"Mambo Tanjung Priok"
Bagian 3 (episode 5)
Editor : W. Masykar
"Kapten Laurent dan Sabiq"
Untuk bisa mandiri hidup Sabiq sebenarnya sudah mampu dari hasil mengajar di bimbel. Namun karena malu, apa bedanya sebelum lulus dan setelah lulus kuliah jadi sarjana kalau masih sama saja mengajar di bimbel.
“Kita nggak usah tergesa-gesa lulus dulu, kita tunggu Sabiq jadi apa, baru nanti kita rame-rame lulus", kata Aris.
Aris adalah teman seangkatan Sabiq, saat itu sedang kumpul-kumpul di kost an Sabiq bersama banyak teman-teman satu jurusan. Sekitar 1 minggu sehabis Sabiq ujian skripsi.
“Iya.. setuju…, cocok itu”, jawab teman yang lain sambil teriak tertawa-tawa.
Iya, memang lulusan bidang sains saat itu susah mencari pekerjaan. Semua lowongan tidak ada yang tertulis langsung “memerlukan lulusan sarjana Fisika”. Satu-satunya yang mungkin ada adalah lowongan sebagai dosen atau peneliti di LIPI atau BPPT. Itu saja. Kalau mau jadi guru, harus ikut pendidikan sekitar 1 semester lagi.
Ketika upacara wisuda, Sabiq bersamaan dengan banyak angkatan setahun di atasnya bahkan ada yang dua tahun di atasnya. Pada masa itu, istilah yang mashur di kalangan mahasiswa sains adalah “kesedihan anak, kebahagiaan orang tua". Iya, maknanya wisuda adalah momen orang tua melepas tuntas tanggung jawab membiayai anak, dan mulai anak harus mandiri. Apalagi bagi orang tua Sabiq yang ekonomi pas-pasan, wisuda sangat diharapkan.
Pikiran itu juga menghantui Sabiq. Apalagi, Sabiq berasal dari kampung. Para tetangga rumah di kampung, tahunya bahwa Sabiq sudah lulus dan akan menjadi orang. Termasuk teman-teman Sabiq saat SD SMP yang tidak melanjutkan kuliah, teman-teman seperjuangan kerja di sawah saat Sabiq di kampung. Akan membuat malu keluarga, sehingga tidak hanya Sabiq sendiri yang akan malu, jika pulang kampung sebelum sukses mandiri.
Tekat merantau itulah yang menjadi rencana Sabiq. Saat itu untuk terakhir kalinya Sabiq menerima uang saku dari orang tuanya, 75 ribu, di awal tahun 1995. Meskipun waktu-waktu sebelumnya Sabiq memperoleh beasiswa, namun terkadang tetap menerima bantuan biaya dari orang tuanya, karena pas-pasan untuk membayar kost. Sabiq benar-benar pamit dengan orang tuanya di kampung bahwa tidak akan pulang sebelum bisa mandiri.
Sebelum memutuskan untuk merantau, Sabiq mengirimkan lamaran kerja sebagai calon dosen di pelbagai universitas negeri yang rengkingnya di bawah Brawijaya. Kampus-kampus luar jawa yang dekat dengan jawa, semua dikirimi lamaran. Saat itu, Sabiq belum menggunakan ijazah, tetapi menggunakan surat keterangan lulus, ijazah belum jadi. Sabiq mengirim lamaran ke sekitar 17 kampus.
"Biq, bagaimana jadi ke Jakarta ?", tanya Bambang.
Kost an Sabiq memang tempat kumpul teman-teman Sabiq, depannya ada musholla, sampingnya juga ada warung makan murah meriah. Juga, di kost an Sabiq ada dua teman yang satu jurusan, Sabiq dan Fathur. Di musholla depan kost itu, Sabiq sering sebagai muadzin. Jama’ah musholla sudah hafal betul dengan Sabiq.
"Saya sudah beli tiket, jika kamu mau bareng ke Jakarta, nanti kita ke stasiun lagi beli tiket untuk kamu", kata Bambang lagi.
"Iya, in syaa Alloh jadi. Nanti sekalian dengan ngeposkan surat lamaran kerja di kantor pos ya!?", jawab Sabiq.
Bambang adalah teman satu angkatan, asal Jakarta, dan dia sudah mendapat ikatan dinas di kepolisian. Maka kuliahnya masih jauh terlambat di bawah Sabiq karena mengikuti diklat kepolisian.
Tiba di alun-alun kota Malang, Bambang dan Sabiq menuju kantor pos dulu untuk mengirimkan lamaran ke berbagai tujuan. Lamaran sebagai calon dosen. Setelah itu mereka berdua ke stasiun untuk membeli tiket kereta untuk Sabiq.
Sabiq merantau ke Jakarta, mencari pekerjaan. Orang tua Bambang tinggal di daerah Tanjung priok. Untuk pertama kalinya Sabiq merantau ke luar kota, terjauh, sebelumnya Sabiq hanya pergi ke Surabaya, saat PKL atau ke Banyuwangi saat masih kecil ikut orang tuanya menjenguk kakak nya yang tertua saat sakit, merantau kerja di sana. Bambang bilang, nanti bisa numpang beberapa hari di rumahnya. Tiba di Jakarta langsung ke rumah Bambang, dari stasiun Gambir menuju tanjung priok, naik bis kota.
Sabiq benar-benar pertama kali melihat kota Jakarta. Gedung-gedung bertingkat menjulang tinggi, banyak orang hilir mudik, serba berjalan cepat. Terkagum-kagum, maklum memang baru kali itu merantau dan melihat gedung tinggi bertingkat-tingkat, melihat monas. Namun selalu diingat Sabiq pesan bapaknya “ojo nggumunan lan ojo kagetan” (jangan mudah heran dan terkejut), disitulah letak orang mudah tergoda, pesan bapak nya suatu waktu.
“Bambang, ayo kita ke istiqlal dulu… katanya dekat stasiun sini”, ajak Sabiq ke Bambang.
Mereka berdua saat itu baru saja keluar dari stasiun. Istiqlal adalah masjid idola para aktivis masjid kampus saat itu, semua mahasiswa aktivis masjid jika ke Jakarta tentu ingin mampir sholat di istiqlal. Masjid yang diprakarsai oleh Presiden Soekarno pada tahun 1951 an dan mulai digunakan sekitar awal tahun 1978.
“Kamu capek tidak, kita khan bawa tas juga, nanti sampe rumahku malam lho, masih sekitar 3 jam an lagi dari sini naik bis kota”, jawab Bambang.
“Nggak lah, sekalian saja sekarang… tanggung, dekat khan?”, tanya Sabiq.
“Ayo lah kalau gitu, kita jalan kaki”, jawab Bambang sambil melangkah menuju arah istiqlal. Tidak sampai 5 menit jalan kaki, menara istiqlal sudah tampak.
“O itu yang Mbang”, kata Sabiq sambil menunjuk ke arah Menara.
Dhuhur sudah lewat waktunya, tadi sudah dijamak qoshor saat di kereta. Jadi di istiqlal hanya sholat tahiyat masjid saja, dan duduk-duduk sebentar lantas langsung balik ke halte bis kota. Sepanjang perjalanan di dalam bis menuju ke Tanjung priok, Sabiq melamun memikirkan masa depannya.
Gedung-gedung megah tinggi, ramainya kota Jakarta, sekarang tidak lagi difikirkan Sabiq. Sabiq memikirkan berapa lama nanti numpang di rumah Bambang, bagaimana orang tua Bambang, apakah rumahnya besar. Pertanyaan-pertanyaan itu menghantui pikiran Sabiq. Bambang juga pernah bercerita kalau punya dua adik, satu perempuan dan satu laki-laki. Tentu kedatangannya akan merepotkan keluarga Bambang, itu yang ada di pikiran Sabiq.
Tiba di stasiun kota. Pindah bis jurusan tanjung priok. Sekitar 2.5 jam kemudian, akhirnya mereka tiba di perhentian halte mambo tanjung priok. Mereka berdua berjalan sekitar 7 menit menuju rumah Bambang, sudah hampir masuk waktu isyak.
Dugaan Sabiq ada benarnya, setelah dipersilahkan masuk, rumah Bambang sederhana, dan panas sekali udaranya. Malam itu setelah diperkenalkan kepada orang tua Bambang dan makan malam, Sabiq istirahat satu kamar dengan Bambang. Sambil memejamkan mata, Sabiq sudah berfikir ingin secepatnya mandiri. Sehari lagi akan perayaan hari raya kurban. Bambang pulang ke Jakarta karena ingin liburan hari raya kurban bersama keluarganya.
“Pokok ke mana saja, nanti saat balik kamu cari bis yang lewat halte mambo tanjung priok, itu saja”, kata Bambang saat mengantar Sabiq ke halte.
“Baik Mbang, terima kasih ya”, jawab Sabiq.
Siang itu setelah sholat dhuhur, pagi harinya sholat idhul adha, Sabiq memberanikan diri untuk pamit akan pergi sendiri mencari alamat seseorang di daerah Pamulang -Tangerang.
Sabiq akan berkunjung mencari alamat seorang bos di perumahan elit daerah Pamulang. Alamat itu didapatkannya dari salah satu orang tua siswa bimbel privat yang diajar Sabiq saat di Malang. Katanya, memiliki perusahaan yang memerlukan karyawan. Memang saat memberikan alamat itu, orang tua siswa tersebut, tidak terlalu sungguh-sungguh karena tidak menyangka kalau Sabiq akan merantau ke Jakarta.
“Assalaamu’alaikum …. Assalaamu’alaikum” teriak Sabiq di depan pintu gerbang yang megah, tergolong rumah mewah di komplek perumahan itu.
Tidak ada jawaban. Sabiq hanya menoleh ke sana ke mari mencari-cari kalau mungkin ada bel di pintu gerbang tersebut. Tidak ada. Yang ada adalah kamera. Tidak berapa lama setelah itu, Sabiq mendengar ada suara bertanya.
Sabiq tidak melihat ada orang, tetapi ada suara. Menoleh ke kanan kiri, dan tidak ada. Suara tersebut diulang lagi. Ternyata asal suara itu dari atas, ada seseorang yang melongok di atas pintu gerbang tersebut. Penjaga pintu gerbang.
"Saya Sabiq dari Malang, ingin bertemu Pak Suryo", jawab Sabiq.
"Baik, tunggu dulu, saya lapor Bapak", jawab orang tersebut.
Sekitar tiga menit kemudian, orang tadi kembali dan membuka pintu gerbang. Waktu itu sekitar 30 menit sehabis magrib, tadi Sabiq sudah sempat sholat qoshor magrib dan isyak di masjid komplek perumahan tersebut.
“Kapan tiba dari Malang?”, tanya Pak Suryo.
“Alhamdulillaah sudah dua hari lalu Pak”, jawab Sabiq.
Kemudian Sabiq dipersilahkan makan malam, setelah itu diskusi sana sini dan Sabiq memperkenalkan diri. Sampai sekitar menjelang pukul 21, Sabiq tidak ditawari menginap. Sabiq agak kebingungan. Bismillaah, Sabiq akhirnya memutuskan untuk pamit, karena serba tidak jelas. Bangkit semangat Sabiq untuk mandiri. Maka setelah ber basa basi dengan Pak Suryo, bahwa akan menginap di rumah temannya dan lain-lain, maka Sabiq pamit untuk balik. Keluar pintu, Sabiq berjalan menuju pintu gerbang halaman diantarkan oleh karyawan yang tadi membukakan pintu.
Di depan pintu gerbang, malam itu Sabiq benar-benar tidak punya tujuan mau ke mana. Kembali ke rumah Bambang tentu sangat larut dan belum tentu ada bis kota. Lampu jalan perumahan terlihat agak gelap. Baru pertama itu merantau, syukur Sabiq dulu juga latihan silat saat SMA dan juga pernah sebagai atlet kelas-A saat kuliah, jadi tetap percaya diri dan memiliki keberanian.
Bismillah Sabiq malam itu bertekat akan kembali menuju masjid tempat nya sholat tadi. Alhamdulillaah lampu ruang utama masjid masih menyala. Sabiq berjalan pelan masuk halaman masjid dan ke tempat wudhu, terus ke ruang utama, Sabiq sholat sunnah. Selesai sholat Sabiq berdo’a lama sekali. Sampai ditegur marbot masjid.
"O iya, mohon maaf”, jawab Sabiq.
Sabiq bergegas menuju tempat menaruh sepatu dekat dengan kamar wudhu dan tempat marbot.
Padahal Sabiq belum tahu akan jalan ke mana dan nginap di mana, malam itu.
Sabiq tidak langsung memakai sepatunya, melainkan duduk sambil pura-pura buka tas dan membaca buku kecil sebentar. Jam di tangan Sabiq sudah menunjukkan pukul 22 lewat. Akhirnya marbot masjid menyapanya kembali.
"Mas, mau ke mana ?", tanya marbot.
“Mau kembali ke tanjung priok, rumah teman”, jawab Sabiq.
“Wah … kalau jam segini tidak akan ada bis yang sampai ke sana Mas”, kata marbot.
“Kalau mau, tinggal di sini saja dulu, besok pagi baru ke tanjung priok”, lanjut marbot.
“Saya kebetulan sendiri, biasanya berdua, tetapi teman saya sedang mudik lebaran haji ini dan minggu depan baru kembali”, tambah marbot tersebut.
Oh ya Alloh…. Alhamdulillaah, hati Sabiq benar-benar bersyukur lega… lagi-lagi Alloh SWT memberikan jalan solusi kepada Sabiq. Saking senangnya, Sabiq belum sempat menjawab tawaran marbot tadi, dan masih merenung syukur.
“Oh.. baik Mas, terima kasih sekali ya”, jawab Sabiq.
“Nanti kamu tidur di situ saja, satu ruang dengan saya, itu ada dua tikar di dalam. Ruang satunya masih kotor dan bau amis bekas daging kurban tadi pagi”, kata marbot.
"O iya, tidak apa-apa Mas, terima kasih sekali ya”, kata Sabiq.
Malam itu Sabiq dan marbot akhirnya sambil tiduran, ngobrol sampai larut. Tidak terasa sudah hampir pukul 01.00. Sabiq akhirnya bercerita kalau dia sarjana baru lulus dan merantau ke Jakarta mencari pekerjaan. Rupanya marbot masjid itu, kalau pagi juga menerima pekerjaan mengantar langganan koran di komplek situ. Setiap habis dhzikir subuh, marbot tersebut naik sepeda berkeliling mengantarkan koran dari rumah ke rumah yang berlangganan.
Wah, tepat sekali, pikir Sabiq, sebelum diedarkan bisa melihat daftar lowongan di koran dan bisa didatangi untuk melamar.
Maka pagi itu, sehabis sholat subuh, masih agak ngantuk karena seharian dalam perjalanan dan tadi malam tidurnya larut, Sabiq meneliti satu per satu deretan lowongan pekerjaan di koran. Tidak satupun Sabiq menemukan lowongan tertulis sarjana fisika. Syukurlah Sabiq mengambil pilihan instrumentasi saat kuliah, jadi ketika ada lowongan sarjana atau D3 elektronika, Sabiq mencatatnya. Dan satu lagi yang dicatat, jenis lowongan yang tidak mencantumkan spesifikasi jenis bidang sarjana nya, untuk sarjana umum.
Sabiq sudah mencatat dua lowongan yang akan didatangi pagi itu, di daerah Daan Mogot. Sabiq menulis lamaran dan menyiapkan lampirannya di dalam map, semua berkas lampiran sudah disiapkannya, termasuk map sudah tersedia di tas Sabiq.(*)