Oleh : YM. Sjahrir Tamsi
Editor : W. Masykar
Budaya sering kali dipahami sebagai sesuatu yang telah selesai: benda-benda tua yang dipajang di museum, kisah-kisah lama yang dibacakan sebagai pengantar tidur, atau ritual yang dianggap hanya layak untuk seremoni tahunan. Pandangan sempit seperti ini memiskinkan makna budaya itu sendiri. Padahal, budaya bukan sekadar kenangan, ia adalah napas kehidupan yang terus berdenyut, membentuk kesadaran, memperhalus budi, dan mengarahkan langkah peradaban.
Budaya sering kali dipahami sebagai sesuatu yang telah selesai: benda-benda tua yang dipajang di museum, kisah-kisah lama yang dibacakan sebagai pengantar tidur, atau ritual yang dianggap hanya layak untuk seremoni tahunan. Pandangan sempit seperti ini memiskinkan makna budaya itu sendiri. Padahal, budaya bukan sekadar kenangan, ia adalah napas kehidupan yang terus berdenyut, membentuk kesadaran, memperhalus budi, dan mengarahkan langkah peradaban.
Bangsa yang tumbuh tanpa budaya ibarat pohon yang kehilangan akar, misalnya : mudah roboh diterpa angin perubahan. Sebaliknya, bangsa yang merawat budayanya akan mampu berdiri tegar dan percaya diri di tengah derasnya arus globalisasi.
Budaya: Identitas yang Membentuk Ke-Indonesiaan
Allah Swt. menegaskan dalam Al-Qur’an bahwa keberagaman adalah kehendak dan rahmat-Nya:
"Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal."
(QS. Al-Hujurat: 13)
Ayat ini mengajarkan bahwa keberagaman budaya bukan ancaman, melainkan jembatan untuk memperkaya kehidupan. Demikian pula Rasulullah Saw. bersabda:
"Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia."
(HR. Ahmad)
Nilai-nilai budaya sesungguhnya merupakan pengejawantahan dari akhlak itu sendiri—tata krama, gotong royong, penghormatan terhadap sesama, dan cinta tanah kelahiran.
Tokoh pendidikan Ki Hadjar Dewantara menegaskan:
“Budaya adalah buah budi manusia yang menjadi cermin dari budi pekertinya.”
Dengan demikian, budaya bukan sekadar simbol atau aksesoris sosial, melainkan cermin dari jiwa bangsa.
Allah Swt. menegaskan dalam Al-Qur’an bahwa keberagaman adalah kehendak dan rahmat-Nya:
"Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal."
(QS. Al-Hujurat: 13)
Ayat ini mengajarkan bahwa keberagaman budaya bukan ancaman, melainkan jembatan untuk memperkaya kehidupan. Demikian pula Rasulullah Saw. bersabda:
"Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia."
(HR. Ahmad)
Nilai-nilai budaya sesungguhnya merupakan pengejawantahan dari akhlak itu sendiri—tata krama, gotong royong, penghormatan terhadap sesama, dan cinta tanah kelahiran.
Tokoh pendidikan Ki Hadjar Dewantara menegaskan:
“Budaya adalah buah budi manusia yang menjadi cermin dari budi pekertinya.”
Dengan demikian, budaya bukan sekadar simbol atau aksesoris sosial, melainkan cermin dari jiwa bangsa.
Budaya yang Hidup, Bukan Fosil Sejarah
Di tengah derasnya arus digital dan globalisasi, banyak yang menganggap budaya lokal akan semakin terpinggirkan. Namun kenyataannya, budaya justru membuktikan sifatnya yang dinamis dan adaptif. Ia terserap, berdialog, bahkan bertransformasi tanpa kehilangan akar nilai.
1. Motif batik tampil dalam rancangan busana modern, dikenakan dengan kebanggaan oleh generasi muda.
2. Kesenian tradisional berkolaborasi dengan musik digital dan media populer, menghadirkan warna baru yang memikat.
3. Ruang digital kini digunakan sebagai wadah kampanye pelestarian kearifan lokal dan sejarah.
Gus Dur pernah mengingatkan:
“Kebudayaan bukan untuk dilestarikan secara kaku, melainkan dihidupkan.”
Budaya hidup karena manusia yang menghirup, menjaga, dan mengembangkannya.
1. Motif batik tampil dalam rancangan busana modern, dikenakan dengan kebanggaan oleh generasi muda.
2. Kesenian tradisional berkolaborasi dengan musik digital dan media populer, menghadirkan warna baru yang memikat.
3. Ruang digital kini digunakan sebagai wadah kampanye pelestarian kearifan lokal dan sejarah.
Gus Dur pernah mengingatkan:
“Kebudayaan bukan untuk dilestarikan secara kaku, melainkan dihidupkan.”
Budaya hidup karena manusia yang menghirup, menjaga, dan mengembangkannya.
Budaya sebagai Jangkar Moral dan Keseimbangan
Dalam kehidupan modern yang materialistis dan serba cepat, budaya hadir sebagai jangkar moral. Nilai gotong royong, sopan santun, musyawarah, dan penghormatan kepada yang lebih tua menjadi penyeimbang terhadap individualisme dan kompetisi ekstrem yang kerap melahirkan kegersangan batin.
Tomasoa Todani, tokoh adat dari Maluku, pernah berkata:
“Orang yang lupa budayanya kehilangan rumah dalam dirinya.”
Budaya adalah rumah batin bangsa, tempat kita pulang secara spiritual ketika dunia luar menjadi bising dan melelahkan.
Dalam kehidupan modern yang materialistis dan serba cepat, budaya hadir sebagai jangkar moral. Nilai gotong royong, sopan santun, musyawarah, dan penghormatan kepada yang lebih tua menjadi penyeimbang terhadap individualisme dan kompetisi ekstrem yang kerap melahirkan kegersangan batin.
Tomasoa Todani, tokoh adat dari Maluku, pernah berkata:
“Orang yang lupa budayanya kehilangan rumah dalam dirinya.”
Budaya adalah rumah batin bangsa, tempat kita pulang secara spiritual ketika dunia luar menjadi bising dan melelahkan.
Peran Generasi Muda: Penjaga Sekaligus Pencipta
Melestarikan budaya tidak cukup dengan dokumentasi atau perayaan seremoni. Ia membutuhkan "Partisipasi Aktif". Generasi muda bukan hanya pewaris, tetapi juga Pencipta bentuk-bentuk budaya baru yang relevan dengan zamannya.
"Bangga menggunakan produk lokal adalah pernyataan keberpihakan"
:Mempelajari dan mengajarkan bahasa daerah adalah tindakan merawat identitas"
"Menjadi kreator konten budaya adalah kontribusi masa kini yang berpengaruh besar"
Seperti pesan Buya Hamka:
“Bangsa yang Besar bukan b
Bangsa yang kaya raya, tetapi Bangsa yang Tidak Hilang Harga Dirinya.”
Harga diri bangsa terletak pada kebudayaannya.
"Bangga menggunakan produk lokal adalah pernyataan keberpihakan"
:Mempelajari dan mengajarkan bahasa daerah adalah tindakan merawat identitas"
"Menjadi kreator konten budaya adalah kontribusi masa kini yang berpengaruh besar"
Seperti pesan Buya Hamka:
“Bangsa yang Besar bukan b
Bangsa yang kaya raya, tetapi Bangsa yang Tidak Hilang Harga Dirinya.”
Harga diri bangsa terletak pada kebudayaannya.
Budaya adalah Masa Depan
Saatnya kita mengubah cara pandang. Budaya bukan museum masa lalu, tetapi cetak biru masa depan. Ia adalah denyut nadi bangsa, karena tanpa itu, Indonesia mungkin maju secara teknologi, tetapi kehilangan ruh dan maknanya.
"Merawat budaya berarti merawat kemanusiaan. Menghidupkan budaya berarti menghidupkan harapan"
Maka mari kita jaga, rawat, dan hidupkan budaya bukan sebagai seremonial nostalgia, tetapi sebagai energi kreatif yang memandu perjalanan Indonesia menuju peradaban yang bermartabat dan berkeadaban.
Salam Damai, Harmoni Nusantara, dan Hormat Penuh Takzim!(*)
Saatnya kita mengubah cara pandang. Budaya bukan museum masa lalu, tetapi cetak biru masa depan. Ia adalah denyut nadi bangsa, karena tanpa itu, Indonesia mungkin maju secara teknologi, tetapi kehilangan ruh dan maknanya.
"Merawat budaya berarti merawat kemanusiaan. Menghidupkan budaya berarti menghidupkan harapan"
Maka mari kita jaga, rawat, dan hidupkan budaya bukan sebagai seremonial nostalgia, tetapi sebagai energi kreatif yang memandu perjalanan Indonesia menuju peradaban yang bermartabat dan berkeadaban.
Salam Damai, Harmoni Nusantara, dan Hormat Penuh Takzim!(*)
Tags
Catatan Budaya


