JAKARTA (wartamerdeka.info) - Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo menuturkan perjuangan keadilan dan kesetaraan gender merupakan legasi kesejarahan yang telah diwariskan sejak 114 tahun yang lalu oleh Raden Ajeng Kartini yang dengan segala keterbatasannya sebagai seorang perempuan, berani menghadapi tantangan zaman, memperjuangkan persamaan hak antara pria dan wanita dalam bidang pendidikan.
Meskipun memiliki akar kesejarahan yang cukup dalam, namun pada kenyataannya, hingga saat ini keadilan dan kesetaraan gender di Indonesia masih belum sesuai yang diharapkan.
Hal tersebut dapat dirujuk dari beberapa indikator, antara lain dari indeks ketimpangan gender. Berdasarkan laporan Global Gender Gap Report 2022 yang dirilis World Economic Forum pada bulan Juli 2022 yang lalu, skor indeks ketimpangan gender di Indonesia berada di kisaran 0,697 (pada skala 0 sampai dengan 1), dan berada pada peringkat ke-92 dari 146 negara. Rendahnya peringkat ketimpangan gender di Indonesia ini berbanding lurus dengan masih rendahnya indeks pemberdayaan perempuan, khususnya di bidang politik yang masih berada di bawah rata-rata global.
"Sebagai pembanding, merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata indeks pemberdayaan gender nasional tahun 2021 tercatat berada pada kisaran 76,26, pada skala 0 sampai 100. Yang menjadi persoalan adalah belum meratanya tingkat pemberdayaan gender, di mana masih ada beberapa daerah, khususnya di beberapa wilayah Indonesia bagian timur yang nilai indeks pemberdayaan gendernya di bawah 40, sementara di beberapa daerah lain justru memiliki skor di atas 80," ujar Bamsoet dalam sambutan secara daring pada Rapat Kerja Nasional ke-5 Forum Pemberdayaan Perempuan Indonesia (FPPI), di Jakarta, Sabtu (15/10/2022).
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, ketimpangan gender bukanlah satu-satunya pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk memperjuangkan keadilan bagi kaum perempuan. Persolan lain yang mengemuka adalah adanya kekerasan berbasis gender yang seiring dengan kemajuan dan modernitas zaman, justru mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
"Sepanjang periode tahun 2012 hingga 2021, tercatat angka kekerasan berbasis gender di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Jumlah kasus kekerasan berbasis gender tahunan meningkat tajam, dari 135.170 kasus pada tahun 2012, meningkat 150 persen menjadi 338.496 kasus pada tahun 2021," kata Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar dan Wakil Ketua Umum SOKSI ini menerangkan, hasil survei yang dilakukan bersama oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlingungan Anak, Badan Pusat Statistik dan Lembaga Demografi Universitas Indonesia, menemukan bahwa 1 dari 19 perempuan di usia 15-64 tahun, pernah mengalami kekerasan seksual. Bahkan survei lain yang dilakukan oleh Koalisi Ruang Publik Aman, mencatat bahwa selama masa pandemi Covid-19, lebih dari 78 persen responden yang disurvei menyatakan pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik.
"Berbagai data hasil survei tersebut mengisyaratkan pesan penting dan krusial, bahwa perilaku dan tindakan kekerasan terhadap perempuan adalah persoalan akut yang harus mendapatkan perhatian serius dari segenap elemen bangsa. Kita patut bersyukur bahwa setelah 10 tahun 'mangkrak', Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual telah disahkan pada tanggal 12 April 2022. Lahirnya undang-undang ini tentunya menjadi oase di tengah dahaga akan hadirnya perlindungan dan keadilan bagi kaum perempuan," urai Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila dan Wakil Ketua Umum FKPPI ini menambahkan, jika merujuk pada landasan Konstitusi, sesungguhnya semangat kesetaraan gender pun sudah tersirat pada perumusan pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Konstitusi merujuk individu subjek hukum dengan sebutan 'setiap orang' atau 'setiap warga negara', dan tidak ada satu pasal pun yang merujuk pada status gender pria atau wanita.
"Yang perlu kita sadari bersama, bahwa landasan legalitas hanya akan bermakna ketika dihadirkan dalam ruang realita. Seberapa pun lengkap dan rigid aturan dibuat, tidak akan akan bermakna apa apa tanpa adanya niat dan itikad baik, kesungguhan komitmen, dan kebulatan tekad dalam implementasinya," pungkas Bamsoet. (A)