Urgensi Penanganan "ATS" secara Terstruktur, Sistematis dan Masif di Provinsi Sulawesi Barat

 

Kadis, Mithhar menyerahkan Paket Bantuan secara Simbolis kepada Sejumlah ATS didampingi H. Abd. Rahim Pimpinan DPRD Sulbar dan Makhmudi, Ketua MKKS-SMK Kab. Mamuju.



Oleh : Sjahrir Tamsi

Pendidikan di Provinsi Sulawesi Barat tidak hanya menghadapi masalah ketertinggalan dalam capaian hasil belajar, akan tetapi juga tingkat putus sekolah yang masih relatif tinggi.
Setiap tahun terdapat ribuan anak kehilangan kesempatan bersekolah. Ironisnya, Negara menjamin hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang layak sebagaimana dimaksud pasal 31 dalam UUD RI Tahun 1945.

Oleh karenanya, Penanganan Anak Putus Sekolah (ATS) ini perlu dilakukan secara Terstruktur, Sistematis dan Masif bahkan Komprehensif di Provinsi Sulawesi Barat yang Malaqbi agar tetap bisa Berinovasi dan maju terus. 

Penanganan "ATS" merupakan satu diantara Program Strategis Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Barat yakni Program 4+1 yang digagas oleh Pj. Gubernur, Prof. Dr. Zudan Arif Fakrullah, SH. MH. 

Program dimaksud yaitu Penanganan 4 Masalah dan plus 1 Pengendalian Inflasi :
1. Kemiskinan Ekstrim;
2. Stunting;
3. PORTAL-ATS;
4. Kawin Muda (Pernikahan di Usia
    Dini/Remaja) dan;
5. Pengendalian Inflasi.

Berdasarkan laporan progres penanganan ATS oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sulawesi Barat, Dr. H. Mithhar, S.Pd. M.Pd. sampai tanggal 05 Februari 2024, Spesifikasi Data PK21 (BKKBN) tercatat ATS sebanyak 48.105 anak di Provinsi Sulawesi Barat. Berikut uraiannya secara lengkap :
1) Data PK21 (BKKBN) ATS yang telah direkomfirmasi sebanyak 24.230 anak.
Data ATS hasil rekomfirmasi sebanyak 5.624 anak. ATS yang berproses atau kembali bersekolah sebanyak 1.059 anak. ATS yang ditemukan di luar data BKKBN sebanyak 286 anak. 

2) Jumlah data PK21 (BKKBN) ATS yang belum direkomfirmasi sebanyak 23.875 anak.
Adapun rincian Rekonfirmasi Data ATS yang telah dilakukan oleh sejumlah Relawan (Pendidik dan Tenaga Kependidikan) UPTD SMA/SMK dan SLB dari 6 kabupaten se-Provinsi Sulawesi Barat yaitu sebagai berikut :

1) Polman        sebanyak 7.403 anak;
2) Majene        sebanyak 4.897 anak;
3) Mamasa      sebanyak 3.128 anak;
4) Mamuju       sebanyak 4.123 anak;
5) Mateng        sebanyak 1.185 anak;
6) Pasangkayu                  3.494 anak.
Beberapa temuan hasil rekonfirmasi setelah melalui lika-liku kondisi real di lapangan menunjukkan Data Hasil Rekomfirmasi non ATS (Deviasi Data) : usia di atas 18 tahun, telah kembali bersekolah (pernah putus sekolah), meninggal dunia, pindah domisili (tidak diketahui jejaknya), merantau (tidak diketahui jejaknya), data ganda (repetisi), data tanggal lahir salah (belum masuk usia sekolah 7-18 tahun), data tidak dikenali oleh warga setempat, data tidak benar (bukan ATS atau tidak pernah putus sekolah).

Faktor Penyebab ATS dalam rekonfirmasi yaitu : tidak mampu secara ekonomi, bekerja, menikah, akses sekolah jauh, bermasalah di sekolah, disabilitas, dan lain sebagainya. 

Sementara itu, laporan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menunjukkan lebih dari separuh kasus ATS terjadi di Pulau Jawa.

Provinsi Jawa Barat menjadi penyumbang terbesar untuk kasus Drop Out, sebanyak 104.428 anak, disusul Jawa Timur sebanyak 82.544 anak, dan Jawa Tengah sebanyak 53.268 anak, sementara Sulawesi Barat hanya 3.026 anak Drop Out di seluruh jenjang pendidikan (SD, SMP, SMA/SMK).

Data pada tahun 2022, total terdapat 3.847.780 Anak Putus Sekolah. Angka Anak Putus Sekolah ini menambah panjang daftar Anak Tidak Sekolah (ATS) di Indonesia. Berdasarkan data Susenas yang diolah Kementerian PPN/Bappenas RI, pada tahun 2022 anak usia sekolah (7-18 tahun) yang tidak bersekolah mencapai 4.087.288 anak. Angka tersebut meningkat dari 3.939.869 anak pada tahun 2021.

Spesifikasi Data PK21 (BKKN) di Provinsi Sulawesi Barat tercatat ATS sebanyak 48.105 anak. Meskipun partisipasi pendidikan meningkat dari tahun ke tahun, namun tingkat penyelesaian pendidikan masih relatif rendah terutama pada jenjang SMA/SMK/MA/Sederajat. 

Dilaporkan pada tahun 2022, Angka Partisipasi Kasar (APK) jenjang SMA/SMK/MA/Sederajat sebesar 85,49 persen, namun angka penyelesaian pendidikannya hanya 66,13 persen. Hal ini menunjukkan kemampuan bertahan Peserta Didik dalam sistem persekolahan masih rendah.
Sebagian besar anak terpaksa melepas kesempatan bersekolah karena kesulitan biaya sekolah (24,87%) dan bekerja atau membantu orang tuanya mencari nafkah (21,64%). 

Selain masalah ekonomi, terdapat alasan sosial budaya yang mengakibatkan anak tidak bertahan dalam sistem persekolahan, yakni Pernikahan Dini dan menjadi ibu pada usia sekolah (10,07%), merasa Pendidikan Sudah Cukup (9,78%), dan mengurus Rumah Tangga (4,49%).

Sisanya karena alasan lain seperti perundungan, anak berkebutuhan khusus (disabilitas), anak terlantar dan anak jalanan, serta anak berhadapan dengan masalah hukum.
Upaya Penanganan Anak Putus Sekolah perlu melibatkan lintas bidang dan jenjang pemerintahan yaitu :

Pertama, memperkuat peran Pemerintah Daerah, Keluarga, dan Masyarakat sebagai pihak yang berhadapan langsung dengan anak putus sekolah.
Pemerintah daerah sejatinya membangun sistem pengendalian penanganan Anak Putus Sekolah. Pemerintah daerah secara berjenjang sampai tingkat pemerintah desa/kelurahan melakukan "Tracing" dan pendampingan terhadap anak putus sekolah dan berisiko putus sekolah. Anak-anak tersebut harus dipastikan kembali dan bertahan di dalam sistem persekolahan.
Keluarga dan masyarakat perlu mengambil peran dalam memperkuat ketahanan bersekolah bagi para Peserta Didik. Keluarga harus melaksanakan peran dan fungsinya pada anak dengan memberikan perlindungan, kasih sayang, dan pendidikan. 

Kedua, memastikan ketersediaan dan keterjangkauan layanan pendidikan yang berkualitas bagi semua lapisan masyarakat. Infrastruktur pendidikan harus diperluas, terutama di daerah terpencil dan tertinggal.
Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan perlu terus didorong. Selain itu juga penguatan pendidikan non-formal dan pengembangan inovasi pembelajaran berbasis digital untuk memudahkan akses pendidikan.
Ketiga, mengatasi hambatan ekonomi yang mengakibatkan anak putus sekolah dengan memberikan bantuan pendidikan bagi anak dari keluarga tidak mampu. 

Bantuan Beasiswa Program Indonesia Pintar (PIP) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan berbagai bantuan pendidikan lainnya telah mampu memangkas kesenjangan partisipasi pendidikan antara keluarga termiskin dan terkaya.

Namun demikian sistem basis data peserta didik dan kesejahteraan sosial masih perlu diperkuat dan disinkronkan melalui Data Pokok Pendidikan disingkat "DAPODIK" setiap Satuan Pendidikan, untuk memastikan ketepatan sasaran, agar tidak ada anak dari keluarga miskin yang tertinggal dari bantuan pendidikan.
Keempat, menghilangkan hambatan sosial budaya dengan memperkuat sistem sosial kemasyarakatan, untuk membangun mentalitas maju dan mengubah persepsi negatif terhadap pendidikan.

Kasus Anak Putus Sekolah menjadi persoalan serius bagi upaya peningkatan produktivitas dan daya saing sumber daya manusia.
Upaya percepatan penanganan Anak Putus Sekolah hanya dapat dilakukan dengan pendekatan yang lebih komprehensif dan harus senantiasa didukung oleh seluruh komponen bangsa.

Dengan demikian, maka tidak ada lagi Anak Indonesia yang terpaksa menghentikan langkah bersekolah, di saat anak-anak lainnya tetap melanjutkan sekolahnya.
Semoga Penanganan "ATS" di Provinsi Sulawesi Barat ini dapat segera "TUNTAS" : "Lebih Cepat Penangannya dan Tepat Waktu, itu Lebih Baik". (**)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama