Ketua Litbang DPP Amphuri
Diskursus tentang industri perjalanan ibadah umroh (PPIU) di Indonesia belakangan kerap diselimuti kritik. Ada yang menyebut kontribusinya kecil terhadap perekonomian, minim dampak bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), hingga tidak memberi multiplier effect yang signifikan. Bahkan, kritik-kritik tersebut kadang dijadikan dasar untuk mendorong legalisasi skema umroh mandiri.
Logika semacam ini sesungguhnya menyesatkan. Sebab, sebelum menilai, perlu ada pembacaan objektif tentang sejauh mana industri umroh berkontribusi pada ekonomi nasional. Berikut saya ingin melemparkan kajian untuk mengajak buka-bukaan tentang dampak positip industri umroh pada perekonomian dan UMKM.
Indonesia merupakan negara dengan jumlah jamaah umroh terbesar kedua setelah Pakistan. Data Kementerian Agama mencatat bahwa setiap tahun rata-rata 1–1,4 juta jamaah Indonesia berangkat ke Tanah Suci. Dari estimasi data tersebut mari kita buat estimasi perhitungan berapa uang yang berhasil dikumpulkan oleh industri ini.
Biaya Perjalanan Ibadah Umrah (BPIU) Referensi yang ditetapkan Kementerian Agama sebesar Rp23 juta per jamaah. Dari diaya referensi itu di lapangan paket yang ditawarkan biro perjalanan berkisar Rp25–35 juta, tergantung fasilitas yang diberikan dan durasi lamanya paket.
Dengan asumsi jumlah jamaah dan variasi biaya paket tersebut, kita bisa menghitung perkiraan perputaran dana industri umroh, dengan mengelompokanya menjadi 3 skenario harga atau biaya umroh, sebagaimana saya sampaikan pada tabel berikut:
Skenario Jumlah Jamaah Biaya Paket per Jamaah Total Perputaran Industri Proporsi Belanja Domestik (30%) Nilai Belanja Domestik Potensi Serapan UMKM (65–70%)
Data ini menunjukkan sekalipun sebagian biaya lari ke luar negeri (tiket pesawat internasional, hotel, dan transportasi di Arab Saudi), tapi masih ada sekitar 30% dari total perputaran tetap tinggal di dalam negeri. Angka ini signifikan karena mencakup pengeluaran untuk paspor, visa, perlengkapan ibadah, koper, katering manasik, transportasi domestik, jasa asuransi, hingga layanan administrasi.

Kontribusi industri umroh terhadap UMKM sering kali tersembunyi. Padahal, setiap jamaah hampir selalu membeli perlengkapan ibadah di dalam negeri. Dari pakaian ihram, mukena, peci, hingga koper, mayoritas diproduksi oleh UMKM lokal.
Belum lagi jasa katering untuk manasik umroh di berbagai daerah, yang melibatkan usaha kecil kuliner. Industri percetakan dan biro iklan juga ikut kebagian dari promosi paket umroh.
Selain itu, meskipun setiap PPIU rata-rata hanya mempekerjakan 5–10 staf inti, efek riil penyerapan tenaga kerja lebih luas karena melibatkan jaringan agen dan reseller di berbagai daerah.
Sistem pemasaran berbasis komunitas, yang sangat umum di industri umroh, telah membuka lapangan kerja informal bagi ribuan masyarakat di desa maupun kota. Dengan kata lain, multiplier effect industri umroh terhadap tenaga kerja jauh lebih besar daripada angka karyawan formal yang tercatat.
Sebagian kritik yang menyebut bahwa industri umroh hanya memperkaya segelintir pemilik biro memang tidak sepenuhnya salah. Ada kasus-kasus penyalahgunaan dana jamaah, pamer kemewahan, hingga kasus gagal berangkat. Namun, menjadikan anomali tersebut sebagai gambaran umum wajah dari industri jelas tidak adil.
Justru kritik tersebut sering digunakan untuk membenarkan ide legalisasi umroh mandiri, seakan-akan dengan logika tersebut maka masyarakat bisa berangkat tanpa perantara biro perjalanan resmi. Ujung-ujungnya meminta pemerintah untuk melegalkan skema umroh mandiri. Logika ini jelas menyesatkan. Mengapa?
Pertama, umroh mandiri berpotensi menimbulkan masalah keamanan, perlindungan jamaah, dan koordinasi layanan di Arab Saudi. Kedua, mengabaikan peran PPIU sama saja menutup mata terhadap kontribusinya yang nyata pada UMKM dan perekonomian domestik. Alih-alih melemahkan, yang lebih relevan adalah memperkuat regulasi dan tata kelola industri umroh agar semakin transparan dan profesional.
Jika tren jamaah umroh terus meningkat, maka potensi perputaran ekonomi bisa semakin besar. Pemerintah bersama asosiasi PPIU dapat mendorong terciptanya ekosistem umroh yang berkelanjutan, misalnya dengan standardisasi produk perlengkapan ibadah lokal, pemberdayaan UMKM dalam rantai pasok, hingga pembiayaan syariah yang inklusif.
Dengan begitu, industri umroh bukan hanya soal perjalanan ibadah, tetapi juga motor dan lokomotif pertumbuhan ekonomi rakyat. Fakta-fakta di atas memperlihatkan bahwa industri umroh di Indonesia memiliki kontribusi nyata terhadap perekonomian nasional, terutama dalam menopang UMKM.