Pentingnya Reformasi Partai Politik


Oleh: Prof Dr R. Siti Zuhro

(Peneliti Ahli Utama BRIN)

UU No.2 Tahun 2011 tentang Partai Politik sudah lama tidak direvisi meskipun permasalahan dan tantangan baru mensyaratkan agar UU ini diperbaiki. 

Perubahan sosial politik dan datangnya era baru seperti new normal, digital, industry 4.0 dan society 5.0 tidak membuat partai-partai politik bergeming. Yang tampak sejauh ini baru munculnya hiruk pikuk persiapan parpol menjelang pemilu dan pilkada serentak serta munculnya partai-partai baru.

Masalah besar muncul ketika parpol tak juga mereformasi diri, padahal parpol mengemban fungsi sebagai pilar utama demokrasi. Selama parpolnya tidak sehat, maka semua institusi demokrasi tak akan berfungsi memadai. 

Pertanyaannya, mengapa DPR sulit sekali melakukan revisi UU parpol sebagai payung pembenahan internal partai politik? 

Reformasi tahun 1998 membawa angin segar bagi perkembangan parpol di Indonesia. 

Sistem demokrasi partisipatoris dengan ciri dibukanya keran selebar-lebarnya untuk kebebasan bependapat, kebebasan berserikat, dan kebebasan berekspresi memberikan pengaruh relatif signifikan terhadap partisipati politik masyarakat dan pembentukan partai politik. 

Masyarakat berbondong-bondong mendirikan partai politik untuk diikutsertakan dalam pemilu. Sejak dikeluarkannya UU 2/1999 (1 Februari 1999) tentang partai politik, jumlah parpol yang dinyatakan absah sebagai badan hukum oleh Departemen Kehakiman ada sebanyak 93 parpol, 48 diantaranya memenuhi syarat dapat mengikuti Pemilu Anggota DPR, DPRD I, dan DPRD II pada Juni 1999 sebagai pemilu pertama di era reformasi. 

Perkembangan partai di era reformasi menjadi salah satu penanda meningkatkan partisipasi masyarakat dalam politik. Namun, meningkatnya jumlah partai di era reformasi ini memiliki tantangannya sendiri. 

Masalahnya, partai-partai mengusung visi dan misi serupa meskipun tak persis sama, pembeda yang jelas antar partai-partai yang ada tak tampak. 

Secara umum, partai belum mengelola dirinya secara modern untuk bisa tetap bertahan. Partai yang tidak mengalami modernisasi akan tenggelam di tengah canggihnya teknologi arus informasi dan globalisasi. Pengelolaan partai secara profesional menjadi prasyarat penting. Karena partai harus bisa meyakinkan publik untuk mendapat dukungannya. 

Partai tidak bisa lagi hanya terpaku pada satu tokoh sentralnya saja, atau partai juga tidak bisa lagi menjual ideologi dan latar belakang sejarah pendiriannya saja. Praktek demokrasi partisipatoris membuat masyarakat relatif lebih teliti dalam memilih partai.

Seluruh kemasan partai menjadi daya tarik bagi masyarakat dalam menentukan partai politik pilihannya. Partai yang kadernya terlibat kasus korupsi dan atau parpol yang mengalami konflik di internalnya akan menurunkan citra partai dan kredibilitasnya. 

Karena itu partai politik harus memiliki sistem pengelolaan partai yang modern agar bisa bertahan di tengah munculnya partai-partai baru dalam iklim demokrasi partisipatoris sekarang ini. Partai juga harus bisa dijadikan rumah bagi persemaian kader. 

Mereka inilah yang nantinya menjadi pemimpin, baik di legislatif, eksekutif maupun yudikatif.

Problematik Partai Politik

Partai politik dihadapkan pada masalah pelembagaan yang cukup serius. Masalah pelembagaan partai politik menjadi isu serius dalam konteks Pemilu legislatif dan Pilpres. 

Antusiasme dukungan rakyat sejak Pemilu 1999 sampai Pemilu 2019 cenderung fluktuatif dan tidak sama. Kerap diwarnai konflik internal, bahkan ada yang berujung pada ‘pembelahan’ parpol. 

Rendahnya kepercayaan publik terhadap parpol karena partai masih mempraktekkan sistem patronase, kolutisme, nepotisme dan kekerabatan. 

Proses pelembagaan partai politik merupakan salah satu agenda penting dalam jangka panjang untuk membangun sistem dan kehidupan kepartaian yang lebih demokratis dan berkualitas ke depan.

Beberapa persoalan partai politik yang ditemui di tataran empirik yaitu:  

1. KEPEMIMPINAN

Kepengurusan partai di tingkat bawah (kab/kota dan kecamatan) lebih banyak diisi oleh mereka yang berumur di bawah 40 tahun. Sementara di kepengurusan lebih tinggi (propinsi dan pusat) cenderung diisi oleh mereka yang berumur diatas 40 tahun. 

Sebagian besar pengurus partai dari tingkat pusat sampai bawah diisi oleh pengurus laki-laki. Semakin ke bawah tingkat kepengurusan cenderung semakin tinggi persentase pengurus laki-lakinya

2. MANAJEMEN SDM

Partai politik relatif telah melakukan investasi SDM dan mengupayakan kepemimpinan politik masa depan melalui upaya rekrutmen, kaderisasi dan promosi. 

Dalam hal rekrutmen, strata kepengurusan bawah menjadi ujung tombak intensitas rekrutmen, yaitu mulai dari desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, propinsi sampai pusat. Partai-partai politik memiliki basis sosial yang relatif sama, dimana kelompok buruh dan perempuan dianggap sebagai kelompok yang paling diprioritaskan untuk direkrut. 

Masih ada sarana rekrutmen anggota partai politik yang belum dipergunakan secara optimal. Tingkat Intensitas Berbagai Medium untuk rekrutmen anggota belum efektif seperti: menyebarkan formulir anggota, pelibatan dlm kegiatan partai, kunjungan ke komunitas, melalui media cetak, melalui website, melalui sms/telepon.

Investasi SDM partai melalui training, budgeting, legal drafting, SAR, public speaking, kewirausahaan, kampanye dan managemen organisasi. Terdapat gap antara model kaderisasi yang dipraktikkan dengan yang dianggap efektif seperti: pelatihan, pembinaan khusus dan penugasan khusus. 

Sebagian besar pengurus partai ingin berkarir hingga menjadi pengurus pusat  partai. Tetapi mereka terhambat oleh masalah senioritas, terbatasnya sumberdaya keuangan dan tidak jelasnya kaderisasi. 

Peran DPP tampak sangat penting dalam penentuan keputusan strategis terkait piplres, pilkada, pencalegan, dan pencalonan jabatan publik. Organisasi partai politik rawan dengan konflik yang disebabkan karena persoalan yang terkait dengan pencalegan, pilkada, dan perselisihan pengurus. 

Ada kecenderungan proses penyelesaian konflik yang terjadi di partai dilakukan melalui kesepakatan informal daripada jalur yuridis atau mekanisme formal lainnya. 

Mekanisme penyelesaian konflik partai politik al bisa melalui kesepakatan informal (islah); pengadilan/mediasi; keputusan pimpinan tertinggi partai; pemberian sanksi spt pemecatan; melalui forum khusus (munaslub, mudaslub dll).

KEUANGAN: APBN/APBD masih menjadi sumber pendanaan terbesar, dan diharapkan pendanaan dari sumber ini semakin membesar ke depan. 

Realitasnya dana yang diterima partai dari Negara (APBN dan APBD) masih lebih besar dari pada sumbangan anggota legislatif. 

Upaya meningkatkan kapasitas kader melalui training atau diklat kaderisasi dengan memperbesar alokasi pengeluaran partai untuk kegiatan ini. 

PERAN EKSTERNAL: Parpol cenderung mengedepankan pendidikan politik tentang visi-misi ketimbang pendidikan kewarganegaraan, wawasan kebangsaan dan/atau keindonesiaan/kedaerahan.

What’s Next?

Dengan tantangan dan masalah yang dihadapi demokrasi di Indonesia, ke depan parpol diharapkan menjadi pilar utama demokrasi yang mampu mereformasi diri dan merespon tantangan dan masalah yang ada secara tangkas dan profesional. 

Perlu mempromosikan nilai-nilai budaya yang kompatibel dan mengeliminasi nilai-nilai  yang tidak kompatibel agar tidak mengganggu proses konsolidasi demokrasi. Perlunya membangun budaya politik yang mampu mendorong proses demokrasi.

Elite dan aktor harus mencerminkan atau merefleksikan (baik dalam tutur kata dan tindakan) nilai-nilai budaya politik yang mulia agar tidak mudah menghalalkan semua cara untuk mencapai tujuannya. 

Perilaku para elite politik yang melanggar hukum dan etika atau melakukan tindak pidana tidak bisa semata-mata ditimpakan hanya kepada mereka saja, tapi juga mesti dikaitkan dengan parpol sebagai institusi. 

Institusi demokrasi, baik kelembagaan formal (seperti partai politik, DPR, DPRD, birokrasi pemerintahan daerah, dan lembaga-lembaga formal lainnya), maupun kelembagaan non formal (seperti lembaga swadaya masyarakat/LSM, ormas agama, organisasi professional, komunitas-komunitas, lembaga-lembaga adat dan perkumpulan-perkumpulan lainnya) perlu diperankan secara maksimal untuk melatih SDM agar mereka ikut mendorong proses terwujudnya demokratisasi yang sehat dan bermartabat.

Sinergi dan pelibatan masyarakat, baik dalam demokrasi dan pemerintahan diperlukan sehingga terjadi pola relasi yang saling memperkuat (empowering) antara pemerintah/pemda dan rakyat. Pentingnya membangun demokrasi ala Indonesia yang dilandasi oleh Pancasila, dan dikawal oleh UUU 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI. 

Demokrasi yang didukung penuh oleh nilai-nilai budaya politik domestik. Yaitu demokrasi yang memiliki rohnya sendiri di bumi pertiwi, dimana rakyat bisa merayakan kepemilikannya dan tak merasa tercerabut dari akarnya.

Penutup

Kasus Indonesia menunjukkan bahwa demokrasi saja tak cukup. Demokrasi dan wawasan kebangsaan harus saling melengkapi. Praktek demokrasi yang tak dilandasi oleh wawasan kebangsaan yang memadai akan membuat demokrasi tak membumi dan menghasilkan model demokrasi prosedural saja.  

Demokrasi akan sarat dengan distorsi ketika nilai-nilai Pancasila dan wawasan kebangsaan dinafikan dan dilupakan oleh para elite dan aktor politik serta masyarakat. 

Semakin besar penafian terhadap nilai-nilai Pancasila dan kebangsaan yang kita miliki dan juga lemahnya penegakan hukum yang ada, maka akan semakin distortif pula praktek demokrasi di Indonesia, sehingga mengakibatkan tidak efektifnya kinerja lembaga eksekutif,  legislatif dan yudikatif. 

Dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika dan dilandasi oleh Pancasila, kita dorong praktek demokrasi yang lebih beretika, berkualitas, sehat dan bermartabat. Praktek demokrasi ala Indonesia yang didukung penuh oleh semua warga masyarakat. Yaitu suatu demokrasi yang mencerminkan perpaduan antara karakteristik dan kekhasan daerah-daerah (kedaerahan) dengan nilai-nilai wawasan kebangsaan (keindonesiaan).

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama