Anak Korban Perceraian Perlu Perlindungan


ANAK ANAK korban perceraian bisa menjadi anak-anak generasi yang tangguh jika hak-hak anak korban perceraian dapat dipenuhi dengan maksimal. Khususnya, hak-hak yang bersangkutan dengan pendidikan dan penanganan psikologis yang tepat.

Demikian kesimpulan dari webinar berjudul Perlindungan Anak Dengan Orang Tua Bercerai, Jum’at 19 Februari 2021 siang yang diikuti lebih dari sekitar 100 orang peserta. Hadir sebagai pembicara DR.Linda Poernomo, Direktur Tiga Sekawan Foorprint Research, Danang Sasongko, psikolog dan Sekjen Komnas PA, Melani E Mahayana Redpel koran Rakyat Merdeka, artis Cornelia Agatha, Ketua Komnas PA DKI H.Otong S, Ketua III Badan Koordinator Kegiatan Kesejahteraan Sosial (BK3S) DKI Mariah Mujianto dan Saki Takao guru sekolah di Jepang. Acara ini dipandu oleh moderator Widya Chalid, pustakawan senior DPR.

”Kita mesti melihat bagaimana hak-hak anak korban perceraian sudah kita realisasikan, seperti apa regulasinya bagaimana Undang Undangnya,” tegas Linda Poernomo.

“Kita bisa bilang secara Undang-Undang, anak-anak dibawah usia 12 tahun hak asuhnya pada Ibu. Tetapi ini harus luwes apakah Ibunya sanggup memenuhi hak-hak anaknya dengan penuh. Kalau belum harus ada dan kita pikirkan bagaimana ini caranya yang terbaik. Idealnya ini campur tangan siapa dan bagaimana,” ujar inda Poernomo menambahkan.

Pada berbagai pemberitaan media dan sosial media serta penelitian di Indonesia angka Perceraian cenderung menunjukan angka yang meningkat terlebih di masa Pandemi . Kini bisa dipastikan hampir setiap satu jam kerja terjadi 40 perceraian sedangkan anak-anak yang baru lahir setiap harinya berkisar pada angka 10 ribu sampai dengan 11 ribu jiwa. Data di Biro Pusat Statistik memastikan dari setiap lima pernikahan terjadi satu perceraian.

“Karena itu anak-anak yang terdampak perceraian setiap hari selalu saja ada. Maka sudah saatnya kita perlu memikirkan bagaimana caranya memperhatikan dan menangani anak-anak yang terdampak perceraian ini secara serius agar hak anak korban perceraian dapat dilindungi dengan baik. Bagaimana regulasinya. Bagaimana Undang Undangnya,” tegas Linda Poernomo, Direktur Tiga Sekawan Footprint Research.

Pemicu perceraian menurut banyak studi adalah masalah “ekonomi”[1]. Ansich masalah ekonomi bukan karena semata pasangan tidak seimbang memikul beban ekonomi melainkan juga lebih kualitatif dari itu. Pada kalangan menengah ke atas, perceraian dilegalkan di depan pengadilan. Pada kalangan menengah ke bawah perceraian terjadi begitu saja: tanpa pengadilan tanpa kua sebab menikah pun siri.

Tetapi anak-anak selalu lahir dari pasangan setiap saat setiap masa. Jika ada pendataan anak yang lahir setiap hari di Indonesia mungkin datanya akan lebih menarik. Data Unicef menyebut  395.050 anak yang lahir di hari pertama bulan januari. Dan di Indonesia 13 ribu anak lahir di hari pertama bulan Januari. Tapi setiap jam terjadi 40 percerian di Indonesia. Kalau sehari 24 jam maka dalam sehari bisa terjadi 960 perceraian.  Data BPS memastikan dari setiap lima pernikahan terjadi satu perceraian.

Bagaimana nasib anak-anak dengan perceraian ?

Pertanyaan itulah kiranya yang menjadi pemikiran banyak pihak. Pertama, keluarga terdekat pasangan bercerai. Jika keluarga terdekat mengambil inisiatif memelihara dan membesarkan anak-anak tersebut, permasalahan belum juga selesai. Sebab pertanyaan lain muncul, apa anak-anak itu benar dipelihara dibesarkan dengan tulus atau malahan anak-anak terebut dipelihara dan dibesarkan dengan tendensius. Juga kalau anak-anak kemudian mengikuti salah satu pihak orangtuanya, meski pun ditetapkan pengadilan masalah dan potensi masalah tetap bisa timbul.

Pada kesempatan webinar ini juga disampaikan tentang anak-anak dengan perceraian di Jepang jika perceraian terjadi maka pasangan mengisi formulir kesepakatan. Lazimnya, Ibu memegang hak asuh anak sedangkan ayah kandung menjalankan hak-hak anak yang terkait dengan hukum. Tanggung jawab masing-masing orang tua tetap berlanjut. Hak anak mendapat porsi perhatian yang besar dari negara sehingga proses perceraian di Jepang dan bagi orang Jepang tidak sederhana. Jika perceraian tidak dapat dilakukan, dapat dilakukan hidup terpisah sehingga anak-anak tetap dalam pengasuhan kedua orang tuanya secara hukum dan kewajiban. (MR)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama