Sebut Hasil Rapat Paripurna Hoaks, Presiden LIRA: Kadir Halid Sudah Sebarkan Informasi Sesat, Itu Melanggar UU ITE

PKS: Kadir Halid Sudah Permalukan Diri Sendiri

Presiden LIRA HM Jusuf Rizal (kanan) bersama Jenderal TNI (Purn) Moeldoko
MAKASSAR (wartamerdeka.info) - Sesaat setelah membacakan keputusan akhir pada Rapar Paripurna, Jumat (23/08/2019), Ketua Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulawesi Selatan, Kadir Halid mengumpulkan awak media dan mengkonfirmasi bahwa tidak ada yang bisa mengubah keputusan Pansus Hak Angket meskipun itu datang dari pimpinan DPRD.

Hal itu diucapkan Kadir Halid menanggapi pernyataan Wakil Ketua DPRD Sulsel, Ni’matullah yang sebelumnya membantah rekomendasi Hak Angket versi Kadir Halid.

Kadir Halid bahkan menyebut bila ada rekomendasi lain di luar yang dia sampaikan adalah hoaks. Karena, katanya, dia tidak menandatangani rekomendasi versi pimpinan dewan. “Itu hoaks. Iya biar pak Ulla (Ni’matullah) yang bilang, siapa bilang ini yang disepakati. Saya disodori untuk tanda tangan tapi saya tidak mau,” jelas Kadir Halid.

Menanggapi sikap Ketua Pansus, Kadir Halid tersebut, Presiden Lembaga Swadaya Masyarakat Lumbung Informasi Rakyat (LSM LIRA), HM Jusuf Rizal mengatakan bahwa Kadir Halid sudah melakukan kebohongan publik dan bisa dilaporkan karena menyebarkan informasi yang tidak benar.

“Karena informasi yang disebarkan adalah untuk kepentingan publik. Lalu, point yang disepakati di Rapat Paripurna bahwa tidak ada unsur pemakzulan dan sudah disepakati oleh mayoritas fraksi, itu menjadi keputusan politik, tidak lagi menjadi keputusan pansus,” jelas Jusuf Rizal yang diwawancarai, Jumat (23/08/2019).

Kesepakatan bersama pada Rapat Pimpinan yang bisa memutuskan adalah Rapat Paripurna DPRD. Maka, lanjut dia, otomatis hasil pansus itu sebenarnya gugur demi hukum.

“Hasil pansus itu disampaikan di paripurna di DPRD. Dan yang membuat rapat paripurna adalah DPRD. Setelah meneliti, mempelajari, melihat ini, dan mempertimbangkan berbagai macam hal, maka Rapat Paripurna mengambil keputusan, maka itu adalah keputusan final,” paparnya.

Dijelaskannya, adalah salah kalau kemudian Kadir Halid memberikan keterangan yang masih pada isi rekomendasi pansus. Maka, Kadir Halid bisa disebut sudah melakukan kebohongan publik.

“Jadi, itu berarti Kadir Halid sudah melakukan kebohongan dan menghianati hasil keputusan rapat paripurna. Karena keputusan tertinggi kan bukan keputusan pansus, tetapi keputusan rapat paripurna. Dan yang mengetuk palu adalah Ketua DPRD, bukan Ketua Pansus. Ketua Pansus itu kan yang dibikin oleh DPRD dan dia harus menyampaikan dan mempertanggungjawabkan hasil pansusdi rapat paripurna,” ujar Jusuf Rizal menjelaskan.

Selanjutnya, kata Jusuf Rizal, Rapat Paripurna kemudian memutuskan dan hasil keputusan itu adalah keputusan tertinggi, bukan keputusan pansus. “Bila pada akhirnya Kadir Halid membantah sendiri apa yang sudah dia bacakan di Rapat Paripurna, artinya Ketua Pansus melakukan kebohonan publik. Jadi, dia mentransformasikan informasi yang tidak benar. Dia bisa dianggap melanggar Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dan itu patut diproses hukum,” tegasnya.

Hal lain, keputusan tertinggi DPRD itu ada di Rapat Paripurna dan menjadi keputusan final. “Maka, kalau ada keputusan di luar itu patut diduga sebagai penyebaran informasi kebohongan dan memutarbalikkan fakta. Kadir Halid sudah memberikan informasi sesat, dia sudah memanipulasi keputusan Rapat Paripurna yang diketok palu oleh Ketua DPRD. Itu dapat merugikan kepentingan umum termasuk kepentingan gubernur maupun wakil gubernur,” katanya.

Bila nanti beredar point-point yang dibuat oleh pansus, itu berarti pansus melanggar karena bukan hak pansus lagi untuk memberikan keterangan setelah ada keputusan Rapat Paripurna. “Pansus Hak Angket itu secara otomatis, gugur. Sebaiknya Kadir Halid jangan ngomong apa-apa lagi. Jadi saya melihat memang ada grand design yang ingin memakzulkan gubernur. Ada itikad tidak baik secara politik ingin melengserkan gubernur untuk kepentingan kelompok-kelompok tertentu,” pungkasnya.


Kadir Halid Mempermalukan Diri Sendiri

Sebelumnya, Anggota Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket DPRD Sulsel dari Fraksi Partai Keadilan Sosial (F-PKS), Aryadi Arsal mengatakan, Rapat Pimpinan (Rapim) DPRD yang dilanjutkan dengan Rapat Paripurna pada Jumat (23/08/2019) menghasilkan keputusan spektakuler.

Dikatakan Aryadi Arsal, dirinya berada pada posisi tidak menghadiri Rapat Paripurna dengan dua fraksi lain, yakni F-PDIP dan F-PAN. “Kami berterimakasih karena yang dipakai itu adalah hasil kesepakatan di rapat pimpinan. Alhamdulillah, justru yang dibacakan di paripurna adalah yang sudah disepakati pada rapim,” tegasnya.

Bila pada akhirnya, Kadir Halid membantah apa yang dia bacakan sendiri di Rapat Paripurna dengan alasan tidak menandatangani hasil rapim, tapi dua orang pimpinan lain sudah menandatangani.

“Kalau itu disebut hoaks, tapi sudah diparipurnakan, justru yang hoaks itu adalah yang belum diparipurnakan, tapi sudah disebar. Nah, kan dia sendiri yang membacakan dan rekamannya juga sudah beredar. Lalu yang hoaks itu yang mana. Kan yang membacakan Pak Kadir Halid dan yang menyerahkan ke pimpinan juga Pak Kadir Halid,” jelasnya.

Aryadi Arsal menilai, sikap Ketua Pansus Kadir Halid tersebut bisa jadi karena masih mengacu kepada tujuh (7) point yang dibuat sebelum rapat pimpinan digelar, Jumat (23/08/2019) pagi.

“Saat rapat pimpinan, Pak Kadir Halid hadir dan hampir sebagian besar fraksi menolak yang tujuh point itu. Kalau saat rapim dia masih memaksakan yang tujuh point itu, harus dilakukan voting. Kalau tidak bisa musyawarah dan mufakat kan harus voting, itulah yang namanya demokrasi,” tegasnya.

Jadi, kata Aryadi Arsal, rapat pimpinan itu menyepakati dua point di kesimpulan dan satu rekomendasi. “Itulah yang dibawa ke rapat paripurna. Hanya memang kami bertiga (PKS, PDIP, dan PAN) memang tidak masuk ke rapat paripurna karena belum menerima dokumen yang sudah ditandatangani oleh dua orang wakil ketua,” jelasnya.

Sikap yang ditunjukkan oleh Kadir Halid di muka umum menurut Aryadi Arsal sudah mempermalukan dirinya sendiri. “Kan dia yang membacakan hasil rekomendasi dan yang menjadi kesimpulan bersama, dia yang menyerahkan, kemudian disebut itu sebagai hoaks. Kan aneh. Justru yang hoaks itu adalah dokumen yang tidak dibacakan di paripurna. Dia tidak boleh bilang hoaks. Itu rapat paripurna yang dihadiri oleh semua pimpinan dan dia sendiri yang membacakan,” papar Aryadi Arsal.

Menurut Aryadi Arsal, DPRD selayaknya harus menjawab ini karena ini adalah marwah lembaga.

Berikut dua versi rekomendasi Hak Angket:

VERSI RAPAT PIMPINAN

A. Kesimpulan
1. Ada dualisme kepemimpinan pada pemerintahan Sulawesi Selatan.

2. Ada dugaan kuat berdasarkan indikasi yang ditemukan dalam penyelidikan dan fakta-fakta persidangan panitia angket, menemukan telah terjadi pelanggaran Ketentuan dan perundang-undangan Serta adanya potensi kerugian negara.

B. Rekomendasi

Menyampaikan laporan ini tentang kesimpulan dan temuan-temuan dari panitia angket ke pimpinan DPRD Provinsi Sulawesi Selatan untuk ditindaklanjuti kepada pihak-pihak yang terkait yang dianggap perlu dan berwenang sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

VERSI KADIR HALID

1. Meminta kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk memeriksa, mengadili dan mengutus terhadap pelanggaran perundang-undangan yang dilakukan oleh Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan.

2. Meminta kepada aparat penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, KPK) untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap dugaan tindak pidana.

3. Meminta kepada Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia agar mengambil langkah-langkah normalisasi sistem manajemen dan tata kelola pemerintahan di Provinsi Sulawesi Selatan.

4. Meminta kepada Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan untuk memberhentikan dari jabatannya nama-nama terperiksa yang terbukti secara melawan hukum melakukan perbuatan penyalahgunaan wewenang, pelanggaran prosedur dan substansi, yakni: Asri Sahrun Said, Reza Zharkasyi, Bustanul Arifin, Muh Basri, Sri Wahyuni Nurdin, Taufik Fachruddin, serta Salim AR.

5. Meminta kepada Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan agar melakukan pembubaran Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) dan Staf Khusus Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan.

6. Meminta kepada Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan agar mengembalikan Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama (JPT) pada posisi semula yang diberhentikan karena tidak sesuai prosedur dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

7. Meminta kepada DPRD Provinsi Sulawesi Selatan untuk menetapkan pendapat DPRD tentang adanya indikasi pelanggaran undang-undang yang dilakukan oleh Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan. (A)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama