Dua Direktur PT DBG Bersaksi Dalam Perkara Penipuan Penggelapan Terdakwa Robianto Idup

Terdakwa Robianto Idup

JAKARTA (wartamerdeka.info) - Direktur Operasional dan Direktur Utama PT Dian Bara Genoyang (PT DBG) Wali Sabana dan Iman Setiabudi dihadirkan jaksa ke persidangan perkara penipuan dan penggelapan Rp 70 Miliar atas nama terdakwa Robianto Idup.

Perkara yang diadili majelis hakim yang diketuai Florensia Kendengan, SH, MH, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, kian menarik atas kesaksian dua direksi PT DBG tersebut.

Seperti diberitakan, Komisaris PT DBG, Robianto Idup didakwa Jaksa Boby Mokoginta, SH melakukan penipuan dan penggelapan Rp 70 Miliar dalam kerjasama pengelolaan tambang batu bara di Kalimantan, dengan saksi Herman Tandrin owner PT Graha Prima Energy (PT GPE). Lokasi pengerjaan penambangan batubara di wilayah izin pertambangan PT DBG di Desa Salim Batu Kecamatan Tanjung Palas Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara.

Dalam kesaksian Herman Tandrin beberapa pekan lalu, dikatakan kerugiannya mencapai Rp 70 Miliar. Sebab pengerjaan tambang tidak dibayar terdakwa Robianto kepada saksi Tandrin.

Sementara saksi Wali Sabana yang bersaksi pada sidang, Selasa (28/7/2020) menjelaskan terkait perkara yang menjadikan Robianto Idup ini menjadi terdakwa, karena tidak membayar tagihan/invoice yang diajukan PT Graha Prima Energy (PT GPE).

Alasan tidak membayar menurutnya, karena untuk membayar invoice ke PT GPE itu, harus ada berita acara survey terlebih dahulu.

"Untuk membayar ke PT GPE itu harus ada berita acara survey terlebih dahulu," kata saksi Wali kepada majelis hakim Pengadilan Negeri Jaksel.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Bobby Mokoginta, SH, mempertanyakan kepada saksi, apa yang dibahas/dibicarakan dalam pertemuan di Hotel Kempinski? Dijawab Wali dengan mengatakan pertemuan itu berlangsung pada Juli 2011. Kala itu terdakwa Robianto Idup meminta agar Herman untuk bekerja lagi. Tetapi pertemuan semacam ini adalah pertemuan rutin diantara kedua perusahaan.

"Dalam melakukan pekerjaan tersebut, kedua belah pihak sudah sama-sama mengakui adanya pekerjaan tersebut," ucap Wali.

JPU Boby kembali mencecar saksi. Pertanyaannya tentang dari hasil pekerjaan Herman tersebut, apakah sudah diterima? Sepontan saksi Wali menjawab dengan mengatakan, betul.

Setelah hasil tambang batu bara tersebut diterima ada yang dijual ke Singapura.

"Pertemuan di Hotel Kempinski itu rutin dan sudah biasa, Pak Robianto memanggil Pak Herman. Dalam pertemuan itu, saya mengatakan ke Pak Herman, bahwa pekerjaannya tidak sesuai target," ucap saksi seraya mengatakan pada intinya rapat membicarakan target produksi.


Kemudian JPU menanyakan kenapa tidak tercapai target, dan apa masalahnya? Menurut Wali karena minimnya alat kerja. Sedangkan terkait perkara yang menjadikan Robianto sebagai terdakwa saat ini, kata Wali pihaknya bukan tidak mau bayar, karena pihaknya ingin menyamakan data sebelum membayarnya.


"Kami bukan tidak mau bayar, tapi kami mau menyamakan data terlebih dahulu sebelum membayarnya. Karena siapa yang belum bayar atau kurang bayar, karena kami inginkan rekonsiliasi," ungkap Wali sambil mengatakan karena diperjanjian setiap tahun kita lakukan evaluasi.

Dalam evaluasi tersebut, kalau tidak mencapai target, kontraktor kena pinalti sebesar 5%. Tapi kalau kelebihan ya tidak apa-apa, imbuhnya.

Advokat senior, Hotma Sitompul, SH selaku PenasIhat hukum Robianto, menyela JPU dengan mengatakan sesuai kontrak, 60 ribu saja tidak pernah tercapai. Apakah PT DBG pernah menagih, karena sering kurang target. Lalu dijawab Wali, tidak pernah.

Sedangkan Dirut PT DBG, Iman Setiabudi  yang diperiksa dalam sidang itu mengatakan, dia adalah mantan Direktur Utama PT DBG. Sedang Robianto Idup menjadi Komisarisnya. Iman juga mengaku sebelumnya dia  sudah pernah dihukum pidana selama satu tahun penjara terkait perkara ini.

Kemudian JPU menanyakan apakah saksi turut serta dalam pertemuan yang berlangsung di Hotel Swissbell Tarakan, Hotel Kempinski dan restoran. Menurut Iman, dia ada dalam pertemuan itu. Namun, pada saat itu Herman tetap minta bayarannya, karena dia merasa sudah bekerja, dan belum dibayarkan juga, walaupun Ia sudah bekerja sampai Desember 2012.

"Saya hadir di Hotel Kempinski karena diajak Pak Robi ketemu Pak Herman. Dalam pertemuan di Kempinski itu, Herman merasa sudah bekerja dari sebelum sebelumnya, namun belum dibayar juga,"  ujar Iman.

Iman juga mengatakan bahwa dirinya mengetahui perusahaan Herman tidak dibayar karena pekerjaannya tidak mencapai target. Namun diakui saksi kepada JPU bahwa
ada hasil kerjanya yaitu batubara yang dijual keluar negeri, seperti Singapura. Namun yang mempunyai kewenangan di PT DBG adalah Robianto, tegasnya.

Usai sidang, tim penasihat hukum Robianto advokat senior, Hotma Sitompoel, SH, Ditho H.F. Sitompoel SH LLM dan Philipus Harapenta Sitepu SH MH mengatakan bahwa perkara ini adalah perkara perdata.

Alasan penaaihat hukum terdakwa mengatakan demikian, karena PT DBG, dengan PT GPE telah menjalin kerjasama berdasarkan surat perjanjian tertanggal 27 Juni 2011.

"Dimana PT DBG sebagai pemilik IUP (Izin Usaha Pertambangan) dan PT GPE sebagai kontraktor. Bahwa sejak 2011 sampai 2013, PT DBG selalu melakukan pembayaran terhadap invoice dari PT GPE. Namun ada invoice yang belum dibayar selama empat bulan, dikarenakan masih ada rekonsiliasi antara PT DBG dan PT GPE mengenai kerugian masing masing perusahaan yang harus dihitung secara bersama," kata Ditho.

Ditambahkan Ditho, invoice itu belum dibayarkan karena PT DBG sendiri telah mengalami kerugian dikarenakan PT GPE tidak memenuhi target. Mereka memenuhi targetnya, hanya ditiga bulan pertama. Jika dihitung secara merata, PT GPE tidak memenuhi target, hingga mengakibatkan kerugian bagi PT DBG.

Ironisnya lagi kata Ditho mengenai solar dan longsor, jika dihitung kerugian PT DBG sekitar 6 (enam) juta dollar US dan lima miliar rupiah. Artinya lebih besar dari invoice yang ditagihkan oleh PT GPE kepada PT DBG.

"Bahwa syarat agar invoice dibayarkan, diputuskan secara berjenjang dari bagian operasional di site, manager sampai direktur," ungkap Ditho, sambil mengatakan dalam kesaksiannya, Wali Sabana juga tidak tahu dimana letak penipuan dan penggelapannya. Karena semua sudah diatur dalam perjanjian.

Selama wali sabana berkecimpung di dunia pertambangan puluhan tahun, baru kali ini ada perkara pidana karena belum bayar invoice. Selain itu, Ditho juga mengakui bahwa saksi Iman Setiabudi memang sudah pernah dihukum atas perkara yang sama dengan perkara ini. Padahal perkara ini adalah kasus perdata, karena seluruh kerjasama yang dilaksanakan antara PT DBG dan PT GPE berlandaskan perjanjian tertanggal 27 Juni 2020.

Namun, apa yang dimaksud oleh JPU, bujuk rayu karena ada pertemuan di Hotel Kempinski yang meminta pelapor (Herman Tandrin) tetap bekerja, walaupun belum dibayarkan invoicenya, menurut putra Hotma Sitompoel ini, pertemuan di Kempinski dan pertemuan pertemuan lainnya itu masih dalam konteks perjanjian.

Sedangkan mengenai Invoice yang belum dibayar itu, kata Ditho seharusnya dihitung secara bersama sama. Karena PT DBG sendiri telah mengalami kerugian yang diakibatkan oleh PT GPE. Mulai dari penalty karena tidak mencapai target, longsor, solar dan lain lain. Bahkan kerugian PT DBG melebihi tagihan seperti yang diajukan PT GPE.

"Mengenai tagihan tersebut, seharusnya PT GPE mengajukan permohonan/gugatan pada BANI sesuai perjanjian. Jangan sampai hukum kita dicampur adukan antara pidana dan perdata. Mengenai invooice yang belum dibayar bukanlah perkara pidana melainkan perdata. Penegak hukum tidak boleh digunakan untuk penagihan. Kita harus dudukkan hukum pada porsinya. Apalagi Klien Kami hanyalah sebagai komisaris pada Perusahaan  tersebut," jelas Ditho  (dm)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama