
Kasus yang terjadi di lembaga pendidikan Yayasan Abdi Sukma yang berlokasi di jalan STM Kota Medan yang memperlakukan siswanya belajar di lantai karena nunggak SPP kembali mencoreng dunia pendidikan. Bermula dari viral nya suatu video hingga menjadi perbincangan luas di sosial media.
"Banyaknya tekanan dari sekolah kepada peserta didik. diungkapkan Cefai & Cooper (2009, helm. 16) anak-anak muda meninggalkan sekolah tanpa kompetensi yang memadai sebagai seorang individu yang cerdas dan tangguh".
Meski sebenarnya kasus seperti itu, bukan kali pertama ini terjadi. Apapun dalihnya, belum bisa melunasi SPP siswa diperlakukan seperti itu, sangat tidak dibenarkan. Orangtua belum bisa mengambil raport karena menunggak SPP, siswa di suruh belajar dilantai. Jika didalami ternyata orangtua belum bisa mengambil raport bukan karena tidak mau membayar, tapi memang belum punya dan akan secepatnya diusahakan. Kasus seperti ini, sebenarnya banyak terjadi hanya saja belum atau tidak sampai viral. Kalau misalnya di viral kan - saya kira akan banyak sekali kasus serupa - bahkan ada yang sampai harus memilih tidak sekolah - karena tekanan nunggak pembayaran, tidak hanya SPP bahkan uang sumbangan pembangunan.
Nah, ironisnya, setelah diunggah di video dan viral baru bermunculan klarifikasi, oh ternyata anak diperlakukan seperti itu, bukan karena nunggak SPP tapi tidak mau mengambil raport atau belum mengambil raport. Orangtuanya tidak mengambil raport.
Apakah belum mengambil raport siswa harus menerima punishment berupa belajar di lantai disaat teman teman nya belajar duduk di bangku kelas. Atau hukuman dalam bentuk lain dengan dalih disiplin?
Tidak bisa dibayangkan, anak mendapat perlakukan seperti itu, mentalnya jatuh karena perasaan malu - hanya saja itu sulit diungkapkan dengan kata kata.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti mengomentari kasus siswa SD swasta di Medan belajar di lantai karena menunggak SPP, pihaknya mengingatkan agar tak menggunakan cara yang bertentangan dengan nilai pendidikan ketika menegakkan disiplin disekolah.
Dia berharap lembaga sekolah baik negeri maupun swasta, tidak menggunakan cara-cara yang berkaitan dengan disiplin, baik disiplin akademik maupun disiplin administrasi, yang bertentangan dengan nilai-nilai pendidikan.
Kasus siswa SD yang mendapat perlakuan seperti ini, bahkan telah didengar oleh Menko PMK, Pratikno. Kementerian Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) akan membahas persoalan ini dengan melibatkan kementerian dan lembaga terkait agar kedepan tidak terulang kembali.
"Saya juga belum monitor itu. Kalau dengar ya dengar ada," kata Menko Pratikno kepada media di Jakarta Utara, Senin (13/1/2025).Dia mengaku akan mengecek detail persoalan sekaligus akan bekerja keras menyelesaikan persoalan tersebut.
Sesungguhnya masyarakat wali murid akan menunggu penyelesaian kasus seperti ini, yang bukan saja memberi sanksi kepada sekolahan, misalnya tetapi bagaimana tindakan serupa tidak kembali terjadi.
Tujuan didirikan sekolah, sudah melenceng dari arah yang sebenarnya. Sekolah atau lembaga pendidikan sudah berubah menjadi institusi bisnis. Komersialisasi pendidikan bukan sesuatu yang aneh - bahkan kasat mata. Tidak sedikit lembaga pendidikan yang memberi beban siswa sangat luar biasa beratnya. Dus, kalau ada siswa yang "gagal bayar" atau nunggak, silahkan keluar cari sekolah murah atau sekolah gratis? Ini hampir terjadi di banyak lembaga sekolah swasta.Makanya, mendirikan sekolah terus bermunculan - setidaknya ini indikasinya. Karena pendidikan tidak lebih sebagai lembaga komersial. Komersialisasi pendidikan akan menjadi tidak aneh lagi. pendidikan sebagai
komoditas bisnis yang profit oriented yang dijalankan layaknya perusahan. Pendidikan dijual dengan harga tertentu. Indikasinya, gampang setiap lembaga pendidikan memasang iklan promosi untuk berkompetisi menarik siswa. Tengok saja, tahun ajaran belum habis atau tahun ajaran baru baru berjalan 3 - 5 bulan sudah membuat baliho, banner, spanduk PPDB. Ironis bukan?! (*)