Makna Ihram dan Falsafah Kesetaraan: Haji Menghapus Sekat Duniawi (2)

Ulul Albab 
Ketua ICMI Jawa Timur
Ketua Bidang Litbang DPP Amphuri

Artikel ini adalah bagian kedua dari serial reflektif “Menuju Haji Mabrur” yang dipersembahkan oleh ICMI Jawa Timur dalam rangka menyambut keberangkatan jamaah haji Indonesia tahun 2025. Kali ini kita menyapa pembaca lewat satu simbol paling mencolok dalam ibadah haji, yaitu: ihram. Dua lembar kain putih yang mungkin tampak sederhana, tapi sarat makna dan pelajaran sosial yang luar biasa.

Setiap tahun, jutaan manusia dari seluruh penjuru dunia berdiri di hadapan Ka'bah dengan busana yang sama. Tanpa perhiasan. Tanpa status. Tanpa gelar. Itulah ihram. Perlengkapan ibadah yang justru mencopot segala keangkuhan. Anda bisa jadi pejabat tinggi, konglomerat, akademisi, atau bahkan hanya petani sederhana. Tapi begitu mengenakan ihram, semua kembali ke titik nol sebagai hamba.

Apa yang bisa kita pelajari dari dua kain tak berjahit itu? Pertama, kesederhanaan. Di zaman ketika kemewahan dijadikan simbol keberhasilan, ihram adalah symbol sekaligus sebagai kritik diam-diam terhadap budaya konsumtif. Ihram mengingatkan bahwa untuk dekat kepada Allah, kita tidak butuh atribut duniawi. Kita hanya butuh niat yang lurus dan hati yang bersih.

Kedua, kesetaraan. Inilah pelajaran paling mendalam dari ihram. Dalam kondisi ber-ihram, kita tidak bisa lagi membedakan siapa yang kaya dan siapa yang miskin, siapa yang lulusan luar negeri dan siapa yang belum pernah masuk kampus. Haji adalah panggung ilahi yang meniadakan kasta, menihilkan kelas sosial, dan membongkar kepalsuan simbol. 

Di tengah masyarakat yang sering kali terjebak dalam hierarki, kadang bahkan menyembah gelar dan status, ihram adalah revolusi senyap, revokusi sunyi. Menghapus sekat, menumbuhkan empati, dan mempertemukan semua orang dalam ruang kesucian yang sama.

Ketiga, kesiapan untuk wafat. Tidak sedikit ulama mengatakan bahwa ihram menyerupai kain kafan. Sebelum haji, kita mencopot pakaian yang bias akita kenakan, lalu mengenakan pakaian putih tanpa jahitan, persis seperti saat kita kembali ke tanah. Maka haji adalah latihan kematian. Kita diajak sejenak membayangkan akhir dari segala hal yang kita alami di dunia, dan mempersiapkan diri untuk akhirat.Dalam kondisi ini, ego seharusnya luruh. Kesombongan seharusnya lenyap. Haji bukan hanya perjalanan rohani, tapi juga latihan untuk mati dengan husnul khatimah.

Itulah sebabnya, setelah seseorang mengenakan ihram, ada larangan-larangan ketat yang harus dijaga. Tidak boleh mencabut rambut, tidak boleh membunuh makhluk hidup, tidak boleh bertengkar, dan seterusnya. Karena kita sedang dalam "zona suci", suci secara fisik, juga suci secara batin.

Maka jika ada jamaah haji yang mengenakan ihram tapi masih memaki-maki orang lain, menyikut dalam antrean, atau marah-marah soal makanan? Nah barangkali ia hanya berpakaian ihram, tapi belum masuk ke dalam ruh ihram itu sendiri.

Apakah ruh ihram itu? Ruh ihram adalah penyucian diri. Menanggalkan kesombongan. Menyatu dalam barisan ummat. Menyadari bahwa kita hanyalah titik debu di hadapan Tuhan yang Maha Agung.

Sayangnya, makna-makna ini sering tertinggal di Mekkah. Setelah pulang, baju putih ditanggalkan, status kembali dipakai, gelar disematkan lagi, dan yang lebih mengkhawatirkan: keangkuhan pun dihidupkan ulang. Seolah-olah haji bukan momen pembelajaran, tapi hanya perjalanan.

Padahal, jika ihram benar-benar masuk ke dalam kesadaran, maka seseorang akan pulang dengan kepribadian baru. Ia lebih sadar diri, lebih rendah hati, lebih mudah menyapa dan memeluk sesama. Bukan menjadi manusia yang merasa lebih tinggi karena sudah menyentuh Kakbah. Mencium hajar aswad. Atau melempar iblis dengan kerikil tajam. Hehehehe.

Haji, dan khususnya ihram, mengajarkan satu hal penting: bahwa kita semua setara dalam penghambaan. Maka, tidak ada lagi tempat untuk arogansi dan eksklusivisme. Karena sejatinya, Allah tidak menilai warna pakaian kita, melainkan warna hati kita.Semoga jamaah haji kita tahun ini dapat menyelami makna ihram ini secara utuh. Dan semoga sekembalinya dari Tanah Suci, mereka benar-benar membawa oleh-oleh paling berharga. Apa itu?: akhlak yang lebih bersih, jiwa yang lebih rendah hati, dan semangat kesetaraan dalam kehidupan sosialnya.

ICMI Jawa Timur percaya, bahwa dari haji yang mabrur akan lahir manusia-manusia luhur yang siap membawa nilai-nilai suci ke tengah masyarakat. Dalam doa dan harapan yang sama, semoga kita semua kelak juga diberi kesempatan untuk menjawab panggilan agung itu: panggilan cinta dari langit yang sangat kita rindukan untuk menjadi tamu-tamuNya.(*)


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama