Jelang Pilkada Lamongan: Dramaturgi, Membangun Mimpi, Merias Diri


Oleh: W. Masykar

Setiap pemilu teriak wakil rakyat...mohon doa restu segala...namun saat giliran sudah dapat kursi....benarkah mewakili rakyat...( postingan, FB,  Emha fariedz). Bisa jadi sebuah ungkapan perasaan kecewa,  "jengkel" dengan mereka yang pernah dia dukung pada saat pencalonan (bisa anggota DPR/D, Pilbup/Pilgub atau Pilpres) namun pada konteks ini, terasa arahnya ke pilkada.

Mungkin dia, ingin menyampaikan dengan bahasa yang lugu dan lugas, begini, "lho kemana para anggota dewan yang kemarin hampir setiap hari, setiap detik , bahkan tidak tidur sekalipun hanya untuk menemui orang orang di warung, di gardu atau kumpulan ini, itu, tapi sekarang yang sudah jadi lagi kemana ya?, sehingga jangan jangan pada pilkada nanti juga seperti ini!." 

Menjelang pilkada serentak, sekarang sejumlah balon tengah gencar gencarnya menggalang dukungan. Siapapun balonnya terus bergerak menggaet simpati warga masyarakatnya.

Semua, mengumbar janji janji,  manis. Mereka terus memberi mimpi mimpi ditengah kegalauan menunggu kendaraan yang bakal merekomendasi untuk memuluskan jalan.

Sampai disini, saya teringat cuplikan berikut: "Parpol dan politisi tampak seperti remaja dengan masa puber tak berujung.
"Setiap menjelang pemilu sibuk tebar pesona untuk cari dukungan dan pasangan. Gayanya bagaikan Jablay yang rindu akan belaian dan cumbuan. Wajar karena desakan syahwat berkuasa kuat menggelora. "

"Ada yang seperti kakek-kakek minim pendengaran dan penglihatan (buta dan tuli terhadap penderitaan rakyat), layaknya kurang gizi dan loyo bekerja (mangkir melulu dan jarang hadir pada sidang-sidang di DPR). "

Kutipan di atas, dari tulisan Ikrar Nusa Bakti, seorang Peneliti senior di LIPI, yang  menunjukkan betapa parpol dan politisi di Indonesia berbuat yang abnormal menjelang dan seusai pemilu.

Dalam istilah kerennya, terjadi anomali politik. Kini, pilkada serentak didepan mata. Sejumlah balon terus lagi mengumbar janji janji. Merangkai setiap kata menjadi sebuah kalimat, kadang penuh iba, kadang penuh drama.

Memoles wajah tampak lugu merakyat, dan kadang bahkan "memelas". Gesturnya mengesankan pejuang untuk rakyat dan berkiprah untuk masyarakat.

Orasinya penuh bombastis sekadar ingin meninggalkan kesan meyakinkan rakyat. Setiap tampilan didramatisir sedemikian rupa, dipoles agar rakyat semakin yakin bahwa dia adalah pemimpin yang merakyat dan untuk rakyat. Dramatisasi itu, kelihatan mampu menghipnotis banyak orang yang melihatnya. Sebuah pentas sandiwara.

Mereka terus membangun mimpi, memoles diri.

Demikianlah pentas politik yang bernama pemilu/pilkada diselenggarakan layaknya sebuah panggung drama dengan beragam ilustrasi diri. Gambar, kata kata dan berbagai atribut lainnya dengan lanskap pembangunan yang belum selesai, bahkan jalanan berdebu dan berlobang sebagai panggung yang gegap gempita.

Lalu para tokoh bermunculan tanpa sama sekali memiliki kemampuan berperan, dan bahkan belum banyak dikenal masyarakat dengan membawah aneka jargon demi rakyat, demi perubahan yang lebih baik. Seolah ingin mengatakan, bahwa penguasa saat ini belum berhasil merubah tatanan perubahan yang diinginkan warga masyarakatnya.

Inilah sesungguhnya arti lain dari sebuah pesta demokrasi bernama pemilu/pilkada. Laksana sebuah pertunjukan teatrikal yang pada dasarnya ”seolah-olah” dan "seakan-akan."

Perilaku yang anomali ibarat dramaturgi, sesuatu yang semu laksana permainan sandiwara di panggung. Dramaturgi kata Erving Goffman dalam Presentation of Self in Everyday Life (1959), seseorang akan melakukan presentasi diri di depan pentas yang serba-ter-dan dimanipulasi, baik diri maupun segala aksesorisnya, sehingga  khalayak umum merasa puas. Sementara, di belakang panggung, semua drama di pentas itu diatur dan dimanipulasi sedemikian rupa, yang tentu saja publik tidak mengetahui perangai yang sesungguhnya.

Dalam panggung yang penuh dekorasi dan acsesoris itulah sandiwara dengan  beragam "Lakon" perilaku aktor yang penuh dengan topeng dipertunjukkan.

Dalam ranah politik, dramaturgi menjadi pemandangan umum yang dianggap lazim. Para elite memainkan banyak peran kontroversial di khalayak publik. Seperti tebaran janji janji manisnya. Mereka mencari legitimasi seputar inkonsistensi sikap politiknya pada adagium “politik seni dari banyak kemungkinan” atau “politik itu dinamis”.

Sekarang bicara A, besuk B, lusa bisa S, yang lantas menjadi ABS, asal bapak senang. Atau asal pendukung senang.

Aktor politik terbiasa berdramaturgi, apa yang ada di lisan lain pula dalam tindakan. Politik pun tidak jarang menjadi  sarat muslihat, lain di depan lain di belakang. Politik lantas kehilangan nilai kejujuran, trust , dan sikap kenegarawanan/kedewasaan Politisi yang baik dikakahkan oleh aktor-aktor kontroversial yang tampak gagah.

Apalagi, ketika dramaturgi memasuki era  media sosial. Medsos atau media daring hari ini, menjadi arena dramaturgi paling heboh dan penuh kemeriahan. Perebutan kepentingan politik dan berbagai tafsir politik bahkan sampai agama terus bertebaran tanpa ujung. Dengan demikian, kita akan semakin cerdas ketika harus menghadapi perhelatan pilkada (Lamongan) September mendatang. Banyaknya balon tidak menjadikan kita kesulitan untuk menentukan arah dukungan, setidaknya, siapa diantara mereka yang sudah dirasakan kiprahnya? Itulah, yang sekurang kurangnya sudah memenuhi sebagian janjinya.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama