JAKARTA
(wartamerdeka.com) -Masih tingginya tingkat korupsi sepanjang 7 (tujuh)
tahun Pemerintahan Presiden SBY (Soesilo Bambang Yudhoyono), makin menunjukkan
kelemahan pemerintahannya. Hal ini diakuinya
saat menyampaikan pidato pelantikan 12 menteri dan 13 wakil menteri, belum lama ini di
Istana Negara. Presiden beberapa waktu lalu mengatakan, korupsi oleh oknum
pemerintah pusat dan daerah serta di parlemen masih terjadi. “Uang Negara
dirampok oleh mereka yang tidak bertanggungjawab,” ujarnya.
SBY Harus UbahGaya
Kepemimpinan
Menanggapi hal tersebut, Bambang Soesatyo,
anggota Komisi III DPR RI mengatakan, sangat sulit bagi pemerintahan SBY meraih
progress maupun kemenangan besar dalam perang melawan korupsi, mengingat
periode pemerintahannya hanya tersisa tiga tahun lagi. “Sangat sulit karena
sesungguhnya mereka berada tidak jauh-jauh dari lingkar satu kekuasaan," ujarnya
di Jakarta, kemarin.
Menurut Bambang, Presiden SBY secara tidak langsung sudah
mengakui kegagalan pemerintahannya memerangi korupsi.
“Pernyataan Presiden bahwa perampokan uang negara masih
terjadi merupakan indikator kekalahan pemerintah dalam perang melawan korupsi
yang dipimpin SBY,” kata politisi Golkar itu.
Dengan membuat pernyataan seperti itu, Bambang
menegaskan, pemerintah SBY ibarat memercik air didulang terpercik muka sendiri.
Karena itu, katanya, sekarang adalah waktunya untuk
memperbandingkan komitmen SBY tentang pemberantasan korupsi dengan realitas
praktik korupsi dewasa ini. Tujuh tahun lalu, Bambang mengingatkan, Presiden
SBY berjanji kepada rakyat, akan memimpin langsung perang melawan korupsi.
Namun, tepat di tahun ketujuh periode pemerintahannya, SBY justru masih
meratapi perampokan uang negara atau korupsi.
"Artinya, SBY mengakui kegagalannya atas kinerja
pemberantasan korupsi pemerintahannya praktis buruk. Alih-alih mengharapkan
kemenangan dari perang itu, korupsi malah semakin merajalela,” tandasnya.
Dikatakan Bambang, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat,
tidak kurang dari Rp 103 triliun dana pembangunan dirampok.
“Jangan lupa, karena angka itu muncul dari hasil audit,
jumlah itu baru sampling atau dasar untuk merumuskan perkiraan," tegasnya.
Jadi, nilai riil perampokan uang negara bisa mencapai dua, lima hingga 10 kali lipat dari angka sampling
itu.
"Dari perkiraan angka kerugian negara itu, saya
berani menegaskan bahwa komunitas koruptor di negara ini sangat powerfull. Dan
itu tidak mungkin tanpa dilindungi kekuasaan maupun kekuatan parpol tertentu,"
ujarnya.
Maka, berkait dengan kinerja dan komitmen SBY memberantas
korupsi,imbuhnya lagi, dapat disimpulkan bahwa Presiden sesungguhnya tidak
pernah menggelar dan memimpin perang melawan korupsi selama tujuh tahun ini.
Pemerintahan SBY masih menanggapi korupsi sebagai business as usual.
Sementara itu, Roy BB Janis, Ketua
Plh. PKN Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), menyoroti lemahnya kepemimpinan SBY,
yang mengakibatkjan bangsa ini makin terpuruk.
"Bangsa
Indonesia semakin terpuruk
dengan kepemimpinan SBY," ujarnya dalam acara Dialog Kenegaraan DPD RI, bertajuk “Menjaga dan Memperkuat Kemajemukan Bangsa :
Memelihara NKRI”, Rabu (26/10/’11), yang berlangsung di Coffee Corner,
lobby lantai 1, Gedung DPD RI, Senayan, Jakarta .
Bahkan dikatakan Roy ,
lemahnya leadership SBY, mengakibatkan pemerintahan sekarang ini bagaikan pesawat yang terbang tanpa pilot,
alias autopilot government.
“Sehingga sekarang ini mau ngapain aja kita, mau demokrasi kek, mau diem
kek, atau mau ngamuk sekalian kek, tidak bakal diapa-apain. Karena memang kita
nggak merasa punya presiden,” ujarnya memperjelas.
Jadi pantas saja korupsi masih merajalela, masyarakat makin tidak
terurus, daerah bergejolak terus, persoalan bangsa makin banyak, uang rakyat
dirampok, sehingga mengakibatkan bangsa ini makin lama makin terpuruk.
Lebih lanjut Roy yang juga mantan anggota
DPR RI
itu menilai, meski menjabat sebagai Presiden, namun SBY bukan seorang
leadership.
“Sebab seorang pemimpin adalah orang yang bertanggungjawab kepada amanat
rakyat dan tidak mengutamakan pencitraan,” tandasnya.
Adapun Danny Pantas HS, Direktur Eksekutif Lespek (Lembaga Studi dan
Pengkajian Ekonomi Kerakyatan) Indonesia, sangat prihatin atas besarnya nilai
uang rakyat yang ‘dikemplang’ para koruptor.
“Jika hasil audit BPK menunjukkan senilai Rp. 103 triliun dana pembangunan dirampok para
koruptor, maka tak salah jika rakyat makin terpuruk dan makin menjerit,”
ujarnya.
Menurut Danny, jika angka tersebut masih berupa sampling, maka potensi
kerugian makin terbuka lebar, karena jika dikalikan dengan jumlah kasusnya,
maka yang jelas akan mengancam keuangan Negara.
“Negara ini bisa jadi rontok akibat pengeroposan yang ditimbulkan
‘sedotan’ para biadab koruptor yang tidak bertanggungjawab itu. Ujung-ujungnya,
rakyat terus yang selalu menderita,” tandasnya.
Dikatakan pemerhati ekonomi kerakyatan ini, tak ada jalan lain selain
kembali kepada kejujuran mengurus rakyat, dengan memperbaiki mental dan moral,
khususnya para pemangku Negara yang diberi amanah oleh rakyat.
“Jika kondisi ini tidak segera diperbaiki, maka tidak tertutup
kemungkinan Pemerintah SBY akan runtuh sebelum waktunya. Sebab kalau rakyat
miskin yang katanya sudah menurun hingga 30 jutaan (walau kata Bank Dunia masih
100 jutaan) mengamuk karena berebut raskinpun harus ‘cakar-cakaran’, maka
bangsa ini bisa makin bahaya. Revolusi mungkin saja tak terhindari lagi,” ujarnya
mengingatkan.
SBY Harus Ubah
Sebab itu, Roy BB Janis menyarankan, agar
Presiden SBY segera merubah pola yang sudah tidak tepat, dalam memimpin Negara
ini.
“Kalau
saja SBY merubah gaya kepimpinannya, saya yakin bangsa ini tidak akan terpuruk.
Tapi kalau tidak, ya penyelesaian negara ini harus revolusi dalam pengertian
bukan dengan kekerasan, melainkan perubahan dalam struktural dengan mendasar,”
ujarnya.
Selain itu, Roy Janis juga menyinggung soal
reshuffle yang menurutnya kinerja Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II pasca
reshuffle tidak bisa dilihat dari pergantian menterinya. “Tapi tergantung
kepada bagaimana keberanian Presiden SBY sebagai pimpinan kabinet,” imbuhnya.
Roy melihat kabinet sekarang ini diisi oleh tiga
kelompok menteri. Pertama kelompok loyalis SBY, kedua kelompok parpol yang
tergabung dalam koalisi, dan ketiga kelompok profesional.
“Tapi kelihatannya, dari tiga kelompok itu hanya
kelompok profesional yang bisa diandalkan memperbaiki keadaan. Sedang yang
lainnya, tidak ada yang the right man on the right place. Tapi sekali lagi,
semua masih kembali kepada leadership Presiden,” katanya mengakhiri bicaranya.
Sementara itu, menurut Koordinator Divisi
Korupsi ICW, Abdullah Dahlan, masih dipertahankannya Menteri Pemuda dan Olahraga,
Andi Mallarangeng dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Muhaimin Iskandar
dengan jelas menunjukkan bahwa Presiden Yudhoyono tak punya agenda atikorupsi
dalam perombakan ini.
“Ini menunjukkan SBY tidak memiliki komitmen
dan konsistensi atas agenda pemberantasan korupsi,” ujar Abdullah di Jakarta,
Rabu pekan lalu. (DANS)