Pengamat Lingkungan: Masalah Penambangan Pasir Laut Di Takalar, Ditunggangi Kepentingan Politik Praktis

Gubernur NA Difitnah 


MAKASSAR (wartamerdeka.info) - Persoalan penambangan pasir laut di Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan, tidak lagi murni masalah lingkungan, tapi sudah merambah ke ranah politik, bahkan terkesan ditunggangi untuk kepentingan politik.

Hal ini diungkapkan Aris K, Ketua Koalisi Peduli Lingkungan Indonesia, di Makassar, hari ini.

"Terbukti, dengan adanya tudingan bahkan fitnah keji terhadap Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah, dengan menyebut Gubernur NA terlibat praktek kejahatan bisnis tambang pasir laut di Takalar," ujar Pengamat Masalah Lingkungan ini.

Ditandaskannya, sampai saat ini tidak pernah ada indikasi kejahatan bisnis tambang pasir laut di Takalar. 

Selain itu, juga tidak ada laporan dan penyelidikan adanya dugaan tindak pidana atau kejahatan terkait kegiatan atau bisnis tambang pasir laut di Takalar.

"Ini kok tahu-tahu menuding Gubernur NA terlibat kejahatan terkait penambangan pasir laut. Itu adalah fitnah yang sangat jahat. Saya menduga ada kepentingan politik, di sini. Dalam rangka menghancurkan citra Nurdin Abdullah," tandas Aris K.

Dari pemantauannya selama beberapa hari di lokasi penambangan yang masuk wilayah Kabupaten Takalar, Aris K mengamati kegiatan penyedotan pasir di daerah itu telah sesuai dengan aturan. 

Di antaranya kegiatan tersebut, dilakukan di luar batas 8 mil (sekitar 12 km) dari bibir pantai. 

"Kondisi ini jauh lebih baik dibandingkan penambangan sebelumnya yang hanya berjarak sekitar 1 mil dari bibir pantai," ujarnya.

Tak hanya itu. Dari pengamatannya, di wilayah tersebut, yakni tempat eksplorasi pasir laut, tidak ditemukan terumbu karang. 

Seperti diketahui, aktivitas penambangan pasir di laut itu adalah untuk percepatan pembangunan Makassar New Port (MNP).

Penambangan pasir laut ini dilakukan oleh kapal Queen of the Netherlands milik PT Royal Boskalis. Kapal ini disewa oleh  perusahaan lokal yang mendapat konsesi atau ijin usaha pertambangan pasir laut di daerah Takalar, tepatnya kecamatan Galesong Utara.

Kapal ini menggunakan teknologi tinggi dalam menghisap pasir laut,  dan tidak menggaruk pasir,  sehingga daya kekeruhannya sangat minimal. 

Dia juga menilai, soal abrasi di pulau Kodingareng yang dikhawatirkan sejumlah pihak,  dari pengamatannya, tak akan terjadi.  Karena jaraknya jauh dari pantai,  dan telah sesuai dengan Perda Provinsi Sulsel No 2 tahun 2019 tentang Zonasi Wilayah Tambang, yang mewajibkan berada di luar 8 mil dari bibir pantai terluar.

Perusahaan tambang yang ada saat ini yakni PT Banteng Laut dan Nugraha sudah sesuai dengan Perda Zonasi itu.

"Sejauh ini dari pengamatan kami tidak ada pelanggaran hukum atau kejahatan yang terjadi terkait kegiatan pertambangan tersebut. Baik dalam proses keluarnya perijinan lokasi eksplorasi maupun proses keluarnya Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) terkait kegiatan penambangan pasir laut tersebut," tandas Aris K.

Jadi, tegasnya, kalau ada pihak yang dengan lantang, menuduh Gubernur NA terlibat praktek kejahatan bisnis tambang pasir laut tersebut, jelas sekali hal itu sangat tendesius, dan terlihat bermuatan politik praktis.

"Janganlah organisasi yang mengkhususkan diri dalam bidang lingkungan ikut-ikutan berpolitik praktis, karena hal itu bisa merusak citra organisasi pemerhati lingkungan. Dan jauh dari sikap obyektif dan ilmiah, dalam menilai masalah lingkungan," pungkasnya.

Senada dengan itu, aktivis Bumi Lestari, Omar meminta seluruh pihak tidak asal tuding terkait aktivitas penambangan pasir di laut, untuk percepatan pembangunan Makassar New Port (MNP) yang dianggap menimbulkan dampak negatif bagi laut dan warga.

Termasuk kata dia, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) yang melayangkan tudingan tanpa fakta ke Gubernur Sulsel, Nurdin Abdullah.

Menurutnya, dugaan boleh dilakukan asalkan jangan mengarah pada tindakan menuduh.

Dia mengingatkan, jika sejumlah pernyataan yang dilayangkan itu sudah mengarah ke fitnah, maka bisa dipastikan itu melanggar aturan.

“Mengatakan orang lain bersalah tanpa adanya fakta yang mendukung akan mengarah kepada fitnah, Pasal 310 ayat (1) KUHP serta Pasal 312 dan 316 KUHP di mana orang yang dituduh tersebut sama sekali tidak melakukan kesalahan. Apalagi jika, sampai menuduh seorang Gubernur Susel secara tidak senonoh, dalam aktifitas tambang pasir laut di Takalar,”ujarnya.

‎Omar mengingatkan agar supaya memahami secara detail prosesnya, lalu merunutnya secara ilmiah dan akurat.

Termasuk menggunakan alat analisis yang bisa divalidasi dan dapat dipertanggung jawabkan, bila bersumber dari laboratorium maka laboratorium tersebut harus terakreditasi. Sehingga, masyarakat tidak disuguhi informasi prematur dan cenderung provokasi.

“Jangan asal memperkirakan dan sembarang mengaitkan karena cara seperti itu anak SD pun bisa alias mengarang bebas. Di ranah publik, resikonya terlalu besar sebab bisa memicu konflik horisontal. Apalagi bila memang sengaja menjadikan rakyat kecil sebagai nilai jual, bahkan mungkin menjadi umpan dan untuk tameng hidup,” tegasnya.

Harusnya, jelas Omar, seluruh pihak memperhatikan komitmen Gubernur yang secara tegas telah mengaku jika pemerintah tidak akan pernah merugikan masyarakat.

“Silahkan saja bila ingin menjadi wadah penyuara atau penyeimbang, bagi komponen masyarakat untuk berbakti kepada negara dan bangsa. Namun tetap mengedepankan watak dan moral yang beradab dalam bingkai negara kesatuan Republik Indonesia. Tolong diingat baik-baik. Jangan sekali-kali berlindung di balik kata ikhlas berjuang, padahal mengorbankan bahkan membuat rakyat pesisir sebagai tumbal demi kepentingan pribadi atau kelompok anda,” ungkapnya.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama