TASIKMALAYA (wartamerdeka.info) - Mangkraknya pembangunan gedung poliklinik yang diperuntukkan 9 poli di RSUD dr Soekardjo yang disoroti oleh LSM KMRT mendapat tanggapan dari pihak RSUD dr Soekadjo.
Pihak RSUD dr Soekadjo H Nendi yang merupakan eks PPK proyek tersebut, saat dikonfirmasi melalui sambungan seluler mengatakan bahwa ada adendum perpanjangan tgl 28 Desember 2021 s/d 27 Januari 2022, yang dari surat edaran Gubernur Jawa Barat dari PMK bisa sampai 50 hari.
Namun kata H.Nendi kontraktor meminta 30 hari saja, dengan konswekwensi bayar denda satu permil / hari dan dipotong Retensi 5%.
Adapun denda yang dibayar yaitu dari setelah refocusing yaitu dari Rp 13 milyar yang nilainya sekitar Rp 12 juta, karena yang sebelumnya sudah dibayar dulu, dan pihak Pemkotpun lanjut H. Nendi, sepakat bahwa hitungan denda dari nilai kontrak.
"Saya dari bulan Januari 2022 sudah tidak sebagai PPK lagi, dr Budi kini penggantinya sebagai PPK dan KPA karena beliau sebagai defenitif PNS. Namun saya tetap memperhatikan dan membantu, mendorong agar pihak pemborong cepat menyelesaikan, karena kasihan dr Budi itu tentunya sangat sibuk sekali, " katanya.
Terkait ada pengerjaan yang salah, H Nendi mengaku belum melihat, nanti akan diinvestigasi dan memohon kepada pihak pihak yang menemukan kesalahan pengerjaan tersebut melaporkan kepada pihaknya disertai foto objek yang dimaksud, agar pihaknya bisa cepat menindaklanjuti melaporkan ke pihak manajemen konstruksi (MK).
Lanjut H. Nendi proyek ini insya Allah akan selesai 27 Januari 2022.
Sementara itu, menurut Ketua KMRT Arief tanggal pembuatan addendum menjadi titik dasar lamanya pengerjaan ruang lingkup proyek sekaligus menjadi titik dasar penghitungan keterlambatan,
Lalu kenapa addendum dilakukan tgl 27 Desember 2022, Kenapa addendum tidak dilakukan segera setelah ditetapkan recofusing anggaran di tgl 08 bulan November 2021 ? Padahal proyeknya tahun tunggal bukan tahun jamak ?
"Ini patut diduga ada permainan perubahan addendum yang menguntungkan pihak lain sehingga terhindar dari denda yang besar dan sanksi blacklist. Belum lagi dari kualitas pekerjaan. Ii harus diusut tuntas oleh KPK atau Kejaksaan Agung karena berpotensi merugikan keuangan negara," ujarnya.
Karena lanjut Arief, akibat penundaan addendum hampir 2 bulan dapat berakibat bengkaknya biaya SPJ atau pengeluaran panitia proyek karena diduga masih mengacu kepada Proyek awal sebesar Rp 32 milyar.
Menurutnya, biaya-biaya panitia proyek jadi menggelembung karena HOK (Hari Orang Kerja) nya naik sejak penundaan Addendum, belum lagi biaya untuk perpanjangan Konsultan MK (Manajemen Konstruksi) yg mengawasi pekerjaan proyek.
"Hal yang sangat fatal adalah dari tgl 08 November sampai tgl 24 Desember 2021, kontrak pekerjaan dilakukan tanpa payung hukum yang jelas karena addendum tidak dilakukan sejak beberapa saat setelah recofusing, " tambahnya.
"Jadi atas dasar apa pekerjaan dilakukan dan atas dasar apa denda diterapkan. Intinya banyak kejanggalan," kata Arief saat dikonfirmasi Minggu (23 /01/ 22)
"Dan, kalau benar sudah di addendum dari Rp 32 milyar menjadi Rp 13 milyar, kenapa sampai tgl 19 Januari 2022 papan pengumuman proyeknya masih Rp 32 milyar. Kami punya bukti papan pengumuman tersebut " ujar Arief.(HA)