Susah Ya Mengadili Soeharto


Oleh : Aris Kuncoro 

Menegakkan hukum secara serius di negeri ini kok kayaknya sulit banget ya. Apalagi kalau sudah menyangkut penguasa. Bahkan menegakkan hukum terhadap mantan penguasa saja, kayaknya juga nggak bisa. Setidaknya inilah yang terjadi, ketika hukum di negara kita harus berhadapan dengan yang namanya Soeharto, mantan Presiden yang paling lama berkuasa di negeri ini.

Pengaruh mantan presiden yang kini tengah terbaring sakit di RSPP Jakarta ini tampaknya masih tetap besar, kendati sudah delapan tahun lengser dari jabatannya sebagai presiden. Padahal, sejak dia lengser, sudah empat kali terjadi pergantian presiden, dan tak satupun yang berhasil menuntaskan kasus hukum penguasa Orde Baru ini.Para penguasa yang kemudian memimpin negeri ini, mulai dari BJ Habibie yang mengaku sebagai murid politik Soeharto, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Megawati Soekarnoputri yang merupakan putri dari mantan Presiden Soekarno yang ''dilengserkan'' secara langsung maupun tidak langsung oleh Soeharto dan juga Soesilo Bambang Yudhoyono yang kini tengah berkuasa, semua tak ada berhasil memenuhi amanat rakyat yang tertuang dalam Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 yang meminta agar kasus KKN Soeharto dituntaskan.

Malah, dalam rapat Presiden Yudhoyono dengan para pemimpin lembaga negara dan beberapa menteri kabinet, beberapa hari lalu, menghasilkan keputusan yang antiklimaks yakni menghentikan kasus hukum Soeharto. Belakangan Kejaksaan Agung juga mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3).

Tentu saja keputusan pemerintah ini memicu ketegangan baru situasi politik di Indonesia. Karena terkesan pemerintah begitu mudahnya mengesamping amanat rakyat yang tertuang dalam Ketetapan MPR. Yang parahnya lagi, seolah tanpa memperhatikan jeritan rakyat yang pernah tertindas di masa Orde Baru, sejumlah pejabat, mulai dari unsur eksekutif, legislatif bahkan yudikatif membuat pernyataan yang nyaris seragam, yakni agar Soeharto sebaiknya diampuni dan dihentikan penyidikannya. Pernyataan yang sangat lugas malah muncul dari Jimly Asshiddiqie. Dia menyatakan, "Dipastikan saja. Harus ada ketegasan di antara kita sebagai bangsa untuk tutup buku mengenai masalah Pak Harto. Beliau mantan presiden, sudah uzur. Kita hormati, kita tempatkan dia dalam sejarah republik kita. Sebaiknya tidak usah ada pihak yang berpura-pura ingin mengusulkan pemeriksaan agar Soeharto diperiksa kembali, memeriksa, bahkan mengadili. Tapi nyatanya tidak. Itu hanya memberi harapan kosong."

Bahwa mantan penguasa Orde Baru itu kini terbaring sakit, kita semua memang tahu. Tapi, bisakah jerita rakyat yang pernah menjadi korban di masa pemerintahannya yang otoriter itu lantas dinafikan begitu saja?Rakyat dicekoki dengan wacana kesehatan, sakit permanen, dan unfit condition. Sehingga seolah-olah seperti dipaksa agar tak lagi mengungkit-ungkit kasus hukum Seharto dengan alasan kemanusiaan.Terkesan, penegakan hukum yang terjadi hanya sekedar formalitas alias tipu-tipu saja.

Mestinya, kasus hukum Soeharto harus diurai dengan terbuka di pengadilan. Soal dia benar atau salah biarlah pengadilan yang menentukan secara obyektif. Kalau yang terjadi seperti sekarang ini, maka yang dirugikan bukan hanya publik atau rakyat tapi juga Soeharto dan keluarganya. Karena terlanjur jadi image di masyarakat bahwa bahwa Soeharto dan kroninya telah melakukan KKN besar-besaran di saat berkuasa. Mereka -Soeharto dan keluarganya sulit membela diri karena tak ada kesempatan melakukan pembelaan di pengadilan.Soal apakah nanti jika sudah diputus pengadilan dan Soeharto dinyatakan bersalah, lantas Presiden memberi pengampunan dan merehabilitasi nama Soeharto, itu bisa saja dilakukan.

Tapi, yang pasti, proses hukum terhadapnya harus dilakukan agar bangsa ini tidak semakin menodai negara hukum dengan ternilai hanya sebatas untaian kalimat dalam UUD 1945.Wacana pengadilan in absentia terhadap Soeharto tampaknya perlu dihidupkan. Metode interpretasi, konstruksi, dan hermeneutika hukum dapat dipakai untuk mengadili Soeharto tanpa kehadirannya (jika memang Soeharto enggan, atau alasan sakit untuk hadir di pengadilan). Ingat, bahwa Tap MPR itu sampai sekarang tak pernah dicabut. Kalau amanat rakyat itu tak juga terlaksana maka jelas bahwa konstitusi kita telah dinodai.

Sebaiknya, Presiden SBY, yang dipilih oleh rakyat, jangan gegabah dalam kasus hukum Soeharto. Atau kalau, memang ingin benar-benar tahu pendapat rakyat, buatlah referendum yang diikuti oleh seluruh rakyat Indonesia, apakah rakyat setuju dengan penghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap Soeharto. Kalau rakyat setuju penghentian penyidikan dan penuntutan terhadap kasus hukum Soeharto, maka hal itu bisa dilaksanakan. Kalau mayoritas rakyat tidak setuju, ya Presiden dan aparat hukumnya harus segera menuntaskan kasus hukum mantan penguasa Orde Baru. Gimana, setuju gak Pak SBY?

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama