Jakarta (wartamerdeka.info) - Suasana politik nasional kian memanas. Ketua Umum Persatuan Wartawan Republik Indonesia (PWRI), Dr. Suriyanto, Pd., SH., MH., M.Kn., melontarkan kritik keras terhadap kondisi demokrasi di Indonesia. Ia menilai negara justru menjadi sumber luka bagi rakyat, bukan penyejuk.
“Kita sedang berada di titik nadir demokrasi. Institusi negara yang seharusnya melindungi rakyat malah menjadi penyebab kekecewaan,” tegas Suriyanto dalam konferensi pers, Senin (1/9/2025).
Kemarahan publik disebutnya bukan terjadi begitu saja. Akar persoalan lahir dari akumulasi ketidakadilan, janji politik yang dikhianati, hingga perilaku elit yang dianggap menyinggung hati rakyat. Puncaknya, ketika beredar luas video anggota DPR RI berjoget usai pengumuman kenaikan gaji dan tunjangan.
“Itu bukan sekadar joget. Itu simbol betapa jauhnya mereka dari realitas rakyat,” katanya.
Situasi makin panas ketika Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni, menyebut masyarakat “tolol” karena menyerukan pembubaran DPR. Ucapan tersebut memicu gelombang protes di berbagai kota.
“Ketika rakyat bersuara, wakilnya malah mencaci. Ini bukan demokrasi. Ini tirani,” tambahnya.
Demonstrasi pecah di sejumlah daerah, mulai dari Jakarta, Medan, Makassar, hingga Surabaya. Massa turun ke jalan membawa poster dan tuntutan. Namun aparat merespons dengan represif. Seorang pengemudi ojek online dilaporkan tewas usai terlindas kendaraan taktis Brimob. Video kejadian itu viral dan makin menyulut amarah publik.
Situasi ricuh tak terhindarkan. Gedung DPRD dibakar, kantor polisi dirusak, hingga rumah milik anggota DPR dan Menteri Keuangan dijarah massa.
Di tengah kekacauan, jurnalis pun ikut jadi korban. Bayu Pratama Syahputra, pewarta foto LKBN Antara, dipukul oknum polisi saat meliput aksi di depan DPR. Kamera rusak, tubuhnya memar.
“Ketika jurnalis dipukul, maka demokrasi ikut dipukul. Pers bukan musuh negara, melainkan mitra menjaga akal sehat publik,” ujar Suriyanto menekankan.
PWRI kemudian menyampaikan tiga tuntutan:
1. Pertanggungjawaban pejabat atas bentrokan aparat dan massa.
2. Perlindungan hukum dan operasional bagi jurnalis.
3. Pertanggungjawaban moral dari DPR RI dan pemerintah atas tindakan yang memicu krisis.
Menurut Suriyanto, kritik ini bukan sekadar suara organisasi wartawan, melainkan seruan untuk menyelamatkan demokrasi.
“Negara harus kembali menjadi ruang harapan, bukan ruang ketakutan. Jika suara rakyat terus dibungkam, maka yang bangkit bukan hanya demonstrasi, tapi perlawanan yang lebih dalam,” pungkasnya.