Kejanggalan Surat Dakwaan Dan Tuntutan Jaksa Dilaporkan Kepada Hakim

Terdakwa Tomas Nur Riaputra memberi keterangan kepada wartawan.
JAKARTA (wartamerdeka.info) - Pengusaha muda, yang kini jadi seorang pesakitan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Tomas Nur Riaputra merasa sebagai korban kriminalisasi oknum jaksa "Yr"  dari Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat dan oknum penyidik Polres Jakarta Pusat.


Sebab Jaksa Penuntut Umum (JPU), "Yr" sejak membuat surat dakwaan hingga mengajukan tuntutan 2 tahun penjara dalam kasus penggelapan terhadap terdakwa Tomas Nuria Putra, terbukti tidak profesional sebagai jaksa.


Keluhan Tomas atas kejanggalan-kejanggalan yang dibuat jaksa tersebut dilaporkan kepada ketua majelis hakim, Syamsudin Zuhri, SH, MH, pada hari sidang, Kamis (8/8) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 


Kejanggalan yang terjadi dalam perkara Tomas, disampaikan kepada hakim ketua bahwa berkas (BAP dan bukti bukti), tak pernah secara lengkap diberikan copynya kepada terdakwa dan penasihat hukum terdakwa sejak awal sidang hingga pembacaan surat tuntutan jaksa.


Selain itu kata Tomas, baik secara lisan maupun dengan surat, dia telah meminta kepada jaksa untuk mencocokkan barang bukti.  "Semenjak awal sidang. Setidaknya sejak 4 bulan lalu kami intensifkan lagi untuk mencocokkan alat bukti. Karena apa? Karena sampai penuntutan itu kami  belum melihat  barang bukti asli. Dan setelah dicocokkan ternyata JPU tidak memiliki satu pun bukti dan    barang bukti tersebut dugaan kami fiktif. Itulah yang jadi kejanggalan," kata Tomas.


Tentang keluhan Tomas ini, hakim sarankan agar dituangkan dalam nota pembelaannya saja. Hakim lalu menyatakan menutup sidang karena pembelaan terdakwa belum selesai dibuat penasihat hukumnya.


Tomas selanjutnya menyampaikan keluhannya kepada wartawan di pengadilan tersebut.
"Kemarin kami baru diberikan waktu untuk mencocokkan barang bukti di kantor Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, sekitar jam 08.00 wib. Dan saya yakin bukti yang ada di jaksa fiktif, tutur Tomas mengungkap kejanggalan perkaranya.


Kejanggalan kedua yang kami temukan lanjut Tomas, surat dakwaan JPU "Yr" yang diberikan kepada hakim dan terdakwa versinya berbeda. "Ini menjadi dasar kejanggalan yang sangat serius. Salah satu yang berbeda itu adalah tanggalnya surat dakwaan yang berbeda beda. Dimana itu bisa menjelaskan ketidak cermatan jaksa dalam menyusun surat dakwaan. Dan itu adalah suatu hal yang sangat serius menurut kami."


Oleh karena itu kami meminta agar kami mendapat kesempatan untuk mencocokkan surat tuntutan yang diberikan oleh jaksa kepada hakim  dengan surat tuntutan yang diberikan kepada kami. Karena kami kuawatir jaksa terlalu 'lelah' lantaran banyak sidang yang  erakibat surat tuntutan itu  berbeda juga, sindir Tomas, sambil menambahkan, apabila surat tuntutan itu berbeda, apa yang bisa mereka bela. "Jadi belaan kami belaan omong kosong nanti," imbuhnya.


Yang pasti nenurut Tomas, surat tuntutan yang diberikan kepadanya tidak ada nomor halamannya. Hanya pakai butir butir poin saja.


Terkait kejanggalan kejanggalan yang dibuat JPU ini harapan kami hakim dapat memerintahkan jaksa untuk membuat ulang surat tuntutannya dengan membuat nomor halaman. Itu untuk memudahkan pembelaan  kami juga.


Satu kejanggalan lain dalam surat tuntutan jaksa yang kami terima ada 4 (empat) nama saksi dan keterangannya di persidangan dihilangkan. Padahal keempat saksi tersebut telah didengar keterangannya di muka sidang dan ada rekamannya juga. Sedangkan satu saksi fiktif yang tidak pernah didengar keterangannya dalam sidang, tapi keterangan orang tersebut ada pada surat tuntutan jaksa.


"Inilah salah satu kejanggalan juga terhadap persidangan ini. Itulah hal yang kami alami dalam satu rangkaian proses kriminalisasi yang kami hadapi luar biasa."


Ketika ditanya tentang apa saja bukti dalam perkara ini, disebutkan Tomas bukti dokumen invois/surat jalan, dokumen laporan keuangan dan lain lain.


Seluruh bukti tersebut tidak ada aslinya sama sekali dan kedua sifatnya sepihak. Kalau dibilang barang bukti seharusnya ada kelengkapan dari kami kedua belah pihak. Misalnya tandatangan kedua belah pihak atau apa. Ini semua sama. Bukankah kalau begitu analoginya  bisa saya kirimkan saja 100 invoice kepada Bapak. Terus saya bilang Bapak tidak bayar. Bisa dong kalau tidak ada  kedua pihak. Sebab seharusnya kedua pihak saling mempunyai.


Tomas juga mengungkap bahwa saksi pelapor yang melaporkannya ke penyidik tidak memiliki legal standing sebagai pelapor. Sebab dia tidak memiliki surat tugas dan tidak memiliki surat kuasa dari direksi. Tapi surat kuasa yang ada padanya dibuat dan ditandatangani sendiri dengan mengatasnamakan perusahaan.


Lucunya lagi, pelapor membuat laporan ke penyidik setelah keluar dari perusahaan. Jadi BAP pelapor cacat demi hukum dan batal demi hukum.


Hal itu sudah kami sampaikan kepada penyidik dan Kejaksaan tapi tidak digubris. Begitu juga ketika pelapor  bersaksi di persidangan, kami menyatakan keberatan kepada majelis hakim, dengan alasan legal standingnya saksi apa? Korban adalah perusahaan tapi saksi yang didengar hari itu sudah bukan pegawai dan kami tunjukkan Akte Perusahaannya.


Terkait masalah yang dihadapi, Tomas  berharap agar hakim dapat memberikan kesempatan kepadanya untuk membuktikan kebenarannya dengan pengecekan surat surat bersama Akta Akta bersama  dan legal standing. "Apabila pelapor mengaku bahwa dia adalah seorang direksi mohon agar dapat dibuktikan keabsahan pengakuan tersebut. Apabila tidak terbukti atau tidak dapat menunjukkan hal tersebut maka kami harapkan hakim dapat menuntut saksi tersebut sebagai keterangan palsu di persidangan untuk segera diproses," pungkas Tomas. (dm)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama