Kop Des Merah Putih, Mengulang Atau Belajar Dari Sejarah? (1)

Oleh : W. Masykar
Pemerintah berencana membentuk 70 ribu Koperasi Desa Merah Putih (Kop Des Merah Putih) di seluruh Indonesia. Tujuannya memperkuat perekonomian pedesaan dengan menyerap hasil pertanian lokal dan memotong rantai distribusi yang sering menimbulkan persoalan sehingga merugikan produsen dan konsumen.

Kop Des Merah Putih dibentuk agar roda ekonomi di pedesaan bergerak. Proyek pembentukannya sendiri direncanakan menelan anggaran Rp. 3 milyar hingga Rp. 4 milyar per Koperasi. Dukungan anggaran dari APBN, Dana Desa dan  pembiayaan perbankan. Tentu saja dibutuhkan dana yang tidak kecil. 

Bisa jadi rencana pembentukan Kop Des Merah Putih ini meniru zaman orde baru. Pada era 1970 an dibentuk KUD (Koperasi Unit Desa).
KUD waktu itu, memang benar benar bisa diandalkan sebagai penyalur pupuk, membeli gabah petani, sekaligus bisa menggerakkan roda ekonomi di desa. 

Sebelum lahir KUD, diawali Pada tahun 1950-an muncul beberapa jenis koperasi, ada koperasi pertanian (Koperta), koperasi desa, koperasi kopra, koperasi karet, dan lain-lain. Kemudian tahun 1970-an disatukan dalam satu wadah bernama KUD. Berdasarkan Inpres No. 4/1973, KUD adalah Koperasi Pertanian, kemudian dengan Inpres no. 2/1978, diubah menjadi Koperasi Pedesaan. KUD ini merupakan satu-satunya koperasi di pedesaan. 

Inpres No. 4/1984 mengukuhkan kembali KUD sebagai organisasi koperasi tunggal (kecuali ada ijin dari Menteri). Namun, sejak dikeluarkan Inpres No. 18 Tahun 1998, KUD tidak lagi menjadi koperasi tunggal di tingkat kecamatan. Program-program pemerintah untuk membangun masyarakat pedesaan, seperti distribusi pupuk, benih, dan pengadaan gabah, yang awalnya dilakukan melalui KUD selanjutnya diserahkan pada mekanisme pasar.Kebijakan ini, kemudian mengakibatkan lebih dari 5.400 KUD di Indonesia secara umum mengalami penurunan kinerja, bahkan tidak sedikit yang hanya tinggal papan nama. Banyak KUD yang akhirnya perlahan lahan, mati. Begitu hak eksklusif pupuk diambil, KUD satu per satu tumbang.

Kalau pun masih ada KUD yang terus eksis dan bisa berkembang, itu tidak banyak. Bahkan konsentrasinya pun tidak lagi pada orientasi kesejahteraan dan pemberdayaan anggota melainkan mirip Koperasi yang dimiliki oleh sekelompok orang saja.

Salah satu contoh, KUD Minatani Kecamatan Brondong-Lamongan. KUD Minatani Brondong sebelumnya memiliki jumlah anggota hingga mencapai 12ribu an orang. Terdiri dari Nelayan dan Petani. Sebelum  dikeluarkan Inpres No. 18 Tahun 1998, KUD Minatani menyediakan unit distribusi pupuk, menyalurkan benih sampai obat obatan pertanian. Di sektor perikanan juga demikian. kesejahteraan anggota dan anggota ikut merasa memiliki sangat dijunjung tinggi. Namun, kondisi itu berbeda ketika Inpres 18/1998 lahir. 

Apalagi hampir bersamaan dengan dikeluarkannya Inpres No. 18 Tahun 1998, KUD Minatani juga pernah menjadi sasaran kerusuhan demo yang lumayan besar dalam skala desa. Karena Ketua Pengurusnya waktu itu, menerapkan model kepemimpinan represif dan bukan proaktif. Tidak mau menerima kritik bahkan tidak mengenal batas periodesasi kepengurusan. 

KUD Minatani ibaratnya milik Pengurus, bahkan komposisi Pengawas waktu itu, juga sangat ditentukan oleh pengurus meskipun tetap dengan model dipilih. Tapi dibelakang panggung, konsep siapa yang jadi pengawas sudah dibuat oleh Pengurus. Model kepemimpinan seperti ini, salah satunya, berakibat pada terjadinya demo besar besaran.

Nah, pasca terjadinya kerusuhan, KUD Minatani pelan tetapi pasti, kembali tumbuh dan berkembang baik. Sayangnya, anggota dan kesejahteraan anggota mulai dilupakan. KUD Minatani bahkan seakan milik sekelompok orang saja. Mereka yang bisa menjadi pengurus, pengawas bahkan karyawan adalah mereka yang rerata sudah berada di dalam. (bersambung)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama