PERTAPIN dan LPPM Universitas Mpu Tantular, Gelar Webinar Nasional Bertajuk “Bencana yang Berkaitan dengan Iklim dan Cuaca di Ibukota”

Keynote Speaker, Narasumber, Panitia, Moderator dan MC Webinar Nasional Pertapin

JAKARTA (wartamerdeka.info) - Dewan Pimpinan Pusat (DPP) dan Dewan Pimpinan Daerah Pertapin DKI Jakarta, Perkumpulan Tenaga Ahli Profesional Indonesia (Pertapin) bekerjasama dengan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) universitas Mpu Tantular, menggelar Seminar Nasional bertajuk “Bencana yang Berkaitan dengan Iklim dan Cuaca di Ibukota”.

Acara tersebut diselenggarakan melalui zoom meeting, pada hari Senin (26/04/2021), dari pukul 13.00-15.40 WIB. Diikuti 79 peserta, yang terdiri dari: jajaran DPP, DPD dan anggota Pertapin dari berbagai daerah, Pengusaha Konstruksi, Konsultan, Akademisi hingga Mahasiswa dari Jakarta (Univ. Mercu Buana, Univ. Bung Karno, Univ. Mpu Tantular, Dll), dari Medan (Politeknik Negeri Medan), dan Pontianak (Universitas Panca Bhakti Pontianak).  

Webinar menampilkan Keynote Speaker, Ir. Kimron Manik, M.Sc, Direktur Keberlanjutan Konstruksi Ditjen Bina Konstruksi Kementerian PUPR, yang dilanjutkan para Narasumber: Prof. Dr. Manlian Ronald A. Simanjuntak, S.T., M.T (Ketua V Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi/ LPJK Transisi); dan Dr. Rio Christiawan, SH., M.Hum., MKN (Kaprodi S-3 Ilmu Hukum, Universitas Tujuhbelas Agustus ‘45, Jakarta).

Sedangkan untuk mengendalikan para pembicaraan dan audiens, dipercayakan kepada moderator Dr. (Cand). Drs. Ir. Edison H Manurung, MM., MT., MH., IICD., CST, Kepala LPPM Universitas Mpu Tantular, Jakarta. Dan acara secara keseluruhan  dipandu MC, Tyas Rahmaniah dari Pertapin.

Sebelum acara paparan, Ketua Pelaksana, Ir. Agung Pangarso memberikan laporannya, yang berharap webinar ini bermanfaat bagi semuanya. Dilanjutkan sambutan Ketua DPD Pertapin DKI Jakarta, Eko Anurahmani.

Mengawali diskusi, Keynote Speaker, Ir. Kimron Manik, M.Sc, Direktur Keberlanjutan Konstruksi Ditjen Bina Konstruksi Kementerian PUPR menjelaskan adanya beberapa regulasi yang perlu diketahui, yang berkaitan dengan bencana dan standar K-4. 

Kimron Manik menjelaskan, Indonesia belakangan ini mengalami dampak perubahan cuaca ekstrim, namun bukan hanya di Indonesia. Tapi juga dialami negara-negara lainnya. 

Menurut Kimron, upaya adaptasi perubahan iklim, benar-benar menghadapi tantangan yang sangat berat. Karena karakteristik wilayah Indonesia sebagai negara kepulauan yang letak geografisnya sebagai negara beriklim tropis dan berada diantara benua Asia dan Benua Australia, dan diantara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. 

Oleh karena itu, kata Kimron, Indonesia sangat rentan terhadap perubahan iklim hubungan sekitar dari Indonesia. Hal tersebut ditunjukkan beberapa fakta kekeringan dan banjir yang berdampak buruk pada Ketahanan pangan, Infrastruktur, Permukiman dan Perumahan di daerah pesisir dan kawasan perkotaan. 

Sejalan dengan hal tersebut sebagaimana diamanatkan dalam PP 14 tahun 2021, ini PP turunan dari Undang-undang tentang Cipta Kerja, bahwa prinsip konstruksi berkelanjutan dalam penyelenggaraan jasa konstruksi yaitu: mitigasi risiko keselamatan, kesehatan, perubahan iklim dan bencana. 

“Jadi, Bapak-Ibu, secara peraturan terbaru sudah dinyatakan, masalah antisipasi terhadap perubahan iklim dan bencana,” ungkapnya.. 

Kemudian dalam penerapan keselamatan konstruksi, sebagaimana dituangkan dalam undang-undang 11 tahun 2020 Cipta kerja di pasal 59, bahwa semua penyelenggaraan jasa konstruksi, maupun penyedia wajib memenuhi standar keamanan, keselamatan, kesehatan dan keberlanjutan (K-4), yang menjamin keselamatan keteknikan konstruksi, keselamatan dan kesehatan kerja, keselamatan lingkungan dan keselamatan publik. 

“Intinya adalah, selain kita membangun dari sisi-sisi aspek konstruksi, juga kita harus berbicara masalah lingkungan dan publik. Jadi, jangan sampai sempat kita membangun infrastruktur, tapi efeknya merusak lingkungan, atau malah membahayakan masyarakat yang ada disekitar infrastruktur tersebut,” tegasnya

Dikatakan Kimron, bahwa tidak hanya pandemi Covid-19 yang dihadapi saat ini yang perlu ditangani, namun juga fenomena perubahan iklim dan cuaca yang nyata-nyata berdampak nyata secara fisik maupun biologis. 

“Jadi strategi dan kolaborasi keterlibatan Pemerintah, Swasta, Masyarakat, Organisasi keagamaan, Perguruan Tinggi, Akademisi dan Media, mutlak diperlukan untuk membangun kesadaran bersama, bahwa Indonesia adalah negara yang rawan bencana, dan siapkan secepatnya langkah-langkah mitigasi yang tepat sehingga dapat menekan potensi timbulnya korban bencana bencana tersebut terjadi,” bebernya. 

Memasuki paparan, narasumber Prof. Dr. Manlian Ronald. A. Simanjuntak, ST., MT., D.Min, yang dalam keberadaannya sebagai Ketua Bidang V DPP LPJK Transisi periode 2021-2024,  membawakan topik: “Rekomendasi Program Penanggulangan Bencana di Provinsi DKI Jakarta”.

Mengawali paparannya, Prof. Dr. Manlian Ronald. A. Simanjuntak yang juga sebagai Guru Besar Manajemen Konstruksi di Universitas Pelita Harapan (UPH) mengatakan, banyak hal yang perlu dipahami mengenai dasar-dasar penanggulangan bencana di Provinsi DKI Jakarta.

“Kata kuncinya adalah, penanggulangan bencana. Bukan pencegahan bencana. Karena bencana tidak dapat dicegah. Yang dapat dicegah adalah resiko. Sehingga resiko versus bencana. Jadi kalau ada nomenklatur tertulis risiko bencana, saya nggak ngerti itu. Jadi tolong dipisahkan antara risiko dan bencana,” ungkapnya.

Menurutnya, risiko bisa diminimalkan. Tapi kalau bencana, itu tidak bisa. Tidak ada yang pernah di dunia ini memprediksi postur dan potensi bencana di Indonesia, termasuk di Jakarta. 

“Karena bencana itu adalah “Act of God” atau kehendak Sang Pencipta. Jadi bagi saya, bencana itu bukan musibah. Tetapi, satu kesempatan kita belajar lebih bersyukur kepada sang pencipta dan kita lebih mematangkan kompetensi kita karena kita harus merespon,” tandasnya. 

Dikatakan Manlian, bahwa bencana itu dapat dipelajari perilakunya, namun tidak bisa terukur, sehingga harus berbasis penanggulangan.

“Namun dalam beberapa kali pemikiran saya, bencana itu dapat dipelajari perilakunya. Ya itu yang menarik. Kalau risiko terukur, kalau bencana tidak terukur. Sehingga, risiko berbasis pencegahan dan preventif, sedangkan bencana berbasis penanggulangan. Jadi, bencana itu tidak dapat dicegah. Hanya dapat ditanggulangi,” tekannya. 

Lebih lanjut Manlian menuturkan, tentang kebencanaan menurut Undang-undang Nomor 24 tahun 2007, ada nomenklatur mitigasi. Mitigasi itu seakan-akan dapat dicegah, jadi dapat direspon.

“Sehingga dalam waktu dekat, Bapak Kimron dan Tim serta kami dari LPJK, akan membantu membuat Peraturan Menteri mengenai sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi. Itu merespon risiko. Tapi mampukah itu nanti merespon bencana? Tentu kita optimalkan,” tuturnya. 

Untuk itu LPJK memiliki peran bagaimana mengoptimalkan para ahli semaksimal mungkin. Sehingga ada ilmu sebenarnya dalam rangka mengantisipasi risiko atau Risk Management, atau Manajemen Risiko. 

“Sesungguhnya tidak ada Manajemen Kebencanaan. Bukan untuk membuat bencana. Tidak. Tapi bagaimana merespons supaya bencana itu supaya tidak kaget,” lanjutnya.

Kenapa hal ini disampaikan di awal, supaya kita mengerti benar, hal tentang risiko dan bencana, dan bagaimanalah penanggulangan itu nanti Jakarta. 

“Kita lihat, ini data yang masih lama tapi paling tidak bisa menjadi acuan sampai 2012. Saya sedang mengumpulkan juga sampai dengan 2021, tapi dari data ini dapat disimpulkan, bahwa dari konteks kebencanaan di Indonesia, jelas Indonesia memiliki potensi bencana. Itu tidak lagi dapat dipungkiri,” bebernya. 

Lebih jauh, Manlian membeberkan, Jakarta adalah Ibukota menurut Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007. Jakarta bukanlah perkotaan, bukan pula Metropolitan dan bahkan bukan juga Megapolitan. Sebab Jakarta adalah Kawasan Strategis Nasional. 

“Jadi ketika kita mempelajari, mengkaji tentang penanggulangan bencana di Jakarta, yang kita pelajari adalah Kawasan Strategis Nasional. Sekarang, arah dari diskusi kita adalah bagaimana kawasan itu memiliki potensi bencana,” jelasnya. 

Dijelaskan, kalau kita melihat di Jakarta itu ada komponen bangunan gedung, komponen bangunan infrastruktur, ada komponen social, ada komponen dan ada komponen-komponen environtmental, dan ada komponen2 lainnya yang dinamikanya ada di Jakarta. 

Luapan banjir yang terjadi di Jakarta sudah terjadi beberapa tahun yang lalu. Itu ada satu setengah meter, 2 meter, 1 meter, 0,5 meter dan seterusnya. Dan ternyata tahun 2021 masih memiliki potensi terancam bencana banjir. Apa penyebabnya? Nanti kita coba cermati bersama kondisi posturnya seperti apa.

Selanjutnya, apa dampak bencana bagi Jakarta. Ada Life, Assets, Future Value. Apa itu manusia korban manusia? Asset itu adalah apa yang sudah kita bangun. Sedangkan Future Value, karena Khusus Ibukota. 

Manlian juga mengingatkan, bahwa adanya penurunan permukaan tanah Jakarta sebesar satu sentimeter setiap tahun.

“Bayangkan kalau ibu kota tenggelam. di mana muka Indonesia di seluruh dunia ini? Jadi ini juga menjadi cermatan kita. Dan mungkin bergulir pemikiran rencana pemindahan Ibukota Negara kita, itu juga menjadi bahan kajian yang menarik,” lanjutnya.

Manlian juga menyinggung soal adanya Peta Tata Ruang hingga tahun 2030, sistem drainase yang masih tidak sesuai, adanya Banjir Kanal Timur dan Banjir Kanal Barat yang belum efektif, perlunya open dum, serta masih perlunya ruang terbuka hijau. 

Selanjutnya, Narasumber kedua, Dr. Rio Christiawan, SH., M.Hum., MKn menyinggung soal perspektif penanganan dari prosedur regulasi, dan Socio Legal bencana.

“Saya mau mulai flashback peristiwa awal tahun 2020, saat itu publik berpolemik soal banjir parah, dengan pemandangan mobil mewah mengapung. Lalu masyarakat mulai berpikir, apakah banjir ini sesuatu yang normal, bencana atau bukan? Atau resiko? Tapi mau disebut sebagai resiko, ataupun bencana, yang jelas Pemerintah harus punya satu konsep untuk menghindarkan masyarakat dari kerugian. Ini dulu konsep Socio Legalnya.” ungkapnya.

Karena secara sosiolegal, lanjut Rio, akibat banjir itu aspeknya banyak sekali. Salah satunya, menimbulkan kerentanan ekonomi, kemudian menimbulkan korban dan lain-lain. Belum bicara soal kebijakan. 

“Tapi anehnya, dari data yang saya himpun, itu pemulihannya justru ditanggung oleh swadaya masyarakat,” katanya. 

Yang jadi pertanyaan, lanjutnya lagi, apakah kita tidak bisa keluar dari persoalan banjir? Koq menyebutnya dengan istilah banjir menahun di Jakarta?

“Banjir seharusnya merupakan bencana. Bukan resiko. Tetapi pada saat itu, banjir disebut resiko. Karena pasti terjadi akibat tindakan teknis, untuk menghindarkan banjir yang lebih besar terjadi. Sebagian pendapat bilang, banjir itu bencana. Sebagian bilang bahwa banjir itu tidak perlu terjadi. Jadi sebetulnya ini salah siapa?,” tanyanya.

Menurut Rio, dalam terminologi Hukum Bencana, yang disebut bencana itu adalah “Act of God”. Act of God itu adalah suatu kejadian diluar nalar atau diluar kemampuan terbaik (best effort) manusia untuk mengantisipasi, sehingga tidak dapat dihindarkan. 

“Tapi kalau misalnya sifatnya terprediksi, sifatnya diperkirakan akan terjadi, itu bukan “Act of God” namanya. Maka Pemerintah harus memberi antisipasinya. Act of God itu adalah jika kita semua tidak tahu dengan kemampuan terbaik (best effort) kita, bahwa itu akan terjadi,” tandasnya. 

Dikatakan Dosen Universitas Tujuhbelas Agustus '45 Jakarta ini, lantas dimana letak tanggung jawab Pemerintah dalam hal ini? .

“Pemerintah itu kalau Act of God maka bertanggungjawab atas kejadian ikutannya. Setelahnya misalnya rehabilitasinya, pemulihannya dan lain-lain. Tapi kalau sifatnya bukan Act of God, Pemerintah itu bertanggung jawab mulai dari pencegahan, mitigasi hingga pemulihannya,” bebernya.

Sementara itu, bicara soal regulasi Undang-undang 24 tahun 2007, ada satu hal yang perlu ditambahkan yakni adalah persoalan aspek pencegahan. Aspek ini tidak lepas dari yang namanya aspek mitigasi. 

“Ini yang kemudian perlu disempurnakan di dalam undang-undang 24 tahun 2007. Termasuk pembentukan kesadaran kolektif masyarakat,” imbuhnya. 

Lebih jauh Rio mengatakan, di Indonesia yang namanya bencana, itu selalu dianggap menjadi bagian dari peran BNPB, BDPB dan lain-lain. Tapi sebenarnya bencana itu akan mengakibatkan kerentanan ekonomi yang berdampak secara luas, dimana justru kerentanan ekonomi itu merugikan banyak stakeholder, Pemerintah, masyarakat dan pelaku usaha. 

“Bayangkan kalau Jakarta itu kerendam banjir tiga hari aja. Berapa kerugian ekonominya?,” tanyanya lagi. 

Dikatakan, ada satu konsep yang sering digunakan di luar negeri tetapi belum banyak diadopsi di Indonesia. Di dalam pasal 74 Undang-undang Perseroan Terbatas itu dibuka konsep CSR. 

“Jadi bencana itu dianggap sebagai objek atau bisa dipadukan dengan konsep CSR. Jadi CSR tanggap bencana. Karena CSR itu sendiri kan pemberdayaan masyarakat dari yang lemah, menjadi berdaya atau menjadi empowering. Jadi pemerintah daerah tidak tidak banyak menyerap cost recovery karena Cost recovery bencana itu kebanyakan tidak dibudgetkan di dalam APBD atau APBN,” jelasnya. 

Usai paparan Narasumber kedua ini,moderator Edison Manurung memberi kesempatan bertanya bagi peserta. Ada penanya dari Kotawaringin Timur, Kalteng, ada dari Poltek Medan, yang dijawab oleh kedua Narasumber. (DANS)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama