Saksi Ahli: Disparitas OC Kaligis Bertentangan Dengan Hukum Dan Keadilan

Saksi ahli, Prof. Dr. HM Laica Marzuki, SH

JAKARTA (wartamerdeka.info) - Pengacara Prof. Dr. Otto Cornelis Kaligis, SH, MH, mengajukan satu lagi ahli dalam perkara Peninjauan Kembali (PK) Kedua, yang diajukannya pada Pengadilan Tipikor Jakarta.

Saksi ahli tersebut, adalah mantan hakim Konstitusi, Prof. Dr. HM Laica Marzuki, SH yang dikenal pula mantan jaksa dan hakim agung yang kini menjabat Guru Besar Universitas Hasanuddin (UNHAS) Makassar.

Sebelum menyampaikan pendapatnya, Marzuki meminta kepada majelis hakim pimpinan F Henri untuk membacakan keterangan yang diberi judul "Disparitas Bertentangan Dengan Hukum Dab Rasa Keadilan."

"Perkenankanlah saya mengemukakan ke hadapan yang mulia bahwasanya Disparitas bertentangan dengan hukum dan keadilan," katanya.

Menurut kamus besar bahasa Indonesia merumuskan kata Disparitas "perbedaan ; jarak." Sedang Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan "Negara Indonesia adalah negara hukum." Dan Pasal 28D. ayat (1) UUD 1945 menjamin Setiap orang  berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Pemohon PK, Prof. Dr. Otto Cornelis Kaligis, SH, MH memohon perlindungan hukum terhadap perlakuan disparitas vonis yang dialaminya sehubungan dengan penjatuhan pidana atas dirinya dengan strafmaat yang jauh berbeda antara Pemohon PK yang dipidana 7 tahun disertai pidana denda sebesar Rp 300 juta subsidair 4 bulan kurungan dibanding pemidanaan (vonis) atas diri advokat Moh. Yagari Bhastara Guntur, SH alias Gary yang dipidana hanya 2 tahun berdasarkan dakwaan pidana yang sama yakni Pasal 6 ayat (1) hiruf a UU Nomor: 31 Tahun 1999 Tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, terakhir diubah dengan UU Nomor : 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHPidana dengan kasus posisi yang sama pula yakni dakwaan penyuapan terhadapa hakim Tripeni Irianto Putro dan kawan kawan pada Pengadilan TUN Medan.

Dalam kasus ini menurut ahli, Pemohon PK Prof. Dr. Otto Cornelis Kaligis, SH, MH membantah dirinya melakukan perbuatan pidana penyuapan namun pengadilan berpendapat lain seraya menjatuhkan pidana baginya. "Terakhir putusan MA RI. Nomor 178 PK/Pid. Sus/2017 Tanggal 19 Desember 2017 membatalkan putusan MA Nomor: 1319 K/Pid.Sus/2016 Tanggal 10 Agustus 2016.

Putusan MA Nomor 178 PK/Pid.Sus/2017 Tanggal 19 Desember 2017 mengurangi pemidanaan Pemohon PK dari 10 tahun menjadi 7 tahun, dengan pertimbangan hukum: Bahwa seharusnya dengan peran masing masing sebagaimana fakta yang dikemukakan di atas, Pemohon PK/Terpidana harus dijatuhi pidana  penjara sama atau setidaknya mendekati pidana penjara yang dijatuhkan terhadap Moh. Yagari Bhastara Guntur alias Gary dan tidak mencolok perbedaannya. Namun dalam kenyataannya yudex yuridis bahkan memperberat pidana penjara yang dijatuhkan kepada Pemohon PK/Terpidana.

OC Kaligis
Bahwa Pemohon PK/Terpidana tidak layak mendapat pemberatan pidana penjara sebab dari segi nilai atau besaran suap yang diberikan kepada hakim yang memeriksa permohonan atau gugatan terkait Undang Undang Nomor: 30 tahun 2014 nilai suapnya relatif sedikit yang sekitar Rp 396 juta jika dibandingkan dengan perkara suap lainnya yang nilainya miliaran atau puluhan miliar ditambah dengan adanya kerugian negara miliaran bahkan puluhan miliar dijatuhi pidana penjara rata rata 7 tahun. Sedangkan Pemohon PK/Terpidana dijatuhi pidana 10 tahun.

"Perbedaan pemidanaan sebagaimana dijelaskan adalah termasuk bentuk disparitas yang harus dihindari," kata Marzuki.

Berdasarkan fakta sangat jelas dan terang bahwa peran Moh. Yagari Guntur jauh lebih besar dan signifikan dalam hal terjadinya tindak pidana korupsi (suap) dibandingkan dengan Pemohon PK/Terpidana.

"Bahwa disparitas  pemidanaan yang mencolok harud dihindari karena hal ini menyangkut soal keadilan dalam pemidanaan  yang wajib ditegakkan," tegasnya.


"Tidak boleh terdapat penjatuhan pidana yang berbeda, berjarak, tidak berimbang, apalagi menjatuhkan disparitas vonis yang bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan," tandas Marzuki.

"Penjatuhan pidana terhadap Pemohon PK, Prof. Dr. Otto Cornelis Kaligis, SH, MH yang berjarak jauh serta berselisih 5 tahun dengan Gary masih tergolong Disparitas Vonis yang melanggar hukum serta mencederai rasa keadilan Pemohon PK," imbuhnya.

Ahli juga menegaskan bahwa pengajuan PK oleh Terpidana maupun ahli warisnya, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dapat mengajukan PK dua kali.

Sedangkan Surat Edaran MA (Sema), yang melarang pengajuan PK lebih dari sekali tidak diperkenankan, hanya sebatas peraturan internal MA yang tujuannya membatasi jumlah perkara di MA.

Persidangan Pengajuan PK ini ditunda sepekan dan sidang selanjutnya akan mendengar ahli yang diajukan Termohon PK. (dm)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama