![]() |
Oleh: Danny PH Siagian, SE., MM (Pemerhati Sosial Masyarakat dan Politik) |
OPINI
Sungguh
tontonan yang sangat diluar nalar, ketika kasus tembak-menembak antar polisi
terjadi di rumah perwira tinggi Polisi, tapi pengungkapannya bisa
berputar-putar kayak gangsing. Kenapa?
Tak
lain dan tak bukan, karena di kepolisian itu sudah terbiasa menangani kasus
yang penuh tipu muslihat dan berbelit-belit dari para masyarakat pelaku
kriminal, tapi sekaligus juga membuat para polisi itu memiliki kemampuan drama
rekayasa kasus, jika itu menjadi kepentingan pihaknya sendiri, maupun pihak
yang harus dilindunginya. Sekalipun menurut akal sehat publik tidak masuk. Karena
Kepolisian memiliki otoritas yang sangat “full power” untuk itu.
Banyak
kasus yang kasat mata diketahui masyarakat, dimana mislnya seseorang sebenarnya tidak
bersalah, tapi karena “full power” itu tadi, maka yang benar bisa jadi salah,
yang salah bisa jadi benar. Pengenaan pasal-pasal dakwaan dipaksakan untuk memperkuat drama
rekayasa kasus, sehingga sekonyong-konyong layak dalam proses hukum.
Selanjutnya, nanti dibuktikan di pengadilan. Begitulah biasanya.
Namun
kali ini, dalam kasus tertembaknya Brigadir Nofriansyah Joshua Hutabarat
(Brigadir J), yang notabene ajudan Kadiv. Propam Mabes Polri, Irjen Pol. Ferdy
Sambo (sopir isterinya), dimana informasinya ditembak Bharada E (Richard
Eliezer Pudihang Lumiu), 8 Juli 2022 di rumah dinas Ferdy Sambo, menjadi
sesuatu yang membuat masyarakat jadi ikut pusing mengikutinya.
Bagaimana
mungkin para polisi yang ada di rumah petinggi Polri itu tidak megetahui apa
yang terjadi? Tetapi kenapa mereka tidak mau mengungkap yang sebenarnya, dan
malah terkesan sengaja memainkan drama tipu muslihat, sehingga publik tidak
bisa mengikuti jalan cerita yang logis menurut akal sehat?
Padahal,
para polisi itu sejak awal sudah dilatih ilmu penyidikan dan penyelidikan. Itu
ilmu basic buat mereka. Semakin berpengalaman, semakin tinggi pangkatnya, maka
semakin mudah pula mereka ‘mencium’ ada atau tidak kebohongan dalam sebuah
peristiwa atau kasus. Jangankan itu! Mengamati gelagat orang yang sedang diperiksapun,
mereka mampu memprediksi dan menyimpulkannya, dan itu sudah terbiasa.
Tapi
anehnya, kali ini sesama mereka saling memainkan drama kebohongan itu. Rekayasa
segala sesuatupun menjadi lazim dilakukan, untuk menyembunyikan sesuatu yang
harus diselamatkan. Harus diamankan, seperti istilah yang biasa dipakai mereka,
jika mengamankan orang lain diluar diri mereka sendiri. Termasuk karena adanya
kepentingan pribadi.
Kali
ini, petinggi kepolisian ‘Kena Batunya’. Kebiasaan melakukan kebohongan dan
rekayasa kasus untuk masyarakat, akhirnya kena sendiri di kalangan mereka, apalagi ini adalah
petinggi Polri. Ibarat pepatah, ‘Senjata Makan Tuan’. Terpaksalah diantara merekapun
main ‘petak umpet’ untuk sementara, hingga nanti ujung-ujungnya kejepit sendiri,
oleh sesama rekan polisi yang lebih berwenang.
Para
polisi yang terlibat menjadi tersandung oleh ulah persekongkolan mereka
sendiri, dan menjadikan diri mereka terbelit sendiri. Kapolripun terpaksa turun
tangan, dan harus membentuk Tim Khusus yang dipimpin Wakapolri berpangkat
Komjen. Waduh...besar amat ini kasus, sampai-sampai Wakapolri harus terjun
untuk penyidikan. Dan ini sekaligus menandakan, kejanggalan kini sudah diakui
sesama polisi.
Dikutip
dari berbagai sumber media hingga seminggu setelah peristiwa penembakan, setidaknya
ada 10 kejanggalan yang terjadi dalam kasus ini yaitu: (1). Baru diumumkan tiga
hari setelah kejadian; (2). Penjelasan motif penembakan yang berbeda; (3).
Keberadaan Irjen Ferdy Sambo tidak jelas; (4). Penjelasan tugas Brigadir J
tidak jelas; (5). Keluarga sempat tidak diizinkan melihat jenazah; (6).
Keterangan luka yang berbeda; (7). CCTV di lokasi kejadian mendadak rusak; (8).
Handphone Brigadir J raib tidak jelas; (9). Polisi yang memeriksa TKP tidak
memberitahukan ke RT setempat; (10) Belum ditahannya waktu itu Bharada E. Dan
hampir setiap hari, ada perkembangan baru yang diberitakan pihak kepolisian,
yang juga memunculkan teka-teki.
Masyarakatpun
jadi ikut geram dan turut mendesak kepolisian dan pihak lain terkait, agar membuka
kasus ini secara terang benderang. Dan secara jelas pula, drama pembunuhan ini
jadi tersandung oleh ketidaksetujuan masyarakat, terhadap kesewenang-wenangan
para oknum polisi biadab yang terlibat, dan merusak institusi.
Peristiwa
ini tentu telah mencoreng-moreng institusi kepolisian. Dan yang lebih parah, yang
mencoreng kali ini justru dari Divisi Propam (Profesi dan Pengamanan) yang
menjadi benteng Etika Kepolisian. Etika Kepolisian menjadi ‘marwah’ tertinggi
yang harus dijaga setiap anggota, dari pangkat terendah hingga tertinggi.
Sebagaimana
dikutip dari Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol.: 7 Tahun
2006 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, pada Pasal
1 ayat 3 dikatakan, Etika Profesi Polri adalah kristalisasi nilai-nilai
Tribrata yang dilandasi dan dijiwai oleh Pancasila serta mencerminkan jati diri
setiap anggota Polri dalam wujud komitmen moral yang meliputi etika
kepribadian, kenegaraan, kelembagaan, dan hubungan dengan masyarakat.
Dan
pada Pasal 10 ayat (2) dikatakan, Anggota Polri wajib menghindarkan diri dari
perbuatan tercela yang dapat merusak kehormatan profesi dan organisasinya serta
menjunjung tinggi nilai kejujuran, keadilan, dan kebenaran demi pelayanan pada
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dengan senantiasa: a.
memberikan keterangan yang benar dan tidak menyesatkan; b. tidak melakukan
pertemuan di luar pemeriksaan dengan pihak-pihak yang terkait dengan perkara;
dan seterusnya.
Tentu,
menjadi pertanyaan besar, bagaimana jadinya jika kepolisian yang seharusnya
memiliki komitmen moral yang meliputi etika kepribadian, kenegaraan,
kelembagaan, dan hubungan dengan masyarakat, melanggar etikanya sendiri? Bagaimana
pula kepolisian yang seharusnya berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat, kalau mereka sendiri berlumuran darah anggotanya, dan
sangat mungkin melakukan pelanggaran berat?
Sungguh
kontradiktif, antara Perkap Etika Profesi dengan implementasinya. Perbuatan
tercela yang dapat merusak kehormatan profesi dan organisasi, sudah nyata-nyata
dilakukan, oleh para penegak hukum secara umum, bahkan mereka yang memegang
palu Etik dan Pengamanan internal kepolisian itu.
Padahal,
dalam pernyataannya Kadiv. Propam Ferdy Sambo Nopember 2021 lalu, sebagaimana
dimuat di media Kompas.com (03/11/2021), pelanggaran tahun 2021 berupa Pelanggaran
disiplin anggota Polri sebanyak 1.694 kasus, Pelanggaran kode etik profesi
Polri (KEPP) 803 kasus, dan Pelanggaran pidana 147 kasus, menurutnya turun
jumlahnya dari tahun 2020. Namun, berapa persenpun oknum polisi jahat itu, jika
dampak yang dilakukan menjadi aib se-dunia (sebab polisi Indonesia berjumlah 434.135
orang, masuk 5 besar dunia), maka akan menodai bangsa dan Negara Indonesia juga.
Ketidak
percayaan masyarakat ini juga dirasakan di berbagai Polda, Polres hingga Polsek
dari ujung ke ujung Nusantara ini. Banyak kasus dimana para polisi menunjukkan
kesewenang-wenangannya terhadap masyarakat, hingga polisi bermasalah yang memperburuk
citra institusi.
Beberapa
contoh belakangan ini yang menjadi viral seperti: Kasus Irjen Pol. Napoleon
Bonaparte, yang menyiksa dan melumuri Muhammad Kace dengan kotoran manusia di Rutan
Mabes Polri; Eks Kapolsek Sepatan AKP Oky Bekti Wibowo yang memakai narkoba; Bripda Randy Bagus yang menghamili kekasihnya Novia, hingga bunuh diri karena memaksa
pacarnya menggugurkan kandungannya; dan lain-lain.
Sebab
itu, pertaruhan Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo menjadi sangat
berat, ketika orang dekatnya sang Kadiv. Propam justru yang harus diburu, untuk
mencari kejelasan yang sesungguhnya. Mata publik setiap hari, bahkan setiap jam
menyoroti kasus hilangnya nyawa ajudan Ferdy Sambo itu.
Belakangan
banyak opini di masyarakat yang berkembang menduga, bahwa tidak mungkin Ferdy
Sambo tidak mengetahui peristiwa itu secara tepat dan akurat (walaupun dalam
keterangan polisi, dirinya sedang periksa PCR). Bahkan sebagian diantara yang
menduga mengatakan, jangan-jangan Ferdy Sambo ada di TKP. Gawat...
Apalagi
belakangan ini pihak Kuasa Hukum Brigadir J, balik melaporkan kasus kejanggalan
dan keberatan keluarga ke Mabes Polri. Bahkan berencana akan melakukan otopsi
ulang secara independen, yang sangat
mungkin akan membongkar habis kebohongan dan rekayasa yang selama ini ditutup-tutupi
para penyidik, maupun mereka yang terlibat memberi keterangan palsu.
Harapan
masyarakat, agar kasus ini sesegera mungkin dapat terungkap dengan sebenar-benarnya.
Agar keadilan dan keberpihakan terhadap kebenaran dapat diperlihatkan, sebagai
bagian dari pertanggungjawaban terhadap publik.
Tentu
hal ini juga diharapkan sekaligus memberi kelegaan bagi keluarga korban
Brigadir J, yang ingin kebenaran terungkap. Apalagi adanya tudingan Brigadir J
disiarkan melakukan pelecehan seksual, dan bahkan sempat membentak dan
melakukan penodongan terhadap isteri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi. Ini sangat
mengganggu pihak keluarga, yang mengetahui Brigadir J sangat hormat ke komandan
dan keluarganya selama ini.
Editor: Aris K
0 Reviews:
Posting Komentar