Pelanggaran Pemilu Banyak Terjadi, KPU dan Bawaslu Toraja Utara Dinilai Mandul

Tommy Tiranda, Anggota Panwaskab Tana Toraja Era 2005
TORAJA UTARA (wartamerdeka.info) - Tahapan Pemilu 2019 masih berlangsung. Pilpres dan Pileg sebagai rangkaian pelaksanaan Pemilu, membawa banyak cerita mulai dari kampanye, pemungutan suara hingga penghitungan suara.

Banyak hal terjadi yang merupakan dugaan pelanggaran atau penyimpangan dilakukan peserta pemilu (caleg) maupun pihak penyelenggara.

Khusus di Toraja Utara, dugaan pelanggaran atau penyimpangan itu terjadi sporadis dan berdampak sistemik terhadap semua tahapan.

Dimulai sejak kampanye hingga H-1. Bahkan, dari pantauan di lapangan, muncul laporan money politik dari warga masyarakat setempat dan sesama caleg. Seperti terjadi di Kecamatan Nanggala dan beberapa tempat lain.

Money politik yang ditemukan tidak hanya berupa uang tapi juga sarung, jam dinding atau semacamnya.

Berbagai kasus politik uang ini diteruskan ke Bawaslu Torut namun proses tindaklanjutnya tidak jelas.

Tampaknya tidak ada ketegasan dari pihak Bawaslu setempat. Bawaslu Torut hanya cenderung berspekulasi memberi alasan pembenaran untuk menutupi ketidakmampuan atau karena sesuatu yang lain. Semisal, pada proses pemungutan suara dan hasil penghitungan suara.

Alhasil, sebagian caleg ada yang merasa tidak puas dan melayangkan keberatan. Mereka meminta pihak penyelenggara di tingkat PPS dan PPK membuka C1 Plano pada saat penghitungan suara. Namun permintaan ini tidak digubris pihak PPS dan PPK. Ini terjadi di sejumlah TPS di Dapil 1 khususnya di Kecamatan Tallunglipu.

"Hampir semua parpol atau caleg minta C1 Plano dibuka, hanya 1 yang tidak setuju tapi kok yang satu justru diikuti maunya ada apa," ujar seorang caleg dari Partai Berkarya tanpa menyebut nama parpol dan caleg dimaksud.

Ironisnya, dalam proses pemungutan suara terjadi penghilangan hak pilih warga. Ini berlangsung di TPS 6 Kelurahan Laang Tanduk, tepatnya di Tongkonan Pe'da. Sejumlah warga yang masuk dalam DPTb tidak diberi hak memilih untuk Pilpres.

Para warga ini datang dari luar Toraja, seperti dari Papua dan Morowali. Dengan E-KTP mereka mendaftar pukul 12 siang dan telah masuk daftar antrian. Namun hingga pukul 13.00 warga tersebut tidak mencoblos.

Seorang dari warga ini kemudian mendatangi awak media ini dan melaporkan kejadian yang dialami. Warga bernama Yohanis Loa' ini datang didampingi aktivis Perkumpulan WASINDO (Pengawas Independen Indonesia), Yohanis Lembang.

Menurut warga Toraja yang berdomisili di Papua ini, dirinya bersama beberapa warga perantau lain ditolak memilih.

"Masa petugas di TPS tolak saya mencoblos. Bukan hanya saya ada juga beberapa orang. Ada dari Morowali. Padahal kami sudah masuk dalam daftar antrian berarti sudah memenuhi syarat mencoblos. Baru yang herannya lurahnya yang keras menolak, katanya dia sudah konsultasi dengan ketua Panwas," ungkap Yohanis Loa', Rabu lalu (17/4).

Ketua Panwas dimaksud adalah Andarias Duma. Sedang Lurah Laang Tanduk saat ini adalah Ruth Palilu, yang tidak lain istri dari Ketua Panwas.

Andarias Duma sendiri, ketika dikonfirmasi mengenai hal ini, H+1 (18/4), bungkam. Dia tidak merespon. Begitu juga anggota Bawaslu Torut yang lain, Arifin. Keduanya dihubungi via ponsel, dengan telepon langsung maupun WhatsApp (WA), tidak ada jawaban.

Menanggapi hal ini, Ketua Toraja Transparansi Drs. Tommy Tiranda malah mempertanyakan kompetensi dan integritas penyelenggara Pemilu yang ada, KPUD maupun Bawaslu Torut.

"Dari awal rekrutmen mereka dan siapa-siapa SDMnya saya memang ragu dengan kemampuan dan integritasnya. Dan keraguan saya ini mendekati kebenaran. Bayangkan sampai ke perangkat bawahnya, di desa hingga kecamatan. KPPS, PPS, PPK bahkan Panwascam. Sistemik pak. Bisa dilihat sekarang. Masa sampai ada penolakan terhadap warga yang memilih, apa iya petugas yang di TPS, PPS, itu tidak tahu aturan pemilu. Ini parah lho. Kan muncul pertanyaan baru apa mereka tidak diberi bimtek, ini kan ada anggarannya. Kemudian lurah kok intervensinya sejauh itu, tidak ada dalam aturan, hanya karena koneksinya dengan Panwas," tegas Anggota Panwas Tana Toraja era 2005 ini, ketika dihubungi via ponsel, Selasa pagi ini (30/4).

Tommy meminta KPU dan Bawaslu Torut segera introspeksi dan evaluasi diri melakukan koreksi untuk sisa tahapan pemilu yang masih ada.

"Kedua lembaga di tingkat lokal itu harus transparan dan tidak boleh ada yang ditutup-tutupi. Mereka harus jujur dan adil. Buka ruang komunikasi publik seluas-luasnya, jangan ada beban sedikitpun. Termasuk kalau ada yang menghubungi melalui telepon apakah dengan telepon langsung, SMS atau WA harus direspon, apalagi kalau yang menghubungi dari lembaga atau petugas independen seperti wartawan atau LSM," ketusnya.

Tommy yang juga Presidium AMTAK (Aliansi Masyarakat Toraja Anti Korupsi) ini berharap Bawaslu Torut yang sekarang bisa menyamai karakter dan mental serta kinerja Panwaskab 2005 lalu. Di era tersebut, Pilkada Bupati yang diikuti incumbent paslon JA SITURU-AP Popang, nyaris berakhir batal.

Prosesnya berlangsung alot karena dipicu adanya dugaan berbagai pelanggaran. Mulai dari soal keterlibatan ASN berkampanye, money politik, penggelembungan suara hingga hasil perolehan suara. Ketika itu, Panwas tampil benar-benar mengawal aturan dan memproses setiap laporan yang masuk tanpa tedeng aling-aling.

Karena alot, proses penetapan hasil pilkada saat itu molor. Molor karena pasca penghitungan suara, prosesnya dibawa ke Kemendagri untuk dikonsultasikan. "Waktu itu beberapa anggota KPU dan Panwas termasuk saya sendiri serta unsur DPRD Tana Toraja bertolak ke Jakarta mendatangi Kemendagri dan kami diterima Ditjen Otonomi Daerah," tutur Tommy singkat. (Red)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama