Tanah SMAN 2 Rantepao Terancam Disita, Warga Toraja Peringatkan MA


JAKARTA (wartamerdeka.info) – Kasus sengketa tanah SMA Negeri 2 Rantepao, dan beberapa bangunan fasilitas pelayanan publik Pemda Toraja Utara (Torut) di Sulawesi Selatan, yang terancam disita oleh penggugat yang mengklaim sebagai hak miliknya, berbuntut panjang. Para penggugat itu diduga ada keterkaitan keluarga dengan oknum petinggi Mahkamah Agung (MA).

Gerakan Toraja Peduli Keadilan (Gertak) yang beranggotakan sejumlah TOKOH MASYARAKAT dan PENGACARA yang berasal dari Toraja, marah dan menduga keras telah terjadi praktik peradilan sesat dalam kasus sengketa tanah SMA Negeri 2 Rantepao di Torut.

GERTAK menduga Para Penggugat menggunakan pengaruh jabatan selaku pejabat Mahkamah Agung RI yang juga salah satu ahli waris Haji Ali. Untuk itu, GERTAK siap memberikan bantuan hukum dan siap mengawal upaya hukum Kasasi yang sedang berproses di MA, demi tegaknya hukum keadilan.

Para penggugat  masing-masing Mohamad Irfan, Hj Fauziah MM, Hj Tjeke Ali dan Hj Heriyah Ali BA yang tak lain masih ada hubungan keluarga dengan  pejabat tinggi  Mahkamah Agung RI. Para Penggugat diduga telah menggunakan pengaruh dan jabatan petinggi Mahkamah Agung RI tersebut untuk kepentingan perkara ini.

Pasalnya, Pengadilan Negeri Makale yang menyidangkan kasus tanah tersebut, memenangkan penggugat tanpa bukti-bukti yang autentik. Bukti-bukti kepemilikan yang diajukan dalam persidangan hanya berupa foto copy dan kesaksian yang didengar dari orang lain, alias Testimonium De Auditu.

Anehnya, putusan peradilan yang dinilai sesat itu justru diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Makassar dengan putusan No 190/PDT/2018/PT MKS.

Keputusan hukum dua lembaga peradilan tersebut, membuat marah besar warga Toraja termasuk para alumni SMA Negeri 2 Rantepao. Warga Toraja menilai Pengadilan Negeri Makale dan Pengadilan Tinggi Makassar telah melakukan peradian sesat, karena memutuskan perkara hanya berdasarkan bukti foto kopi dan kesaksian de auditu (saksi yang hanya mendengar dari orang lain).

Dalam amar Putusannya Pengadilan Negeri Makale yang diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Makassar memerintahkan Pemda Torut cs/ Para Tergugat untuk mengsongkan tanah objek sengketa dan membayar ganti rugi materil dan immateriil sebesar Rp.650.000.000.000,- (enam ratus lima puluh milyar rupiah). Ini hampir setara dengan setahun APBD Kabupaten Toraja Utara.

“Ini sangat berbahaya dan melecehkan keadilan serta masyarakat Toraja  karena seharusnya Pengadilan menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan. Ini praktik peradilan sesat, karena itu masyarakat Toraja melakukan perlawanan keras,” tegas Ketua Gertak Pither Singkali SH, MH. kepada wartawan di Jakarta, Kamis (8/11/2018).

Untuk itu, Gertak sebagai wakil masyarakat Toraja termasuk para alumni SMA Negeri 2 Rantepao, dan juga selaku kuasa hukum Pemda Toraja Utara memperingatkan Mahkamah Agung RI yang akan menangani kasasi ini agar tidak ikut melakukan peradilan sesat.

“Siapa pun termasuk oknum petinggi di MA yang mencoba bermain api mengintervensi kasus ini akan menghadapi perlawanan besar dan keras dari masyarakat Toraja,” tegas mantan aktivis Gerakan Pemuda dan Mahasiswa Toraja (Geppmator) ini.

Sementara itu, Wakil Ketua Gertak Daniel Tonapa Masiku, SH menambahkan, ini preseden buruk bagi penegakan hukum dan keadilan. Kasus yg terjadi di Toraja Utara maupun Tana Toraja ini jangan sampai terjadi ditempat lain. Masyarakat Toraja punya harga diri dan martabat yang tidak boleh direndahkan oleh siapa pun juga dan apa pun jabatannya.

Apalagi, kata Daniel, tanah SMA Negeri 2 berikut fasilitas umum lainnya adalah tanah negara yang dikuasai oleh pemerintah untuk fasilitas dan kepentingan umum sejak zaman Belanda. Tanah adat itu tidak ada yang boleh mengklaim sebagai milik pribadi, kecuali negara yang telah menerima penyerahan. Kalaupun itu digunakan sebagai arena pacuan kuda pada zaman Belanda maka secara otomatis menjadi milik Pemerintah RI.

"Mana ada perorangan di Zaman Belanda yang memiliki arena Pacuan Kuda," timpalnya.

Menurut Sekretaris Gertak, Marthinus Monod, dan dibenarkan Muhammad Sattu Pali, Koordinator Divisi Aksi Gertak, kasus sengketa tanah SMA Negeri 2 Rantepao, tidak hanya menyangkut kasus perdata, tetapi juga ada unsur pidana.

Sebab, ada dugaan kuat, pihak penggugat yang telah dimenangkan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, hanya berdasarkan data-data yang diragukan kebenarannya tapi jadi bukti serta keterangan saksi. Hal ini bisa dituntut secara pidana dengan sangkaan menggunakan surat palsu, dan atau memberikan keterangan atau sumpah palsu.

Untuk itu, tegas Pither dalam rilisnya yang disampaikan ke redaksi media ini, selain menempuh langkah hukum melalui kasasi ke MA, Gertak juga akan melakukan gerakan non ligitasi. Gertak juga akan segera melaporkan para pihak yang terlibat membantu penggugat memenangkan perkara ini mulai dari para saksi, pengacara, dan hakim Pengadilan Negeri Makale serta Pengadilan Tinggi Makassar.

Vinsenius H. Ranteallo, anggota Gertak pun mempertanyakan pertimbangan hukum Pengadilan Negeri Makale dan Pengadilan Tinggi Makassar dalam kasus ini. Betapa tidak, mereka memutuskan perkara tanpa didukung pertimbangan hukum dan bukti yang memadai.

Hakim hanya menyimpulkan berdasarkan bukti foto kopi dan keterangan saksi yang dalam persidangan mengakui hanya mendengar dari orang lain (testimonium de auditu), bukan menyaksikan atau mendengar langsung. Foto kopi dan testimonium de auditu tidak memiliki nilai pembuktian menurut hukum. (mrb-tom)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama