"Pemuda Perantau"
Bagian 3 (episode 6)
Editor : W. Masykar
"Kapten Laurent dan Sabiq"
Surat dari Pak Nasikun sangat menyentuh hati Sabiq. Tertulis rasa kebanggaannya kepada Sabiq yang akan merantau ke Kupang. Tentu surat itu menjadi penyemangat bagi Sabiq sebagai penguat tekatnya untuk merantau.
Tanpa diduganya, lamaran yang dulu dikirimkan Sabiq ke kampus-kampus sebelum berangkat merantau ke Jakarta, banyak memberikan balasan. Di antaranya jawaban itu ada yang dari Undana, kampus negeri di kota Kupang NTT. Setelah berfikir dan diskusi dengan teman-teman kost nya, Sabiq memutuskan untuk berangkat ke Kupang, dan sebelumnya berkirim surat ke senior pencak silat di Kupang, Pak Nasikun.
Kejelasan akan diangkat sebagai calon PNS dosen belum ada, yang ada adalah sebagai dosen honorer. Berbekal surat panggilan itu dan juga surat dari Pak Nasikun, diperkuat masukan dari teman-temannya, menjadikan tekat bulat merantau. Sabiq memutuskan berangkat merantau ke Kupang.
Kini Sabiq sudah di Malang dan mempersiapkan akan berangkat merantau ke Kupang. Sabiq teringat perjalanan kisah dirinya, saat minggu lalu masih merantau di Jakarta.
Perjalanannya merantau ke Jakarta saat itu, tidak membuahkan harapan kepastian bagi Sabiq. Sehingga ketika ingat tanggal kepulangan Bambang ke Malang, Sabiq segera mencari bis kota untuk kembali ke Tanjung priok, sehari sebelum kepulangan Bambang ke Malang. Turun di mambo Tanjung priok, pesan itu selalu diingat Sabiq. Perjalanan di bis kota dari Tangerang ke tanjung priok, lagi-lagi Sabiq merenungi pengalamannya dua hari lalu saat numpang tidur di masjid.
Kebahagiaannya sirna ketika tiba di kantor perusahaan, tempat yang Sabiq datangi untuk melamar pekerjaan, karena banyak yang antri di depan pos satpam. Pagi itu, setelah lihat lowongan di koran yang diberikan oleh marbot masjid, Sabiq bergegas berangkat dan tiba di perusahaan pukul 08.30, padahal kantor akan buka pukul 09.00. Terlebih lagi, sebenarnya lowongan itu bukan untuk ijazah Sabiq, ditujukan untuk D3 elektronika, tetapi karena mencari yang benar-benar untuk sarjana fisika tidak ada, maka Sabiq memberanikan diri untuk datang melamar.Awalnya Sabiq mengira bahwa antrian sekitar 11 orang itu bukan terkait dengan lamaran, rupanya iya, mereka semua sedang antri untuk melamar lowongan yang sama dengan Sabiq. Benar-benar di luar dugaan Sabiq. Ya, Jakarta, kota metropolitan menyambut perkenalan pertama Sabiq dengan banyak tantangan. Lowongan baru muncul pagi itu di koran, tetapi yang datang melamar sudah antri.
Sore itu Sabiq kembali ke masjid dan tinggal lagi bersama marbot. Sabiq menceritakan ke marbot tentang kisahnya mendatangi tempat-tempat lowongan yang semua hasilnya nihil. Terbersit Sabiq, apa perlu pakai ijazah SMA atau SMP saja ya. Namun tentu niat itu diurungkannya, karena sebenarnya di Malang, Sabiq sudah bisa mandiri dengan mengajar di tempat bimbel. Malam itu, Sabiq memikirkan langkah-langkah yang akan diambil, apa tetap berusaha di Jakarta atau kembali ke Malang.
Lamunan Sabiq terhenti ketika terdengar kondektur bis berteriak, mengingatkan penumpang yang akan turun di mambo agar bersiap-siap. Sabiq kemudian berdiri di depan pintu depan, siap-siap akan turun. Akhirnya setelah bertemu lagi dengan Bambang, keesokan harinya Sabiq kembali ke Malang bersama Bambang.
Sabiq bersyukur saat itu ada rombongan pencak silat dari Kupang yang akan kembali setelah ada kegiatan di Madiun. Hal itu diketahuinya dari surat Pak Nasikun. Akhirnya Sabiq bersama rombongan sekitar 11 orang naik bis Mira dari Madiun menuju Surabaya. Ke-11 orang itu sangat respek kepada Sabiq, karena Sabiq lebih senior dibanding mereka dalam tingkatan pencak silat.
Di dalam bis, pengalaman menarik terjadi. Saat penjaja makanan dalam bis membagi-bagikan jajanan langsung di atas pangkuan semua penumpang dari depan ke belakang. Seperti itu cara menjajakannya, sambil menyampaikan harga makanan kecil tersebut. Setelah dari belakang maka sambil maju ke depan, penjaja jajanan tersebut menarik kembali jajanan yang tidak dibeli. Beberapa orang dari rombongan dengan santainya memakan makanan kecil tersebut, ketika penjual datang dan meminta uang, mereka marah. Lho khan dikasih, koq disuruh bayar. Entah tidak mendengar atau memang tidak memahami cara penjualan yang seperti itu. Sabiq melihatnya senyum-senyum dalam hati… budaya yang sangat berbeda.
Sabiq teringat saat dirinya merantau ke Jakarta, juga terkagum-kagum dengan kemajuan Jakarta. Sabiq menyadari bahwa kemajuan di Indonesia timur sangat beda. Tampak sekali ketika Sabiq mengamati teman-teman rombongan pencak silat tersebut.
“Kak Sabiq di sini saja tidak usah ikut lari-lari berdesakan, biar beberapa dari kami saja”, kata salah satu anggota rombongan.
“O iya”, jawab Sabiq.
Sabiq dan beberapa teman, masuk kapal dengan biasa sesuai arahan petugas. Sedangkan tiga orang yang tadi sudah lari duluan. Ketika tiba di atas kapal, Sabiq baru mengerti, semua tikar kecil sudah terpasang berjajar, dan telah disiapkan oleh tiga orang yang naik kapal duluan tadi. Perjalanan dari tanjung perak Surabaya ke Pelabuhan Bolok Kupang memerlukan waktu selama 3 malam 2 siang, singgah sekali di Pelabuhan Benoa Denpasar. Untuk pertama kalinya Sabiq naik kapal, apalagi berhari-hari.
Di kapal ada fasilitas restoran, ada kamar-kamar untuk mereka yang siap membayar lebih, ada masjid. Lengkap. Biaya tiket sudah termasuk biaya makan sebanyak 3 kali sehari, standar. Jika ingin makanan lainnya bisa ke restoran dengan membayar lagi. Setiap jadwal makan Sabiq tidak ikut antri, tetapi yang antri adalah adik-adik tingkat pencak silat itu. Semua dibantu oleh mereka.
“Le … nanti temani Ibu belanja ya”, kata Bu Nasikun.
"Nggih Bu", jawab Sabiq.
Salah satu aktivitas Sabiq adalah menemani Bu Nasikun ke pasar belanja sayur. Ibu Nasikun jualan rujak.
Sabiq belum ada kejelasan mengajar mata kuliah apa di kampus Undana, karena Sabiq datang di akhir semester, pembelajaran sudah berproses semua. Maka Sabiq diminta menemui pimpinan jurusan, untuk melapor dan berdiskusi terkait dengan mata kuliah yang diajar.
Minggu berikutnya Sabiq mendapat tugas mengajar dua mata kuliah di fakultas Teknik dan dua mata kuliah di FKIP. Sabiq sebagai dosen muda, sangat bersemangat. Meskipun sebenarnya belum jelas apakah akan diangkat sebagai PNS tahun itu atau bagaimana. Sabiq mendapat honor per bulan 100 ribu rupiah.
Di bulan berikutnya ketika Sabiq menyerahkan uang sewa kontrakan ke Bu Nasikun, ditolak. Justru mereka kasihan melihat Sabiq mendapat honor yang kecil, sementara biaya hidup di Indonesia timur itu lebih mahal. Maka Bu Nasikun pesan agar gaji ditabung saja oleh Sabiq.
“Mas Sabiq tolong diajari Nico ya", kata Pak. Herman, ayah Nico, suatu hari menitipkan ke Sabiq.
“Baik Pak Herman, tidak apa-apa”, jawab Sabiq.
Meskipun sudah mendapat kesibukan dan aktivitas mengajar yang tetap, tetapi karena ketidakjelasan akan masa depan, menjadikan kegelisahan di hati Sabiq. Menjelang jadwal test cpns, dugaan Sabiq benar bahwa tidak ada lowongan untuk cpns dosen bidang fisika.
Sebenarnya semua lingkungan sosial sangat menerima kehadiran Sabiq. Tetapi entah mengapa, perasaan Sabiq tetap saja belum sreg, ada sesuatu yang mengganjal untuk kerasan menetap di Kupang. Entah dari mana perasaan itu, tetapi kuat sekali ketidaknyamanan itu dirasakan Sabiq. Meskipun demikian, Sabiq selalu ikhtiar menghilangkan perasaan itu.
Dalam waktu yang hampir bersamaan, Sabiq menerima telegram dari teman satu kost saat di Malang, Fathur. Mengabarkan bahwa ada beberapa panggilan test cpns, ada panggilan dari 4 kampus berbeda. Surat lamaran kerja yang dikirim Sabiq saat baru lulus dulu dengan berbekal surat keterangan lulus sementara, semuanya menggunakan alamat kost di Malang.(*)