Universitas Kristen Indonesia Menggelar Webinar Problematika Perkawinan dalam Perspektif Hukum dan Komunikasi

Foto: Narasumber, Panitia dan Peserta Webinar Problematika Perkawinan
 

JAKARTA (wartamerdeka.info) -Universitas Kristen Indonesia (UKI) melalui Program studi Ilmu Komunikasi Fisipol menggelar Webinar yang kali ini mengangkat tema “Problematika Perkawinan dalam Perspektif Hukum dan Komunikasi” pada hari Sabtu, 18 Juni 2022, pukul 09.00-12.00 WIB.

Webinar diikuti 149 orang peserta, yang kebanyakan mahasiswa Ilmu Komunikasi Fisipol, Fakultas Hukum UKI, namun ada juga dari institusi lainnya seperti mahasiswa dari Universitas Nusa Cendana, dan ada peserta masyarakat umum. Opening Speech dihantarkan oleh Kaprodi Ilmu Komunikasi UKI, Singgih Sasongko, S.IP., M.Si (UKI), dan dipandu MC, Louis Carilo dengan Moderator Vica Naili, keduanya masih mahasiwa UKI.

Webinar menghadirkan 3 (tiga) narasumber yaitu, Sandy Nayoan, SH (Advokat/ Mediator, Seniman); Dr. Diana Napitupulu, SH., MH., M.Kn., M.Sc (Dosen Prodi Magister Ilmu Hukum UKI); dan Drs. Berman Roskalin Sitorus, M.AK (Konsultan Komunikasi & Motivator).

Narasumber Pertama, Sandy Nayoan, SH yang sebelumnya dikenal sebagai bintang sinetron, dan belakangan diketahui sebagai Advokat/ Mediator menjelaskan, bahwa prinsip komunikasi terjadi antara satu orang dengan pihak lainnya secara dua arah. Sebab itu, kedua belah pihak harus bisa saling mengerti, jika ingin terjadi komunikasi dua arah.

Sandi Nayoan mengatakan komunikasi adalah sesuatu yang sangat penting bagi manusia dalam berdialog.

"Komunikasi itu sangat penting untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, harapan dan impian kita kepada orang lain," ungkapnya.

Dia menambahkan, belajar komunikasi itu dimulai dari rumah, dan pola komunikasi di rumah akan membentuk karakter, pola pikir dan cara bicara.

"Fondasi komunikasi itu ada di rumah, lalu disesuaikan dengan kebutuhan di luar seperti komunikasi kita sebagai konsultan hukum, pengacara, konsultan pajak, marketing, dan lain-lain," ujarnya.

Lebih jauh Sandy mengatakan, jika kita bicara dengan seseorang yang menjadi lawan bicara, kita harus bisa menyesuaikan cara berkomunikasi.

“Anda harus mengerti lawan bicara anda seperti apa. Siapa dia. Jangan langsung membuka pembicaraan dengan bahasa hukum yang tinggi-tinggi, misalnya, walaupun itu benar. Tp belum tentu tepat,” ujarnya dalam paparan.

Bahkan Sandy menyarankan, agar kita juga bisa membaca reaksi lawan bicara, sehingga pembicaraan bisa berlangsung komunikatif.

“Anda juga harus bisa membaca reaksi lawan bicara, apalagi itu misalnya relasi atau klien anda. Sehingga akan terjadi suasana yang sifatnya komunikatif,” tandasnya.

Narasumber Kedua, Dr. Diana Napitupulu, SH., MH., M.Kn., M.Sc (Dosen Prodi Magister Ilmu Hukum UKI) dalam paparannya tentang Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjelaskan soal Azas Perkawinan, Defenisi dan Tujuan Perkawinan, serta Univikasi Hukum Perkawinan.

Dina Napitupulu, demikian panggilan akrabnya mengatakan, dalam implementasi Undang-undang Perkawinan, adanya akibat hukum yang tidak dicatatkan oleh Negara, sehingga itu dapat berakibat kepada perselisihan dikemudian hari, jika sewaktu-waktu terjadi perceraian.

“Adanya akibat Hukum yang tidak dicatatkan oleh Negara, sehingga itu dapat berakibat kepada perselisihan dikenudian hari, jika sewaktu-waktu terjadi perceraian. Ini biasanya dalam hal harta gono-gini. Namun bilamana ada kesepakatan dari kedua belah pihak untuk membuat perjanjian yang diaktakan di depan Notaris, maka itu bisa digunakan secara hukum,” ungkapnya.

Yang menarik dari paparan Dina Napitupulu yang juga Notaris ini adalah, adanya perkawinan campuran, dengan golongan hukum.

“Hal ini terkait dengan Perkawinan dengan Warga Negara Asing (WNA) baik yang dilaksanakan di dalam Negeri maupun diluar Negeri. Demikian juga dengan perkawinan campuran dengan beda agama. Pada prinspinya, menurut pasal 2 UU Perkawinan, perkawinan beda agama tidak diizinkan. Karena harus dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya,” tandasnya.

Menurut Dina, dari zaman ke zaman, perkawinan beda agama tidak diatur dalam UU Perkawinan.

“Belakangan dilarang. Maka dalam prakteknya, mereka-mereka itu kawin diluar Negeri, baru dicatatkan di Catatan Sipil dalam Negeri. Setelah tahun 2000, misalnya Kristen dan Islam, jadi dilakukan ritual agama dilakukan 2 kali. Namun ada juga yang perkawinan beda agama di Bali diterima pemerintah setempat untuk dicatatkan di Catatan Sipil,” bebernya.

Sementara Narasumber Ketiga, Drs. Berman Sitorus, M.Ak sebagai Konsultan Komunikasi & Motivator menjelaskan komunikasi dalam rumahtangga memiliki sifat yang sangat spesifik. Karena hal ini menyangkut dengan hati, perasaan, dan budaya yang yang melatarbelakangi pasangan suami isteri, yang kemudian akan membuat kesepakatan baru dalam rumahtangga.

Dikatakan Berman Sitorus, dalam komunikasi dan budaya, kita jangan sekali-kali ingin merubah budaya komunikasi orang banyak.

“Jangan sekali-kali ingin merubah budaya komunikasi orang banyak. Sebab anda tidak akan pernah mampu merubahnya. Sebagai contoh, bila anda adalah pendatang, maka menyesuaikan dirilah dengan budaya komunikasi yang sudah ada. Misalnya, jika anda orang Batak, merantau kuliah ke Yogya, dan ingin pacaran dengan anak Yogya, maka jangan sekali-kali ingin orangtua calon anda mengikuti gaya dan kebiasaan anda,” terangnya.

Untuk itu, Berman Sitorus mengatakan, cara mengembangkan komunikasi dengan pasangan dalam keluarga, ada serba 5 (lima) yang harus diketahui.

“Ada 5 kunci mengembangkan komunikasi dengan pasangan dalam keluarga yaitu, Belajar Memperhatikan, Belajar Menghargai, Belajar Memahami, Belajar Melayani, dan Belajar Untuk Bisa Toleransi,” tandasnya.

Selain itu, Berman juga menekankan, ada 5 (lima) yang seharusnya dihindari dalam komunikasi keluarga.

"Yang harus dihindari ada lima yaitu, dalam hal mengevaluasi, mencecar, memberi label atau cap, menyuruh dan mengancam. Di budaya orang Batak, hal ini juga bisa berbeda-beda. Tapi ketika sudah menikah, maka keluarga ring satu, kita harus buat kesepakatan,” tekannya.

Yang paling menarik, kata Berman, jadilah anda manusia 5 (lima) jari dalam konteks komunikasi dan budaya dalam berkeluarga.

“Yang lebih baik, jika kita bisa menerapkan filosofi lima jari sebagai manusia yaitu, Jempol, yang memberi pujian daripada kritikan. Jari Telunjuk, yang mencerminkan tanggungjawab, daripada menyalahkan. Jari tengah, harus kerjasama dengan seluruh pihak. Jari Manis, yang memiliki komitmen mau terlibat serta terikat. Dan Jari Kelingking, pada dasarnya memiliki kelemahan bukan untuk dipermasalahkan tapi untuk dikembangkan,” pungkasnya.

Dalam pantauan media, para mahasiswa sangat antusias bertanya banyak hal dalam sesi tanya jawab yang dipandu moderator Vica Naili. Kebanyakan bertanya kepada narasumber kedua, Dina Napitupulu, yang rata-rata mengambil contoh soal perceraian, harta gono-gini dan pernikahan yang dipaksa.

Usai tanya jawab, ada lantunan suara dari Ester Juliani, mahasiswa UKI. Selain itu, ada beberapa hadiah yang diberikan kepada para peserta dengan berbagai kategori. (DANS)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama