Foto: Pejabat UKI, Narasumber, Moderator dan Peserta Webinar Problematika Pembangunan IKN
JAKARTA,
wartamerdeka.info
Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Kristen Indonesia (FH UKI) menggelar Webinar
Hukum bertajuk “Problematika Pembangunan Ibu Kota Nusantara
dan Peralihan Hak Atas Tanah untuk Kepentingan Umum,” yang
berlangsung
secara daring (online),
Rabu (6/7/2022) siang hingga sore.
Mengawali acara webinar, Wakil
Rektor UKI Dr. Hulman Panjaitan, SH, MH dalam sambutannya
mengatakan bahwa sejak berlakunya UU No. 3 Tahun 2022 Tentang Ibu Kota
Nusantara (IKN), para akademisi sudah banyak melakukan kajian terkait IKN
tersebut.
“Saya ingat betul beberapa hari setelah
diundangkannya UU ini, Pusat Kajian Otonomi Daerah FH-UKI yang didirikan
Agustin Teras Narang, menginisiasi kajian awal, khususnya terkait IKN,” ujar mantan
Dekan
ini.
Menurut Hulman, Pascasarjana FH-UKI memandang
perlu mengangkat kembali kajian ini dengan mengangkat tema seperti pada webinar
saat ini. Bahkan Hulman menilai pembangunan infrastruktur IKN
selalu membawa dampak, baik dampak negatif maupun dampak positif.
“Sekarang tugas kita adalah bagaimana memitigasi
dampak negatifnya. Salah satu dampak
negatif pasti ada yang terkait dengan persoalan hukum. Persoalan hukum yang
hendak dikaji disini adalah pengalihan hak atas tanah,”
tambahnya.
Kita sudah secara normatif memiliki pedoman
pengadaan tanah untuk kepentingan umum sebagaimana dalam Peraturan Pemerintah
(PP) no. 19 Tahun 2021 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum.
“Melalui webinar ini, hasil diskusi ini dapat
menjadi rekomendasi kepada Pemerintah, sehingga problematika pengalihan hak
atas tanah demi kepentingan umum dapat diselesaikan,” tutupnya.
Webinar ini mengundang 5 (lima)
pembicara
yaitu,
Dr. Agustin Teras Narang, S.H. (Anggota Dewan Pewakilan Daerah RI dan Pengamat
Otonomi Daerah); Joko Subagyo, S.H, M.T (Kepala Biro Hukum Kementerian
ATR/BPN); Dr. Diana R. W. Napitupulu, S.H., M.H., M.Kn, M.Sc (Dosen Tetap
Magister Hukum UKI); Dr. Sampe L. Purba, S.E.Ak, M.Com,
S.H., M.H. (Peneliti Senior Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Strategis); Ir.
Bambang Susanto, MCP, MSCE, Ph.D (Kepala Otorita IKN), dan Marsekal TNI (Purn.)
Dr (HC) Hadi Tjahjanto, S.I.P (Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional), namun 2 (dua) nama terakhir berhalangan
hadir.
Eddie B. Siagian, S.H menjadi
Moderator dalam acara webinar yang diikuti 350
orang peserta yang sudah mendaftar sebelumnya. Para
peserta diantaranya para mahasiswa S-2 Magister Hukum UKI, Dosen Fakultas
Hukum, Praktisi Hukum, masyarakat umum dan kalangan pers.
Dalam paparannya, Dr. Agustin
Teras Narang, S.H. (Anggota Dewan Pewakilan Daerah RI dan Pengamat Otonomi
Daerah) sebagai Pemateri Pertama mengangkat topik berjudul: “Pertanahan di IKN
Menyisakan Masalah.”
Teras Narang memulai paparannya dari sifat
hakikat negara,
yang memiliki tiga sifat yaitu:
(1). Alat
yang bersifat memaksa. Negara bertanggung jawab menegakkan tertib hukum
terhadap masyarakatnya; (2). Monopoli.
Negara melakukan penguasaan tunggal antara lain terhadap hal-hal yang penting
bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak (Pasal 33 ayat 2 dan 3 UUD
1945); dan (3). Mencakup semua. Negara mengeluarkan berbagai
kebijakan yang berlaku bagi segenap masyarakat.
Narang melanjutkan soal wewenang Negara atas
tanah, yaitu, Pertama, Negara mengatur dan
menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi,
air, dan ruang angkasa; Kedua, Negara
menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi,
air, dan ruang angkasa; dan Ketiga, Negara
menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.
Dari pengamatan dan kejadian di lapangan,
Narang memaparkan beberapa hal terkait masalah pertanahan di IKN, antara lain: Gugatan
pertanahan terkait legalitas pertanahan; Klaim tanah dari
masyarakat adat (lahan adat); Sengketa/ konflik
kepemilikan lahan; dan Klaim dari ahli waris Kesultanan (Kutai).
Lebih jauh, mantan Gubernur provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng)
ini menjelaskan adanya perbedaan antara konflik dan sengketa pertanahan.
“Konflik pertanahan adalah perselisihan
pertanahan antara orang perseorangan, kelompok, golongan, organisasi, badan
hukum atau lembaga yang mempunyai atau sudah berdampak luas secara sosio
politis. Sedangkan sengketa pertanahan adalah perselisihan
pertanahan antara orang perseorangan, badan hukum atau lembaga yang tidak
berdampak luas,” bebernya.
Narang yang juga alumni FH UKI
ini
menjelaskan bahwa Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur
(Kaltim) telah menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 6 Tahun 2020 tentang
Pengendalian Peralihan, penggunaan tanah, dan perizinan pada kawasan IKN dan
kawasan penyangga.
“Selanjutnya, Pemprov Kaltim menegaskan bahwa pada
1960-an aset wilayah kesultanan telah diambil negara. Namun proses
peralihan aset wilayah kesultanan tersebut masih perlu dikaji secara hukum
berdasarkan UU yang ada sekarang,” tandasnya.
Diakhir paparan, Narang memberikan
rekomendasi kepada Pemerintah antara lain:
1.
Harus memahami betul calon IKN.
2. Jangan sampai menimbulkan kesenjangan.
Membangun konsep smart city tentu harus juga mempertimbangkan Provinsi
Kalimatan-kalimantan lain.
3.
Jangan tergesa-gesa membangun IKN demi mengejar
target 2024.
4. Faktor kehati-hatian yang tinggi dalam
membangun infrastruktur karena tanah di IKN sudah bekas berbagai macam kegiatan
eksplorasi seperti pertambangan, HPH, hutan tanaman industri.
Pemateri Kedua, Joko
Subagyo, S.H, M.T (Kepala Biro Hukum Kementerian ATR/BPN), mengusung topik:
“Perolehan Pertanahan dan Pengelolaan Pertanahan di IKN.”
Dijelaskan, pembangunan
IKN itu sendiri mencakup wilayah secara garis besar terdiri dari daratan 256.000
hektar dan lautan 68.000 hektar.
Kemudian, lanjut Joko, daratan
dibagi menjadi kawasan IKN dengan luas 56.100 hektar, kawasan pengembangan 199.000
hektar. Di dalam kawasan IKN itu sendiri ada terdapat inti Pusat Pemerintahan seluas
671 hektar.
Dikatakan Joko, Pemerintah juga sudah membuat perturan
turunan UU terkait IKN, antara lain: Peraturan Presiden No. 62 Tahun 2022
tentang Otorita IKN, Peraturan Presiden No. 63 Tahun 2022 tentang Perincian
Perencanaan Induk IKN, Peraturan Presiden No. 64 Tahun 2022 tentang Rencana
Tata Ruang Kawasan Strategis IKN Tahun 2022-2024, dan Peraturan Presiden No. 65
Tahun 2022 tentang Perolehan Tanah dan Pengelolaan Pertanahan di IKN.
“Disini kita fokus pada Perpres No. 65 di mana
ruang lingkupnya adalah Perolehan Tanah di IKN; Penguasaan, Pemilikan,
Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah di IKN; dan Pengendalian Hak Atas Tanah di
IKN. Terkait IKN, Badan Otorita IKN melakukan mekanisme
pelepasan tanah di kawasan hutan dan mekanisme pengadaan tanah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan (Pasal 30 UU No. 3 Tahun 2022 tentang IKN),”
bebernya.
Menurutnya, pengadaan tanah terbagi menjadi pengadaan
tanah untuk kepentingan umum dan pengadaan tanah secara langsung. Pengadaan
tanah untuk kepentingan umum melalui tahapan perencanaan, persiapan, pelaksaan,
dan penyerahan hasil. Sementara pengadaan tanah secara langsung melalui
jual-beli, hibah, rislah, pelepasan secara sukarela, dan tukar-menukar yang
disepakati.
Berlanjut ke Pemateri Ketiga, Dr.
Diana R. W. Napitupulu, S.H., M.H., M.Kn, M.Sc (Dosen Tetap Magister Hukum UKI)
membawakan
topik: “Pengadaan Tanah dan Peralihan Hak Atas Tanah di IKN.”
Dikatakan Diana Napitupulu, yang akrab disapa Dina
Napitupulu, perolehan
tanah untuk IKN dilakukan melalui Otorita IKN sebagai pemegang HPL dan Hak
Pakai, pelepasan kawasan hutan (PP No. 23 Tahun 2021) dan pengadaan tanah (UU
No. 3 Tahun 2022 dan PP No. 19 Tahun 2021).
“Mengenai pelepasan kawasan hutan, ini yang
harus kita cermati.
Karena
kawasan hutan itu mencakup hutan negara, hutan adat, dan hutan industri. Dalam
hal ini juga kita harus mempertimbangkan fungsi hutan, yaitu: hutan konservasi,
hutan lindung, dan hutan produksi,” ungkapnya.
Menurut Dina Napitupulu, persoalan hutan ini
menjadi penting, karena kita ketahui bahwa Indonesia memiliki sepertiga
kawasan hutan dunia.
“Jadi dunia sangat bergantung sepenuhnya pada
keberadaan hutan di Indonesia karena hutan dapat ‘mencuci’ karbon monoksida
(CO) dan carbon dioksida (CO2) menjadi oksigen. Hutan adalah paru-paru
dunia,” terangnya.
Sedangkan mekanisme pelepasan hutan, harus
memenuhi persyaratan administrasi dan teknis dengan membuat penelitian terpadu.
“Dari sini hasil penelitian tersebut dapat
menjadi rekomendasi, yaitu: apakah dapat dilakukan pelepasan, ditolak, atau ada
perubahan fungsi,” tandasnya.
Lebih jauh Dina mengungkapkan, persoalan krusial yang
patut dicermati Pemerintah terkait hak tanah, yaitu hak ulayat. Eksistensi hak tanah
ulayat ini terkait berbagai perundang-undangan dan peraturan, antara lain: Pasal
18B ayat (2) UUD 1945, Penjelasan Pasal 67 UU No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, Peraturan Menteri ATR/BPN No. 19 Tahun 2019 tentang Penatausahaan Tanah
Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat, Pasal 3 UUPA dan Penjelasannya,
Permendagri No. 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan
Masyarakat Hukum Adat, Pasal 2 ayat (4) UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), dan menyusul RUU Masyarakat Adat yang sudah
masuk Prolegnas tahun 2022.
“Kita perlu mengetahui bahwa sekitar 40%
pengadaan tanah di IKN masih dikuasai masyarakat. Karena itu, Pemerintah
perlu melakukan pendekatan, sosialiasi, dan lain-lain untuk pembebasan tanah tersebut,”
pungkasnya.
Pemateri Keempat, Dr. Sampe
L. Purba, S.E.Ak, M.Com, S.H., M.H. (Peneliti
Senior Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Strategis) mengusung topik: “IKN sebagai
Center of Gravity.”
Dijelaskan Dr. Sampe L. Purba, pemindahan
IKN ini terkait dengan visi Indonesia 2045, yaitu:
1. Pembangunan manusia dan penguasaan IPTEK. Di
sini manusia menjadi Center of Gravity dalam pembangunan IKN.
2. Pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.
3.
Pemerataan pembangunan.
4.
Pemantapan ketahanan nasional dan tata kelola
pemerintahan.
Dikatakan Sampe Purba, sebagaimana manusia
menjadi Center of Gravity dalam pembangunan IKN itu sendiri, maka kita harus
dapat meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan sumber daya ekonomi
penduduk.
“Selain itu, kita perlu juga mempertimbangkan sistem
penyediaan energi. Ini menjadi momentum untuk seluruh Kalimantan, pemenuhan
lokal, energi bersih dan terbarukan, pengembangan dan penguatan interkoneksi
se-Kalimantan, dan efisiensi penggunaan energy. Pemerintah
juga harus menyelesaikan hak-hak atas tanah dan hendaknya dapat diantisipasi dan
ditangani dengan baik,” bebernya.
Dijelaskan, belum lama ini juga, Lemhannas (Lembaga
Pertahanan Nasional) sudah membuat kajian Pertahanan IKN, antara lain:
(1). Resiko
kerentanan berkaitan dengan: Resiko kerentanan
udara, rudal balistik, ruang udara negara tetangga; Resiko kerentanan darat,
terbagi perbatasan; dan Kawasan dekat pusat persaingan militer AS vs RRC,
dan visi arsitektur desain pertahanan negara besar.
(2). Respons
terkait: Reorganisasi
militer; Paradigma pertahanan darat menjadi mobilitas
strategis; dan Modernisasi Alusista dan Pertahanan Siber.
Lebih lanjut, Purba menyampaikan bahwa kita
belajar dari beberapa negara lain dalam rencana pemindahan IKN ini. Kita lihat
Malaysia, lokasi Ibu Kotanya strategis, transportasi baik, vegetasi alami,
sedikit dampak negatif kepada masyarakat lokal, dan kota pemerintahan beda dari
kota ekonomi.
Kita bandingkan dengan Brasil yang sudah dua
kali pindah Ibu Kota dan pembangunannya terlalu cepat serta populasi melewati
ambang batas (over populated). Beda lagi dengan Australia, perselisihan
Sidney dan Melbourne, perumahan dan fasilitas yang terlalu mahal.
Bagaimana dengan India? India (Calcutta-Delhi):
pertimbangan keamanan dan titik tengah perhubungan. Sementara Korea Selatan
(Seoul-Sejong): perpindahan bertahap dalam 10 tahun Kementerian dan Badan-badan
Pemerintahan, Ibu Kota baru berada di antara provinsi penyangga.
Mengakhiri paparannya, Purba menyampaikan
rangkuman sebagai berikut:
1. IKN memiliki visi sebagai kota dunia, yang
dikelola untuk kota berkelanjutan, penggerak ekonomi Indonesia di masa depan,
dan simbol identitas nasional.
2. Perpindahan Ibu Kota adalah sekaligus
transformasi budaya dan tidak sekadar pembangunan infrastruktur dan pemindahan
orang.
3. Perpindahan Ibu Kota menyangkut aspek ideologi,
politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan, hukum dan teknologi.
4. Kita perlu juga belajar dari negara-negara yang
dulunya pernah atau akan melakukan perpindahan Ibu Kotanya.
Sementara Pemateri Kelima yang seyogiyanya adalah Kepala
Otorita IKN Bambang Susanto digantikan oleh Kepala Subdirektorat Pengadaan dan
Pencadangan Tanah Wilayah I Zumratul Aini, A.Ptnh, M.M, menyampaikan paparan mengenai Mekanisme
Perolehan Tanah di IKN, yaitu Pelepasan Kawasan Hutan, Dan Pengadaan Tanah.
“Jadi disini saya sekadar
mengulang paparan dari pak Joko Subagyo, terkait pelepasan
kawasan hutan. Sementara, paparan mengenai pengadaan tanah juga sudah
dijelaskan oleh Diana Napitupulu dan saya sekadar
mengulang juga paparan tersebut,” jelasnya.
Terima kasih, dan salam sehat, buat kita semua...🖐🙏
BalasHapus