Pakar Lingkungan Dr Andi Tamsil: AMDAL Penambangan Pasir Di Perairan Makassar Sudah Dikaji Mendalam Tim Ahli

Pakar lingkungan Universitas Muslim Indonesia (UMI), Dr. Ir. H. Andi Tamsil, MS


MAKASSAR (wartamerdeka.info) -
Masalah penambangan pasir laut di perairan Makassar kini masih menjadi sorotan. Dari investigasi yang dilakukan tim  otonominews, sejumlah isu terkait hal itu, seperti terjadinya kerusakan lingkungan, rusaknya terumbu karang, terjadinya abrasi, dan keraguan soal Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), ternyata kurang memiliki landasan fakta yang kuat.

Apalagi, ternyata dari penulusuran yang telah dilakukan, penambangan pasir tersebut, justru lebih memenuhi standar lingkungan dibandingkan dengan penambangan pasir laut sebelumnya. Misalnya, terkait lokasi, sebelumnya hanya berjarak kurang dari 1 mil dari bibir pantai, dan sekarang lokasinya, lebih dari 8 mil dari bibir pantai

Hal ini diakui pula oleh pakar lingkungan Universitas Muslim Indonesia (UMI),  Dr. Ir. H. Andi Tamsil, MS yang juga termasuk dalam tim penilai amdal kegiatan penambangan pasir laut tersebut.

Diungkapkannya bahwa penambangan pasir laut tersebut telah dikaji dengan mendalam oleh tim penilai Amdal Sulsel.

"Meskipun demikian, semua orang boleh mengkritisi proses AMDAL tersebut yang merupakan dokumen publik, termasuk Walhi. Tidak ada masalah. Cuma menurut saya harus berdasarkan data dan fakta," ujar H. Andi Tamsil, MS, yang ditemui, kemarin.

Sebagai manusia biasa, mungkin, bisa saja keliru dalam membuat Amdal. Dan, menurutnya AMDAL itu bisa direvisi jika dalam perjalanan ada yang berubah, misalnya, lokasi digeser. 

"Atau ada sesuatu yang kita lupa dan itu penting atau ada perubahan kepemilikan itu boleh direvisi. Dan revisi itu boleh dilakukan ketika sedang berjalan," tambahnya.

Kalau penilaian Walhi itu objektif, menurutnya AMDAL direvisi tidak ada masalah.

"Tapi menurut saya tidak boleh berprinsip suka tidak suka, atau asal menolak. Itu yang tidak boleh, kita harus cari solusinya," kata Andi Tamsil yang sudah lebih 20 tahun menjadi tim ahli Amdal di beberapa kabupaten / kota.

Dia menegaskan, pembangunan itu pasti ada plus minusnya. Tidak mungkin semua itu positif atau negatif. "Dokumen AMDAL itu untuk meminimalkan dampak negatif, dan mengoptimalkan dampak positif. Dampak positif juga kalau kita lakukan tidak baik juga bisa berbahaya," katanya.

Menurutnya, Dokumen AMDAL ini disusun oleh sebuah lembaga yang diakui oleh pemerintah. Tenaga ahlinya berpendidikan, dinilai oleh lembaga yang bersertifikat dan ahli. 

"Apa yang salah disitu. Dalam prosesnya sudah sesuai dengan prosedur. Kalau prosesnya asal-asalan dan dibuat oleh orang yang tidak tepat itu yang bermasalah," ucapnya.

Ketika kita membahas AMDAL, terangnya,  kemarin yang dipersoalkan adalah seharusnya diatas 8 mil (sekitar 12 km). Kedua, diperkuat oleh Dinas Perikanan yang punya otoritas memberikan izin apakah  lokasi tersebut merupajan daerah tangkapan ikan.

"Dinas Perikanan yang punya kewenangan apakah disini boleh atau tidak. Informasi  dari konsultan lebih dari 8 mil sesuai aturan. Itu juga diperkuat oleh dinas kelautan," katanya.

Menurut Dinas Perikanan, daerah tersebut bukan areal penangkapan ikan. Dan kawasan itu memang diperuntukkan untuk eksplorasi pertambangan.

Yang dipersoalkan masyarakat pulau Kondingareng itu bahwa di situ daerah penangkapan ikan nalayan. Namun menurut dinas perikanan itu bukan. "Dan itu merupakan daerah untuk pertambangan pasir berdasarkan peta. Sekarang yang perlu di-cek apakah data itu betul," ujarnya.

Dia juga menjelaskan bahwa kapal Queen of Netherlands milik PT Royal Boskalis yang  melakukan penyedotan pasir tersebut, bukan pemilik izin konsensi penambangan pasir. Pemilik izin usaha penambangan pasir itu ada empat perusahaan lokal.

Dan kapal itu spesifik disewa untuk melakukan penambangan. Masing-masing perusahaan mendapat izin eksplorasi sekitar  1000 hektar 

Lebih lanjut dia menjelaskan, kapal yang digunakan itu bukan mengeruk tapi menyedot. Cara kerjanya seperti vacum cleaner. Berdasarkan simulasi video yang diperlihatkan kapal itu bisa berjalan sambil menyedot pasir.

"Logika kami tidak mungkin ada karang disitu. Kalau ada karang bagaimana bisa menyedot pasir. Dari sisi perikanan biasanya yang ada ikannya itu yang ada karangnya, bukan yang banyak pasirnya. Karena karang itu rumah ikan. Karang itu tergantung matahari bisa hidup di kedalaman 50 meter. Kalau lautnya dalam cenderung karangnya sudah berkurang," tukasnya.

Maka, menurutnya, persyaratan pertambangan kedalaman laut minimal 50 meter dengan jarak minimal 8 mil (+/- 12 km). Walhi sebagai  LSM yang berkonsentrasi pada lingkungan juga tidak boleh membabi buta. "Seperti memprovokasi masyarakat membakar kapal, Itu kriminal. Akhirnya yang rugi masyarakat juga," katanya.

Menanggapi isu pulau akan tenggelam  akibat penambangan pasir, dia menjelaskan abrasi adalah proses yang panjang. Tidak mungkin serta merta bulan ini disedot bulan depan abrasi. Semua kegiatan ada dampak positif dan negatif. Dampak negatif yang tidak bisa kita cegah harus kita hadapi. Itu merupakan tanggung jawab perusahaan. 

Diingatkannya, penambangan pasir laut bisa menyebabkan pulau tenggelam kalau dilakukan dengan cara yang salah dan dekat Pulau.

"Semua kerusakan lingkungan, kerugian masyarakat termasuk kerja nelayan harus diganti akibat kegiatan ini. Bagaimana caranya? Data semua masyarakat yang berkepentingan di area itu. Misal, nelayan terpaksa memutar karena ada kegiatan penambangan. Berarti nelayan menambah bbm. Dulu hanya tinggal lurus hanya butuh 5 liter, sekarang harus mutar tambah 2 liter. Maka perusahaan harus bayar yang 2 liternya. Kalau selama ini nelayan dapat 10kg ikan, karena ada operasi penambangan nelayan hanya dapat 5kg. Maka yang 5kgnya diganti," ungkapnya.

Dia akan objektif dalam memberikan masukan antara kepentingan perusahaan dan kepentingan pemerintah. Terkait konsultan ada dari perusahaan dan ada dari perorangan. Di dalam proses AMDAL ada perwakilan masyarakat 5 orang yang ditunjuk ketika diadakan sosialisasi. Dan di komisi AMDAL ada juga perwakilan LSM lokal sebagai pemantau. 

Secara prosedur, menurutnya, sudah benar tapi bukan menjamin 100 persen betul. Yang harus kita lihat saat dipresentasikan apa saja resiko yang rusak. Misalnya kualitas air, pendapatan nelayan berkurang, ada abrasi dsb. 

"Kita lihat satu persatu besarnya sekian. Kira-kira ada berapa nelayan yang terganggu mata pencahariannya. Misalnya di pulau A ada 100 nelayan ada 30 nelayan yang beroperasi di kawasan itu. Dari 30 itu dalam sebulan ikan apa saja yang ditangkap. Selama dalam proses penambangan tangkapannya berkurang tanggung jawab perusahaan menggantinya. Itu namanya rencana pengelola lingkungan," jelasnya.

"Pemerintah, yang saya tahu sangat terbuka untuk menerima masukan dari LSM. Hanya kadang-kadang mereka maunya ketemu dengan gubernur. Kenapa tidak bertemu dengan dinas teknis yang memiliki tenaga ahli untuk menjelaskan. Disisi lain pemerintah juga ingin mengajak masyarakat untuk sama-sama ke lapangan  melihat apakah ada nelayan yang dirugikan. Itu sudah ditawarkan oleh dinas terkait. Saya yang ikut dalam proses itu punya tanggung jawab moral apakah janji ini dilaksanakan atau tidak oleh perusahaan," pungkas penerima  penghargaan sebagai Cendikiawan Peduli Lingkungan Hidup dari Pengurus Wilayah Majelis Sinergi Kalam (MASIKA) ICMI Sulsel itu.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama