Melawan Lupa; Prof Zainuddin Maliki Ungkap Peran Tokoh Muhamadiyah Di Masa Kemerdekaan

SEBELUM dan awal kemerdekaan peran politik Muhammadiyah sangat kuat, baik politik kebangsaan maupun politik kekuasaan, kata Prof. Zainuddin Maliki menanggapi perihal Muhamadiyah sebagai Yatim Piatu dalam politik. 

“Tak diragukan lagi, tokoh Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimejo, dan Kahar Muzakkir adalah tokoh sentral terjadinya konsensus nasional penetapan UUD 1945 sebagai konstitusi dasar sekaligus penetapan Pancasila sebagai dasar negara pada tanggal 18 Agustus 1945.” 

Prof Zainuddin Maliki, anggota MPR RI Fraksi PAN menyampaikan itu, pada Sosialisasi 4 Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara di Gedung Dakwah Muhammadiyah Gresik, Rabu (22/12/21).

Zainuddin Maliki lantas sebut beberapa tokoh Muhammadiyah yang berjasa dalam kemerdekaan. Seperti KH Ahmad Dahlan yang Pahlawan Nasional; KHMas Mansur tokoh Empat Serangkai; Ir Djuanda Kartawidjaja Perdana Menteri Indonesia yang ke-10 berjasa pada deklarasi batas laut 12 mil.  

“Juga ada nama Moeljadi Djojomartono aktivis Muhammadiyah cabang Solo yang menjadi Menteri Sosial Indonesia dalam Kabinet Djuanda dan Kabinet Dwikora III tahun 1966. Moeljadi Djojomartono menjabat sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat,” ungkapnya.

“Aktivis Muhammadiyah asal Pangkalan Brandan, Sjamsuddin Sutan Makmur Harahap adalah Menteri Sosial dalam Kabinet Soekiman, dan menjadi Menteri Penerangan pada Kabinet Burhanuddin Harahap,” tambahnya.

Keberadaan Kementerian Agama, lanjut mantan Rektor Universitas Muhamadiyah Surabaya ini, adalah gagasan tokoh Muhammadiyah dari Banyumas Jawa Tengah, KH Abu Dardiri. Menteri Agama pertama, HM Rasjidi, dikenal sebagai ilmuwan, Ulama lulusan Universitas Sorbonne, Prancis,  berasal dari Kotagede, Yogyakarta, juga tokoh Muhammadiyah.

“Begitu sentral peran politik tokoh Muhammadiyah sebelum dan di awal kemerdekaan, namun sejarah selanjutnya peran politik Muhammadiyah mengalami pasang surut,” ujarnya. 

Muhammadiyah Yatim Piatu Politik

Buya Syafii Maarif, masih kata Zainuddin Maliki sempat menulis Muhammadiyah yatim piatu dalam politik, terutama dalam politik kekuasaan. 

“Menyangkut politik kekuasaan, Muhammadiyah nyaris tidak berdaya,” ungkapnya mengutip tulisan Buya Syafii di Resonansi di Republika (24/9/2019).

“Tentu yang ditulis Buya Syafii Maarif perlu menjadi bahan renungan. Pasalnya peran strategis tokoh-tokoh Muhammadiyah  sebelum dan di awal kemerdekaan itu seharusnya tetap konsisten dilakukan dalam perjalanan mengisi kemerdekaan saat ini dan ke depan,” ujarnya.

Zainuddin Maliki menegaskan, tokoh Persyarikatan awal kemerdekaan menunjukkan sikap positif terhadap politik kekuasaan. Mereka tidak memilih strategi political disengagement, tidak mengambil jarak dengan politik, sehingga tidak saja berperan besar dalam menentukan arah dan kiblat politik kebangsaan tetapi juga mengendalikan politik kekuasaan.

“Sikap positif dan optimis terhadap politik seperti dicontohkan oleh para tokoh Persyarikatan sebelum dan di awal kemerdekaan itulah yang kita butuhkan saat menghadapi berbagai kontestasi politik kekuasaan seperti dalam pemilihan kepala daerah maupun pemilihan legislatif sekarang ini,” ungkap Ketua DPW PAN Jawa Tengah itu.

Antara Jumlah Kepala dan Isi Kepala

Dia menekankan, konsekuensi menjadi organisasi kelas menengah, mudah dimaklumi jika Persyarikatan memiliki keterbatasan dalam “jumlah kepala’.

Namun tak diragukan dalam hal ‘isi kepala’. Bermodal kekayaan ‘isi kepala’ dipastikan Muhammadiyah bisa mengkonsolidasikan potensi warganya.

“Saya sudah buktikan ketika warga Muhammadiyah terkonsolidasi dan bersedia diajak bersyarikat, ternyata ‘jumlah kepala’ yang dibutuhkan cukup untuk memenangkan kontestasi politik,” ungkap legislator asal Dapil Jatim X Gresik dan Lamongan itu. 

Kalau saja terkonsolidasi sehingga tidak hanya berkerumun dan berdiaspora, melainkan bersyarikat, kata Prof. Zainuddin, diyakini Muhammadiyah bisa menghimpun suara yang signifikan, untuk mengakhiri masa yatim piatu dalam politik kekuasaan.

“Muhammadiyah dengan kontribusinya yang begitu besar di dunia pendidikan, kesehatan, pilantropi, pengurangan risiko bencana dan berbagai kegiatan kemanusiaan seharusnya bisa dijadikan pengungkit dalam menentukan kiblat politik kebangsaan dan proses distribusi alokasi politik kekuasaan,” ujarnya. 

(Warminta Masykar)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama