Study Tour




Oleh : W. Masykar
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti menanggapi polemik mengenai study tour siswa antara boleh dan tidak boleh, pihaknya tetap mengizinkan sekolah melaksanakan kegiatan tersebut. Artinya boleh!.

Sebelumnya, Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, tegas melarang kebijakan study tour di Jawa Barat. Kang Dedi beralasan study tour selama ini lebih mengarah pada bersenang senang daripada sebagai perjalanan pendidikan.
"Study tour itu bukan sekadar urusan bus atau perjalanan, tetapi lebih kepada bisnis di baliknya. Seharusnya ini perjalanan pendidikan, tapi faktanya lebih banyak didominasi oleh travel dan bisnis pariwisata. Jika seperti itu, namanya bukan study tour, melainkan piknik," ujar Dedi Mulyadi dalam wawancara dengan Kompas.com, Senin (24/3/2025).

Dampak finansial yang ditanggung orang tua dalam membiayai study tour anak-anak juga tidak ringan. Banyak orang tua, dari kalangan ekonomi menengah ke bawah, merasa terbebani dengan biaya perjalanan study tour.
Tidak boleh anak piknik di atas rintihan orang tua, masih kata Kang Dedi, saya tahu bagaimana kondisi ekonomi masyarakat Jawa Barat. Banyak orang tua yang terpaksa berutang atau menjual barang demi membiayai study tour anaknya. Ini bukan hal sepele. Sementara, jika anak anak mereka tidak bisa mengikuti kegiatan study tour, dampak psikologisnya anak anak menjadi minder.

Hetifah Sjaifuddin Ketua Komisi X DPR RI mendukung kebijakan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti yang tidak melarang sekolah mengadakan study tour. Alasannya kegiatan study tour bermanfaat menambah banyak pengalaman dan wawasan siswa.
Nah, baik yang pro maupun yang kontra memiliki argumentasi sendiri sendiri bahkan keduanya sangat rasional. Itulah sebabnya, ketika Dedi Mulyadi melarang siswa di Jabar melaksanakan study tour hampir tidak ada yang menentang, meski yang mendukung juga belum mayoritas. Itu karena apa yang disampaikan Kang Dedi faktanya seperti itu. Bahwa program study tour adalah bisnis angkutan pariwisata dan sekaligus destinasi wisatanya. 

Sementara, Mendikdasmen memperbolehkan asal tidak memaksa dan menjadikan tambahan beban ekonomi orangtua. Ketua Komisi X DPR RI, mendukung pada pendapat yang memperbolehkan dengan mengingatkan agar kegiatan study tour tidak membebani orang tua secara ekonomi.
"Jadi maksudnya study tour ini bukan sesuatu yang selalu jelek. Hanya problemnya konsekuensi logisnya itu jangan menjadi paksaan. Kalau bisa memang dibuat menjadi bagian dari pembelajaran dan tidak memberatkan orang tua. Jadi saya mendukung," ujarnya. Hetifah juga menekankan pentingnya gotong royong antar orang tua dan pihak sekolah jika ada siswa yang kurang mampu untuk ikut serta dalam study tour.

Sebenarnya, kegiatan study tour yang memaksa dan menjadi beban tambahan orangtua seperti ini, sekian tahu yang lalu, sudah sering disampaikan mantan Kepala Dinas Pendidikan Lamongan, Mustofa Nur (alm).
Mbah Tofa, panggilan akrabnya saat menjadi kepala dinas Pendidikan di Lamongan secara pribadi sering menyampaikan kepada saya, "Tolong Cak, kalau ada sekolahan yang menyelenggarakan study tour dan membuat resah orangtua, saya dikasih tahu, pasti akan saya panggil kepala sekolahnya!," kata beliau saat itu.

Dan benar sering saya kasih tahu secara pribadi dan tindakan beliau langsung memanggil kasek bersangkutan, meminta kepada kasek agar biaya diturunkan dan yang tidak mampu bagaimana tetap bisa ikut. Belum lama, saya mewawancarai sejumlah orangtua siswa, meski belum bisa disebut mewakili setidaknya kita bisa mengumpulkan pendapat kaitan dengan penyelenggaraan study tour oleh sekolahan.

Hampir rata rata orangtua tetap setuju adanya kegiatan study tour di sekolah dengan catatan, pertama tidak memprioritaskan jauh nya, tapi menyesuaikan kebutuhan, baik kebutuhan pada konteks kemampuan finansial (sehingga tidak memberatkan), kedua, kebutuhan siswa akan tujuan study tour itu sendiri. Misalnya, wisata alam, wisata edukasi, wisata religi dan seterusnya.
Selain itu, program study tour harus dilakukan setidaknya setahun sebelumnya, sehingga biaya bisa nyicil. Sedangkan, meski tenggat waktu setahun, kalau memang ada siswa yang benar benar tidak ikut jangan dipaksa, atau ada kemauan ikut tapi terbentur biaya, sekolahan (kasek) harus bijak. Bukankah begitu!?.(*)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama