Firaun, ia mengucapkan innalillahi..."
"Sama seperti hari ini ketika aku menjatuhkan pulpen... Apa yang kita ucapkan? Ya Innalillahi..."
"Lalu, kalian perhatikan mengapa orang-orang sekarang mesti memakai baju hitam-hitam kalau ada yang meninggal?" Itu semua adalah propaganda sinetron. Tidak ada tuntunannya saat berduka lalu memakai baju hitam".
"Bagi orang beriman justru sebaliknya, bukan duka cita, tetapi seharusnya suka cita. Karena telah kembali kepada zat yang Agung yang dicintainya. Kembali keharibaan Ilahi Rabbi.
Kemudian aku melanjutkan beberapa materi pokok strategi dan taktik perjuangan. Semua terlihat antusias dan semakin bersemangat. Hingga tiba menjelang ashar akupun mengakhiri materiku.
"Aku bangga dengan kalian. Di pundak kalianlah tersematkan harapan masa depan cemerlang negeri ini. Selalu jadikan semangat "apa yang akan kalian persiapkan untuk hari esok" terus menjadi motivasi kita bersama.
Malam semakin hening, hanya ada suara jam berdenting - 8 Ramadan 1446.(*)