Dikukuhkan Sebagai Guru Besar FKIP UKI, Prof Dr Marina Silalahi, SPd MSi Sampaikan Orasi Ilmiah Tentang Integrasi Kearifan Lokal Dan Iptek Terkait Etnomedisin

JAKARTA (wartamerdeka.info) - Prof Dr Marina Silalahi, SPd MSi,  Ketua Program Studi (Prodi) Pendidikan Biologi pada FKIP  Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta dikukuhkan sebagai Guru Besar ilmu Etnobotani.

Dalam pengukuhan yang berlangsung di kampus UKI Cawang Jakarta, pada Kamis (28/1/2021) ini Prof Dr Marina Silalahi, SPd MSi menyampaikan orasi ilmiah yang berjudul: “Integrasi Kearifan Lokal dan Iptek Khususnya Etnomedisin untuk Pembangunan Berkelanjutan”.

Acara pengukuhan Guru Besar ini dipimpin oleh Rektor UKI, Dr. Dhaniswara K. Harjono, S.H., M.H., MBA.

Sebelum menyampaikan orasi, pada kesempatan itu, Prof Dr Marina Silalahi mengucapkan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus yang memberikan rahmat dan anugerah yang luar bisa kepada dirinya dan keluarga, sehingga bisa mendapatkan kesempatan berharga untuk berkarya sebagai Guru Besar di Universitas Kristen Indonesia. 

"Saya juga menyampaikan terima kasih dan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Yayasan Universitas Kristen Indonesia, Rektor Universitas Kristen Indonesia, Senat Guru Besar UKI, Wakil Rektor Universitas Kristen Indonesia, Dekan FKIP dan seluruh civitas akademika yang telah hadir dalam dalam acara pengukuhan Guru Besar ini. Orasi ini saya persembahkan khususnya untuk Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Kristen Indonesia serta teristimewa untuk keluarga," ujarnya.

Dia kemudian menguraikan arti atau msksud dari beberapa penggalan kata penyusun judul ini, yaitu:

Kearifan lokal atau local wisdom yaitu gagasan, nilai, pandangan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.

Iptek singkatan dari ‘ilmu pengetahuan dan teknologi”, yaitu suatu sumber informasi yang dapat meningkatkan pengetahuan ataupun wawasan seseorang di bidang teknologi.

Etnomedisin berasal dari kata ethno = etnis atau suku bangsa dan medicine = obat, oleh karena itu etnomedisin diartikan sebagai kajian pengobatan dan pemeliharaan kesehatan etnis atau suku bangsa menurut perspektif mereka.

Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan hidup masa sekarang dengan mempertimbangkan pemenuhan kebutuhan hidup generasi mendatang.

Integrasi adalah pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat.

"Judul ini bisa diartikan satu kesatuan yang utuh antara kearifan lokal dengan iptek khususnya pengobatan dan pemeliharaan kesehatan menurut perspektif etnis sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidup masa sekarang dan masa yang akan datang," ujarnya.

Dia lalu memaparkan  satu penemuan ilmiah yang sangat besar berdasarkan kearifan lokal untuk menyelamatkan jutaaan nyawa manusia dari penyakit malaria, yang dia sarikan dari tulisan Su and Miller.

Yaitu saat penemuan Artemisinin pada masa “cultural revolution” atau “revolusi kebudayaan” di Tiongkok pada tahun 1970-an.  Pada saat itu penelitian ilmiah tidak diizinkan, sehingga Proyek 523 tidak dipublikasikan. Pemerintah China meluncurkan operasi senyap yang disebut Proyek 523 untuk memenuhi permintaan pemerintah Vietnam dalam pengobatan malaria. Pada bulan Mei tanggal 23 (523) tahun 1967, sebuah pertemuan diadakan di Hotel Beijing untuk membahas rencana pencarian obat malaria dan secara resmi meluncurkan proyek tersebut. 

Satu setengah tahun setelah projek dimulai tepatnya sekitar Januari 1969, Direktur Projek 523 mengunjungi Institut Materia Medika Cina atau Institute of Chinese Materia Medica dan meminta bantuan Profesor Youyou Tu sebagai pemimpin tim untuk mencari resep ramuan China yang memiliki aktivitas antimalaria.

Tim Profesor Youyou Tu memulai tugas dengan menelusuri resep yang telah digunakan untuk mengobati demam karena memang semua penyakit malaria mengakibatkan demam. Selama tiga  bulan mereka merekam  lebih dari 2000 resep dan mengumpulkan 640 resep untuk pengobatan. 

"Bisa kita bayangkan bagaimana ketekunan dan ketelitian tim dalam membaca resep tersebut, sehingga menemukan nama tumbuhan dengan frekuensi kemunculan yang tinggi di resep tersebut. Di sini bisa kita lihat ada logika berfikir kritis yang digunakan oleh ilmuwan untuk memahami pengetahuan kearifan masyarakat setempat," ujar Prof Dr Marina. 

Artemisia annua (Asteraceae) atau dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai tanaman baru cina merupakan salah satu tanaman yang sering muncul dalam resep masakan. Biar bisa kita bayangkan, bentuk morfologi daun baru cina sangat mirip dengan kenikir (Cosmos caudatus, Asteraceae) namun merupakan dua species yang berbeda. Menurut Heyne di Indonesia tanaman introduksi  Artemisia vulgaris yang nama lokalnya daun manis atau cam cao.  Tanaman ini adalah tanaman obat untuk berbagai penyembuhan penyakit.  

Prof Dr Marina bersama Dekan FKIP UKI Dr Soenarto

Menurut Backer dan Bakhuizen van den Breink  dalam Flora of Java, Artemisia annua di Jawa hanya digunakan sebagai tanaman hias. Tanaman ini berasal dari daerah beriklim dingin dan telah banyak diteliti sebagai tanaman obat, dan di Jawa ada lima jenis Arteimisia.

Kemudian tim Profesor Tu menguji ekstrak lebih dari 100 tumbuhan yang ditemukan pada resep.  Ekstrak diuji  pada hewan pengerat yang terlebih dahulu diinfeksi dengan Plasmodium berghei penyebab malaria. Pada awalnya ekstrak dari A. annua memiliki tingkat penghambatan ~ 68%, tetapi aktivitasnya tidak stabil dan kemudian bervariasi hingga penghambatan hanya 12-40% pada pengulangan berikutnya. 

Variasi aktivitas antimalaria dapat disebabkan oleh banyak faktor (dilaporkan oleh Prof Tu pada presentasi tahun 1972 kepada para ilmuwan dalam proyek) diantaranya asal geografis tumbuhan, variasi musim, bagian tumbuhan yang digunakan (daun atau batang) dan metode yang digunakan dalam ekstraksi. 

Suatu hari, Profesor Tu sedang membaca beberapa resep yang ditulis oleh Ge Hong sekitar tahun 1700. Dalam salah satu resepnya, Ge Hong menjelaskan cara mendapatkan 'jus' dari tanaman Qinghao (A. annua) untuk mengobati demam dengan menggunakan air dingin, padahal pada umumnya dalam pengobatan tradisonal China, ramuan disiapkan dengan cara merebus tumbuhan. Profesor Tu tiba-tiba menyadari bahwa suhu tinggi bisa menjadi penyebab ketidakstabilan aktivitas antimalaria yang dialaminya dalam percobaan yang dilakukan sebelumnya. 

Petunjuk kedua Profesor Tu dari uraian Ge Hong adalah bahwa daun tumbuhan A. annua kemungkinan merupakan bagian yang paling banyak aktivitasnya, karena 'jus' dapat diperoleh dari daun jauh lebih mudah daripada bagian lain dari tumbuhan. Pada tanggal 4 Oktober 1971 ia memutuskan untuk menggunakan eter, menggantikan etanol, untuk mengekstrak bahan aktif dari daun A. annua dan memperoleh sampel ekstrak no 191 yang dapat menghambat malaria pada hewan pengerat dan monyet dengan aktivitas 100%. 

Profesor Tu mempresentasikan karyanya pada pertemuan yang diadakan di Nanjing pada 8 Maret 1972. Hasilnya sangat menarik, dan pimpinan Proyek 523 memutuskan bahwa dia harus melakukan uji klinis pada tahun yang sama. Pada Agustus 1972, Profesor Tu memimpin tim uji klinis ke Pulau Hainan dan menguji ekstraknya pada 21 pasien, yang mencapai penghambatan 95–100%, setelah meminum obat itu sendiri dan kemudian mengevaluasi keamanan ekstrak. Profesor Tu melaporkan hasil dari uji klinis dalam pertemuan   yang diadakan pada tanggal 17 November 1972. 

Hasil yang menggembirakan menyebabkan upaya skala nasional untuk mengekstraksi sejumlah besar bahan murni (atau kristal arteimisinin), menentukan struktur kimianya, dan sintesis yang melibatkan sejumlah besar ilmuwan dari banyak institusi. Di sini terlihat bahwa untuk mendapatkan hasil tersebut Prof Tu melibatkan berbagai bidang disiplin ilmu. Atas jasa Profesor Youyou Tu menyelamatkan jutaan manusia maka, beliau menerima penghargaan Nobel dalam Fisiologi atau Kedokteran pada tahun 2015 (Su and Miller 2015).

Kajian di atas menunjukkan peranan pengetahuan atau kearifan lokal dalam menyelasaikan masalah kesehatan yang sangat besar dan mungkin sangat relevan dengan kondisi pandemic Covid 19 yang kita hadapi saat ini. 

"Bisa kita bayangkan jika tidak ada rekaman resep lawas tradisional yang jumlahnya 640 dan tulisan Ge Hong pada tahun 1700, tim tersebut harus mencoba semua tumbuhan yang ada di planet bumi ini yang jumlahnya sekitar 300.000 species untuk menemukan satu senyawa bioaktif seperti artemisin. Oleh karena itu tidak berlebihan bila dikatakan bahwa penggunaan data tumbuhan obat dari penelitian etnomedisin merupakan salah satu cara yang efektif dari segi waktu dan biaya dalam upaya menemukan senyawa bioaktif baru," ujar Prof Dr Marina.

Dikatakannya, studi etnomedisin merupakan salah satu bidang kajian etnobotani untuk mengungkapkan pengetahuan atau kearifan lokal berbagai etnis dalam upaya menjaga dan memelihara kesehatannya. 

Pendokumentasian tumbuhan bermanfaat di Indonesia termasuk tumbuhan obat sebenarnya sudah dilakukan sejak ratusan tahun lalu, baik secara parsial maupun sistematis. Ukiran berbagai jenis tumbuhan obat ditemukan pada relief di Candi Borobudur dan candi-candi lain di Jawa, yang terkait dengan pemanfaatanya. Selain itu berbagai manuskrip kuno seperti lontar husada, jampi-jampi jawi dan laklak hau menuliskan “resep” untuk mengobati berbagai penyakit.

Diungkapkannya, penelitian etnomedisin saat ini banyak ditujukan untuk menemukan senyawa kimia baru sebagai bahan baku dalam pembuatan obat industri farmasi terutama penyakit berbahaya, seperti obat kanker dan tidak menutup kemungkinan untuk mengatasi Covid 19. 

Sebagai contoh di akhir tahun 2020 hingga awal Januari 2021, sambiloto (Andrographis paniculata, Acanthaceae) menjadi tanaman yang diyakini Negara Thailand untuk mengobati atau paling tidak mengurangi dampak negatif Covid 19. 

"Setelah saya telusuri, ternyata pemanfaatannya untuk mengatasi Covid 19 diadaptasi dari kearifan lokal etnis di Thailand. Sambiloto merupakan jenis tanaman yang terdaftar sebagai obat esensial nasional di Thailand terutama untuk mengatasi gejala flu atau influensa (Chuthaputti et al 2007). Dalam buku Materi medika III sambiloto resmi tanaman obat Indonesia, herba sambiloto digunakan sebagai diuretika dan antipiretika (Depkes 1979)," kata Prof Dr Marina.

Ekstrak sambiloto memiliki aktivitas untuk mengatasi infeksi saluran pernapasan (Saxena et al 2010; Coon et al 2004) dan demam (Coon et al 2004). Namun efek hipersensitif karena mengkomsum sambiloto pernah dilaporkan oleh Suwankesawong et al (2014), walaupun demikian hasil penelitian menunjukkan bahwa belum cukup bukti yang kuat. Lebih lanjut dinyatakannya bahwa hipersensitif kemungkinan disebabkan kontaminasi produk dan kurangnya standarisasi di seluruh produk sambiroto (Suwankesawong et al 2014). Kandungan senyawa bioaktif sambrito bervariasi antara satu bagian ke bagian lain tergantung tempat, musim, dan waktu panen telah dilaporkan oleh (Hossain et al 2014) sama seperti aretemisia. 

"Jadi tidak menutup kemungkinan bahwa salah satu senyawa yang dihasilkan oleh sambiloto dapat 'menyelamatkan' manusia dari pandemic Covid 19. Apakah juga pemerintah Thailand melakukan operasi senyap yang mirip dengan “artemisin”? Apakah Indonesia tidak tertarik dan mungkin membuat penelitian mencari sejenis artemisin dari jenis Artemisia lain atau kerabatnya dalam suku Asteraceae atau dari suku lain?" ujar Prof Dr Marina.

Lulusan S3 Ilmu Biologi Universitas Indonesia dengan disertasi berjudul "Etnomedisin Tumbuhan Obat pada Etnis Batak Sumatera Utara dan Perspektif Konservasinya" ini mengaku  telah memiliki ketertarikan pada tumbuhan obat sejak tahun 1998.

"Namun saat itu penelitian saya difokuskan pada peningkatan kandungan ajmalisin (senyawa anti hipertensi) kultur jaringan tumbuhan tapak dara (Catharanthus roseus) (Silalahi 1999). Tapak dara atau yang dikenal juga sebagai Madagascar periwinkle bukan tumbuhan asli (indigenous) Indonesia, seperti jelas dari namanya mudah kita ketahui dari Negara Madagaskar," katanta.

Menurutnya, selain menghasilkan ajmalisin, C. roseus juga menghasilkan berbagai alkaloid seperti catarantin, vindoline, vinvlastin dan vinkristin yang telah teruji dan telah dikomersialkan sebagai obat anti kanker karena memang terbukti mampu menghambat pembelahan sel, namun sangat disayangkan yang menerima paten atas senyawa tersebut bukan Negara Madgaskar. 

"Bisa kita bayangkan berapa keuntungan dari negara pemilik paten karena saat ini penyakit kanker menjadi salah satu penyebab kematian utama manusia," tambahnya.  

Di bagian akhir orasinya, Prof Dr Narina menyarankan, “gudang pengetahuan” yang tersimpan dalam manuskrip kuno yang dimiliki Indonesia maupun yang diwariskan secara lisan dalam masyrakat lokal, sebaiknya dapat diterjemahkan menjadi naskah ilmiah oleh para peneliti.

Dia juga menyebut, penelitian yang terintegrasi dari berbagai keahlian ilmu dibutuhkan untuk mengembangkan etnomedisin.

Selain itu juga perlunya, integrasi kearifan lokal dengan pengobatan modern, sebagai salah satu cara untuk mengkonservasi keanekaragaman budaya dan KH.

"Untuk menunjang Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainabale Development Goals),   saya menyarankan   untuk merancang program pembangunan desa berbasis  etnomedisin.  Program ini hendaknya  melibatkan  masyarakat lokal, BUMDES, UMKM, universitas, lembaga penelitian, Lembaga Swadaya Masyarakat dan para pemegang kepentingan lainnya," pungkasnya. (A) 



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama