Polda Metro Mulai Periksa Kasus Majalah Indonesia Tatler

Ello Hardiyanto

JAKARTA (wartamerdeka) - Ello Hardiyanto (63), warga Jalan Guntur Jakarta Selatan Rabu (1/11/2017) diperiksa penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditkrimsus) Polda Metro Jaya. 


Ello diperiksa untuk menyampaikan keterangan atas pengaduannya pada 17 Oktober 2017 terkait dugaan tindak pidana penggelapan asal-usul orang dan tindak pidana yang dilakukan secara bersama oleh beberapa orang yang menyebarkan berita bohong dan menyesatkan, baik melalui media cetak maupun elektronik.

Ello didampingi oleh advokat Dr Ir Albert Kuhon, MS, SH bersama Iskandar Siahaan SH dan Alfon Sitepu SH. Dalam pemeriksaan Ello menjelaskan bahwa Majalah Indonesia Tatler versi cetak Edisi Maret 2017 dan versi online Edisi Maret 2017, mempublikasikan sebuah foto yang berisi gambar perkawinan antara Adams Selamat Adi Kuasa Hardiyanto dan Clarissa. 

Resepsi pernikahan itu berlangsung 15 Januari 2017 di Hotel Mulia, Jakarta Pusat.

Foto di majalah itu disertai teks dalam bahasa Inggris yang pada pokoknya berbunyi “kedua mempelai bersama kedua orangtuanya masing-masing”. 

Isi foto itu terdiri dari enam figur, di tengah berdiri Adams Selamat Adi Kuasa Hardiyanto dan Clarissa (mempelai), paling kiri figur Yansen Dicky Suseno dan Inge Rubiati Wardhana (orangtua Clarissa), dan di paling kanan figur yang bertindak seolah-olah sebagai orangtua Adams.

“Ello maupun istrinya sama sekali tidak ada dalam foto itu,” tutur Albert Kuhon.

Ello Hardiyanto (dan Gina) adalah orangtua kandung Adams. Berita dan foto mempelai Adams bersama ‘orangtuanya’ yang dimuat oleh Majalah Indonesia Tatler edisi Maret 2017 itu membuat banyak temannya bertanya-tanya. 

Awal Mei 2017 Ello menghubungi pihak Majalah Indonesia Tatler untuk melakukan koreksi berdasarkan hak jawab yang Ello miliki sebagaimana dijamin oleh UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pihak Majalah Indonesia Tatler awal Mei 2017 menyanggupi dan menjanjikan melakukan koreksi (ralat) atas berita foto itu dalam edisi berikutnya.

Tetapi, ternyata, janji mereka tidak dipenuhi, sehingga Ello akhir Juli 2017 mengadukan kasus itu ke Dewan Pers. Dewan Pers dalam Penilaian Pernyataan dan Rekomendasi No 26/PPR-DP/X/2017 tertanggal 9 Oktober 2017 tentang Pengaduan Ello Hardiyanto terhadap Majalah Indonesia Tatler, menegaskan bahwa Indonesia Tatler bukan diterbitkan oleh perusahaan pers. Selain itu, PPR Dewan Pers juga menyatakan Majalah Indonesia Tatler tidak menjalankan fungsi pers sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 6 UU No 40/1999 tentang Pers.

Ternyata, sampai awal November 2017 ini pihak Majalah Indonesia Tatler masih menjual Majalah Indonesia Tatler yang berisi foto itu dijual melalui aplikasi berbayar Magzter, Wayang, Scoop, PressReader dan lain-lain. 

Ello menduga terjadi persekongkolan antara pihak Majalah Indonesia Tatler dan pihak-pihak yang menjadi figur dalam foto itu, maupun pihak-pihak yang menyuruh peliputan dan yang memberi keterangan kepada Majalah Indonesia Tatler; untuk secara bersama-sama menggelapkan asal-usul keturunan anak kandungnya yang bernama Adams. 

Karenanya, Ello mengadukan pimpinan dan anggota Redaksi Majalah Indonesia Tatler baik versi cetak maupun versi online, pihak yang menyuruh peliputan atau publikasi foto itu, serta orang-orang yang ada dalam foto tersebut.

Advokat Albert Kuhon menjelaskan, tindakan yang dilakukan pimpinan dan anggota Redaksi Majalah Indonesia Tatler secara bersama-sama atau penyertaan (delneming) tersebut apat digolongkan sebagai pidana penyebaran berita bohong dan menyesatkan. Juga dapat digolongkan sebagai penyebaran berita bohong dan menyesatkan melalui transaksi elektronik, transmisi atau pendistribusian informasi dan dokumen yang menyebabkan pencemaran nama baik melalui transaksi elektronik, serta penggelapan asal-usul orang.

Menurut Kuhon, pihak Redaksi Majalah Indonesia Tatler versi cetak diduga melanggar Pasal 5 ayat (1) Undang-undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers yang berbunyi Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah; dan ayat (2) yang  berbunyi: Pers wajib melayani Hak Jawab; serta ayat (3) yang berbunyi Pers wajib melayani Hak Koreksi. Redaksi Majalah Indonesia Tatler juga melanggar Pasal 18 Ayat (2) Undang-undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers yang berbunyi Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 Ayat (1) dan Ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 500.000.0000 (lima ratus juta rupiah).

Kuhon menjelaskan juga, pengelola Majalah Indonesia Tatler versi online bisa diduga melanggar Pasal 28 Ayat (1) jo. Pasal 45A  Ayat (1) Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sebagaimana telah diubah oleh Undang-undnang No. 19 tahun 2016 yang berbunyi: Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah); dan/atau Pasal 27 Ayat (3) jo. Pasal 45 Ayat (3) UU ITE yang berbunyi: Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)  tahun dan/atau denda paling banyak Rp 750.000.000 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

Selain itu, menurut Kuhon, Redaksi Majalah Indonesia Tatler dan pihak-pihak lain yang terlibat juga melanggar Pasal 277 Ayat (1) KUHP yang berbunyi: Barang siapa dengan salah satu perbuatan sengaja menggelapkan asal-usul orang, dicancam kerena penggelapan asal-usul, dengan pidana penjara paling lama enam tahun; dan Pasal 277 Ayat (2) yang berbunyi: Pencabutan hak berdasarkan Pasal 35 No. 1 – 4 dapat dinyatakan. Pasal 35 No. 1- 4 antara lain berisi hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu.

Khusus untuk sosok yang bertindak seolah-olah sebagai orangtua Adams Selamat Adi Kuasa Hardiyanto, telah melanggar Pasal 278 KUHP yang berbunyi: Barang siapa mengakui seorang anak sebagai anaknya menurut peraturan Kitab Undang-undang Hukum Perdata, padahal diketahuinya bahwa dia bukan ayah dari anak tersebut, diancam karena melakukan pengakuan anak palsu dengan pidana penjara paling lama tiga tahun.

Dalam tindak penyertaan itu masing-masing melakukan peran dan perbuatan sendiri-sendiri sesuai kategori yang dirumuskan dalam Pasal 55 Ayat (1) ke-1 dan ke-2, Pasal 55 Ayat (2), dan Pasal 56 ke-1 dan ke-2 KUHP. (ar)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama