UKI Gelar Webinar Strategi Fintech Keuangan Digital, Hadapi Penipuan Online

Foto: Para Pejabat Struktral UKI, Narasumber, Panitia dan peserta webinar fintech

JAKARTA (wartamerdeka.info) - Universitas Kristen Indonesia (UKI), Jakarta Timur, melalui Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Strategis (PSHKS) bekerjasama dengan Program Studi (Prodi) Doktor Hukum dan  Perkumpulan Ikatan Keluarga Besar Alumni (IKA) Magister Ilmu Hukum, menggelar webinar bertajuk “Strategi Fintech Keuangan Digital Menghadapi Penipuan Online di Masa Pandemi”.

Acara ini dilangsungkan pada hari Sabtu, 25 September 2021, via zoom meeting, dari pukul 09.30-12.00 WIB. Sebanyak 126 peserta mengikuti acara, antara lain: Mahasiswa S-1; S-2 Ilmu Hukum, Dosen, Praktisi, dan para Pegiat Fintech, dan acara dipandu MC, Christ Daniel.

Sambutan pertama, Ketua Umum Ikatan Alumni Magister Ilmu Hukum UKI Aryanti Baramuli, S.H., M.H menyampaikan pandangannya, mencermati maraknya penipuan online, maka negara hendaknya hadir memberikan perlindungan kepada masyarakat. Dan fintech yang menawarkan produk yang tidak bertanggungjawab itu, mestinya diberi sanksi sesuai Undang-undang yang ada.

Sambutan berikutnya dari Ketua Prodi Program Doktor, Prof. Dr. John Pieris, SH., MS yang mengatakan, banyak keluhan dari masyarakat soal koridor hukum, termasuk berupa kerugian ekonomi masyarakat. Semoga talk show ini dapat memberikan rekomendasi kepada Pemerintah, untuk bisa memberi solusi dari fintech keuangan sebagai sebuah industri jasa keuangan.

Selanjutnya, moderator Johannes Marcelino Matmey, SH, Peneliti Pusat Kajian PSHKS memberikan gambaran umum dengan menjelaskan defenisi Fintech yang berkembang belakangan ini, sebagai bagian dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sementara kemudahan yang diberikan, membuat masyarakat banyak berminat. 

Namun menimbulkan kerawanan, karena banyak yang abal-abal dan tidak legal, tapi selalu memberikan janji-janj menggiurkan. Bahkan diketahui, ada 7.000 kasus yang diterima pihak Kepolisian mengenai persoalan fintech keuangan.

Narasumber I, Dr. Ir. Widyo Gunadi, MBM, Advisor of Digital Financial Innovation Group Otoritas Jasa Keuangan (OJK), membawakan topik ‘Strategi inovasi keuangan Digital Menghindari Penipuan Online’. Topik Diskusi mengenai Pengenalan Fintech; Pengaturan Fintech di OJK; Jenis Penyelenggara IKD; Studi Kasus: Aggregator; Peranan OJK dalam menangani Investasi Ilegal.

Dikatakan Widyo Gunadi, isu yang berkembang di masyarakat, terkait masalah Digital Financial Inclution, ada sebesar 38% (seberapa banyak jumlahnya, transaksinya). Sedangkan dari keseluruhan persoalan Digital Financial Literacy ada sebesar 76,9%, terkait product awarenes.

Widyo Gunadi mengatakan, dari sisi customer mengalami peningkatan yang signifikan, karena menjadi kebutuhan di masa pandei Covid-19.

“Salah satu pemicunya adalah dari China. Banjir start up sekitar 10 ribuan, dan hanya ada sedikit yang terdaftar dan terverifikasi,” ungkapnya.

Dijelaskan Widyo, ada 355 fintech yang beroperasi di Indonesia, yang memiliki lisensi dan terdaftar, berada dibawah pengawasan OJK. Diantaranya, 21 teregistrasi dan 85 terlisensi (total 107) kategori P2P lending-OJK; 7 Equity/ Securities Crowdfunding terlisensi; dan 83 yang terdaftar (belum terlisensi) kategori Digital Financial Innovation-OJK (16 cluster).

Sebab menurutnya, tidak semua fintech berada dibawah pengawasan OJK. Terkait payment, ada di Bank Indonesia, dan soal Crypto (sebagai mata uang digital), ada di BAPEPTI.

Lebih jauh Widyo Gunadi mengatakan, peran OJK dalam hal fintech adalah sebagai fasilitator.

“Namun kalau membangun fintech, harus bersama-sama. Tidak bisa OJK sendirian, karena tergantung juga terhadap ecosystem, dimana pihak keuangan lainnya juga terlibat. Sementara di Undang-undang, masalah fintech itu belum diturunkan, apakah OJK berhak secara keseluruhan atau tidak. Karena masih belum jelas, dan masih perdebatan,” tandasnya.

Diakui, memang ada POJK No 13 yang merupakan payung hukumnya, tapi bagian dari OJK mengurusi masalah fintech. Bahkan fenomena baru yang terjadi, dimana ada fintech yang baru beroperasi. Artinya masih belajar. Tapi sudah bisa mendirikan. Karena OJK sebagai pembina, yang juga melatih, hingga nanti menguji untuk jadi tercatat atau tidak.

Dikatakan, kalau seseorang meakukan pinjaman uang, itu uangnya bukan dari fintech. Karena fintech itu merupakan marketer. Tapi, dari pemberi pinjaman melalui fintech berdasarkan aturan POJK 77/2016, dengan Peer to Peer Landing (P2L).

Agregator itu sebenarnya website (mis: booking.com, dll) yang menyiapkan perbandingan-perbandingan harga dan fasilitas.

“Agregator menjual informasi. Kenapa agregator perlu? Karena masyarakat perlu dan membutuhkan informasi secara cepat dan lengkap. Jadi, tidak bisa sebenarnya pembayaran melalui agregator. Karena dia adalah marketer atau marketplace, yang hanya membantu pemasaran dan mendapatkan fee,” imbuhnya.

Sementara itu dikatakan, ada 6 (enam) tips dalam memilih fintech yang kredibel, yaitu: Melihat apa manfaat fintech tersebut; Legalitasnya; Syarat dan Ketentuan; Kinerja; Reputasi dan apakah fintech tersebut menyiapkan kanal pengaduan atau tidak. 

Sedangkan ciri-ciri pinjaman online ilegal atau rentenir online adalah: Tidak tedaftar atau tidak berizin dari OJK; Penawaran melalui SMA/ WA; Bunga dan denda tinggi, mencapai 1-4% per hari; Biaya tambahan lainnya tinggi, bisa mencapai 40% dari nilai pinjaman; Jangka waktu pelunasan singkat (tidak sesuai kesepakatan); Meminta akses data pribadi, seperti kontak, foto dan video, lokasi dan sejumlah data pribadi lainnya yang digunakan meneror pinjaman yang gagal bayar; Melakukan penagihan tidak beretika (berupa teror), intimidasi dan pelecehan; Tidak memiliki layanan pengaduan dan identitas kantor yang jelas.   

Namun menurut Widyo Gunadi, di masyarakat ada juga yang berlaku kriminal dalam hal fintech. Karena sejak awal orang tersebut secara sengaja melakukan pinjaman, akan tetapi memang tidak niat mengembalikan. 

Paparan narasumber II, Desti Noer Aninditya Setiana, Payment Risk di salah satu perusahaan membawakan judul makalah ‘How To Detect & Prevent Frauds In Fintech Industry’. Desti menjelaskan digital disruption, yang dulu dan sekarang ada perkembangan yang lebih inovatif.

“Sekarang download aplikasi untuk mengecek berbagai penawaran para agregator, sangat banyak. Tapi, bagaimana mendeteksi dan memilih yang legal agar secara dini menghindari frauds, itulah yang mestinya dipelajari terus oleh masyarakat,” ungkapnya. 

Dikatakan Desti, Inovasi Keuangan Digital (IKD) adalah aktivitas pembaruan proses bisnis, model bisnis, dan instrumen keuangan, yang memberikan nilai tambah baru di sektor jasa keuangan, dengan melibatkan ekosistem digital. Hal ini tercantu dalam POJK No.13/POJK.02/2018.  

Sedangkan Agregator itu adalah situs web atau aplikasi yang embantu nasabah untuk mendapatkan informasi mengenai layanan produk dan jasa keuangan dengan menghimpun inormasi, menyaring dan memperbandingkan produk dan layanan antar Lembaga Jasa Keuangan (LJK) secara digital.

Adapun narasumber III, Ardian Sripujiantoro, SH, Senior Risk Management lebih banyak bicara soal risiko keuangan, dengan adanya modifikasi penipuan.

“Modus penipuan sudah ada dari dulu. Tapi dengan kondisi dan tren yang ada akhir-akhir ini, dimana karena faktor perkembangan teknologi, ditambah situasi Covid-19, justru kebutuhan masyarakat akan fintech, dimanfaatkan mereka dengan cara memodivikasi model penipuannya,” ungkapnya.

Ardian mengatakan, dari sisi Risk Manajemen, ada Risiko Keuangan, Risiko Strategi, risiko operasional dan Risiko Lingkngan. Sedangkan  dari sisi implemetasi, fintech lebih kompleks risk managementnya, karena terkait dengan Risiko Operasional, Risiko Hukum, Risiko Reputasi, Risiko Cyber Security, Risiko Kepatuhan, Risiko Strategi dan Risiko Likuiditas. 

Usai paparan tiga narasumber, moderator mempersilahkan pemantik acara, Dr. Diana Napitupulu, S.H., M.H., M.Kn., M.Si, yang dalam kapasitasnya sebagai Pengamat Industri Perbankan dan Keuangan, dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang mempertajam pembahasan berikutnya.

Pertanyaan-pertanyaan Dr. Diana Napitupulu, yang juga Dosen Magister Ilmu Hukum UKI ini termasuk membandingkan peraturan-peraturan yang sebelumnya dengan adanya regulasi baru belakangan ini, terutama di masa pandemi Covid-19. Contohnya, untuk sekarang ini, dengan modal Rp. 1 miliar, sudah dapat membuka aplikasi fintech, tapi apa Punishmentnya dan responsibilitasnya.

Termasuk ditanyakan soal tandatangan electronik, soal perlindungan data, yang memang belum punya regulasi yang kuat secara hukum. Pertanyaan dari peserta lainnya juga cukup banyak, sehingga membuat suasana talkshow makin hidup. (DANS)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama